Sedang Membaca
Belajar Teologi Yahudi dari Ibnu Hazm
Munawir Aziz
Penulis Kolom

Kolumnis dan Peneliti, meriset kajian Tionghoa Nusantara dan Antisemitisme di Asia Tenggara. Kini sedang belajar bahasa Ibrani untuk studi lanjutan. Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom.

Belajar Teologi Yahudi dari Ibnu Hazm

  • Ibnu Hazm menunjukkan bukti-bukti bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan Allah, yang selayaknya dipercayai dan dijadikan bukti keimanan bagi orang-orang Yahudi. Dengan cara apa?

Di antara intelektual muslim dari Andalusia yang menarik ditelaah yakni perjalanan hidup dan pemikiran Ibnu Hazm, seorang teolog, sejarawan, filsuf dan penulis prolifik.

Masa keemasan tradisi intelektual Andalusia memang menjadi surga pemikiran dan peradaban, yang mempertemukan dialog antar tradisi Yahudi, Nasrani, dan Islam.

Ibnu Hazm lahir pada 7 November 994 M, di Cordoba, Andalusia pada periode akhir dinasti Umayyah. Ia terlahir dengan nama Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibnu Hazm.

Dalam tradisi intelektual Islam, Ibnu Hazm dikenal sebagai ahli dalam bidang teologi, hukum Islam, dan literatur Arab. Ia memiliki karya penting dalam kajian teologi, yakni Kitab al-Fasl fil Milal wa al-Ahwa wa al-Nihal.

Ibnu Hazm memiliki pengaruh besar dalam tradisi intelektual dan teologi warga Andalusia pada masa itu, yang dihuni oleh orang-orang lintas agama: Islam, Yahudi, dan Nasrani. Mereka sepenuhnya bersandar pada sistem sosial-politik yang dikomando oleh pemimpin muslim dari Bani Umayyah.

Leluhur Ibnu Hazm adalah pengikut Kristen Iberia, dari kawasan Manta Lisham (sebelah barat Sevilla), sebuah kawasan dimana Ibnu Hazm dimakamkan pada hari wafatnya, 15 Agustus 1064.

Kakek buyutnya, Hazm, memeluk ajaran Islam ketika dinasti Umayyah menyebarkan Islam di kawasan Andalusia. Sementara, Jose Miguel Puerta Vilches dalam risetnya menemukan jalur keturunan Ibnu Hazm dari nenek moyang orang Persia (Camilla Adang, 2013).

Karya-karya intelektual Ibnu Hazm tidak hanya berpengaruh dalam kelompok muslim, namun juga Yahudi dan Nasrani. Menurut catatan, karya-karya intelektual Ibnu Hazm sekitar 400 publikasi, yang tersebar dalam bidang logika, sejarah, etika, hingga teologi.

Baca juga:  Konsistensi Gus Dur dan Tuan Guru Faisal

Dalam spektrum pemikiran Ibnu Hazm, pembahasan tentang teologi Yahudi sangat menarik. Tidak hanya sebagai refleksi atas pergulatan sehari-harinya berdialog dengan orang-orang lintas agama, namun juga menyelami persinggungan teologisnya.  

Ibnu Hazm menempatkan Yahudi dalam sebuah kategori khusus, yakni kategori keenam, yang dekat dengan Islam. Dalam pembahasannya tentang teologi Yahudi, Ibnu Hazm memulai dengan menyebut lima sekte Yahudi dengan deskripsi singkat tentang kepercayaan, asal-usul, lokasi dan sebagainya. Di antara kelompok Yahudi itu, yakni Samiriyyah (Samaritans), Saduqiyyah (Saducees), ‘Ananiyyah (Karaites), Rabbaniyyah (Rabbanites) dan Isawiyyah (Isawites).

Dalam penjelasannya, Ibnu Hazm mendeskripsikan Samariyyah yang memiliki kitab suci Taurat (Torah), yang berbeda dengan kebanyakan umat Yahudi lainnya. Meski demikian, Samariyyah seperti kebanyakan umat Yahudi yang tidak mengakui Bayt al-Maqdis (Jerusalem) sebagai kota suci, seraya menyebut Nablus sebagai kota suci mereka. Nablus merupakan sebuah kota kecil di utara West Bank, yang berjarak sekitar 49 kilometer dari Jerusalem.

Sementara, sekte Saduqiyyah dinamai dari seorang pemimpinnya yang bernama Saduq. Dalam pendapat Ibnu Hazm, hampir semua pemeluk Yahudi mengklaim bahwa al-Aziz (atau al-Uzayr), merupakan putra dari Allah. Sedangkan, kelompok Ananiyyah merupakan pengikut dari Anan al-Dawudi, serta orang-orang Yahudi memanggil kelompok ini sebagai Qarrayun (Karaites).

Ibnu Hazm menjelaskan bahwa semua kelompok Yahudi mempercayai Taurat (Torah) dan semua kitab suci dari nabi-nabi setelah Musa, namun menolak karya-karya dari Rabbi, semisal Oral Torah (Taurat Lisan).

Baca juga:  Mengenal Sufisme Yahudi dan Persentuhannya dengan Para Sufi Islam

Ketika menjelaskan Isawiyyah, Ibn menjelaskan secara panjang lebar, lebih luas dari penjelasan tentang sekte-sekte Yahudi lainnya. Kelompok Isawiyyah tergabung dalam aliran kepercayaan yang tersambung dengan Abu Isa al-Asbahani, seorang Yahudi dari Isfahan, Persia.

Perbedaan mendasar kelompok Isawiyyah dengan sekte-sekte lainnya, yakni dalam konsep penerimaan terhadap kenabian Isa dan Muhammad.

Pengikut Isawiyyah sangat mempercayai wahyu dan kenabian Isa dan Baginda Nabi Muhammad, sebagai nabi utusan Allah setelah Nabi Musa. Terkecuali, sekte Isawiyyah hanya mengakui Nabi Muhammad diutus hanya untuk orang Arab semata, bukan orang-orang seluruh dunia.

Dalam karyanya, Ibnu Hazm berupaya membangun basis argumentasi agar orang-orang Yahudi mengimani Nabi Muhammad sebagai utusan Allah, setelah utusan untuk kaum mereka, yakni Nabi Musa. Kala itu, sebagian besar orang-orang Yahudi tidak mengakui bahwa Isa dan Muhammad sebagai utusan Allah (Rasulullah).

Dalam pandangan Ibnu Hazm, kepercayaan atau pendapat ini harus dibantah dengan argumentasi rasional dan bukti-bukti teologis, yang dekat dengan penalaran serta tradisi intelektual orang Yahudi.

Ibnu Hazm menunjukkan bukti-bukti bahwa Nabi Muhammad merupakan utusan Allah, yang selayaknya dipercayai dan dijadikan bukti keimanan bagi orang-orang Yahudi. Dengan cara apa?

Ibnu Hazm berargumentasi betapa Nabi Muhammad memiliki mukjizat-mukjizat sebagai seorang Nabi dan Rasul. Cara ini dipilih, karena orang-orang Yahudi mengimani bukti kenabian dari ciri-ciri mukjizat yang ada pada diri seseorang, sebagai keajaiban yang dilekatkan Allah kepada utusan terkasihNya. Maka, sudah selayaknya orang Yahudi juga mengimani Isa dan Muhammad (Aamir Bashir, 2013).

Baca juga:  Kiai Sahal, Mendayung di antara Liberalisme dan Fundamentalisme (1)

Ibnu Hazm juga menolak pendapat dari kelompok Yahudi yang menyatakan bahwa Nabi Musa memerintahkan untuk tidak percaya kepada orang-orang setelah dirinya, yang mengaku sebagai Nabi dan Rasul, yang berbeda tata-cara beribadah dan nilai-nilai teologis darinya, meski menunjukkan mukjizat sekalipun.

Dalam pandangan ini, menurut Ibnu Hazm, orang-orang Yahudi salah tafsir dari apa yang dinyatakan dalam kitab suci Taurat. “..man ataakum yadda’I nubuwwah wa huwa kadzib fa laa tushaddiquha” (Ibn Hazm, I: 190).

Di antara pendapat Ibnu Hazm yang penting terkait teologi Yahudi, yakni bagaimana kelompok Samaritans (Samiriyyah) memiliki sebuah kitab Taurat (Torah) yang berbeda dengan sekte Yahudi lainnya. Ibnu Hazm menjelaskan bahwa kelompok Samaritans tidak meninggalkan Palestina dan Jordania, meski tidak ada bukti bahwa kitab suci yang dimiliki sekte ini bebas dari manipulasi sebagaimana kelompok Yahudi lainnya pada masa itu.

Dalam petualangan intelektualnya untuk membahas teologi Yahudi, Ibnu Hazm memiliki akses istimewa terhadap perpustakaan khusus kitab-kitab miliki Rabbi Yahudi, yang bernama Midrash Aggadah.

Melalui risetnya terhadap karya-karya Rabbi Yahudi, banyak di antara mereka yang mentransmisi ajaran Taurat, tidak memiliki kecakapan yang mampu menghasilkan karya untuk mencerahkan publik.

Dari Ibnu Hazm, kita menyelami panorama intelektual abad pertengahan di kawasan pesisir Iberia, juga belajar mengenai teologi Yahudi yang berkembang pada masa itu seraya menikmati dialog antaragama sebagai spektrum pengetahuan dari tradisi besar warisan Andalusia.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top