Sedang Membaca
Keadilan Ranjang Perempuan: Korelasi Hukum Islam dan Kesehatan Seksual
Saniyyatus Zulfa
Penulis Kolom

Perempuan lulusan Pesantren Guyangan dan Menyelesaikan Sarjana Filsafat Islam di UIN Walisongo Semarang.

Keadilan Ranjang Perempuan: Korelasi Hukum Islam dan Kesehatan Seksual

Perempuan dan Kesetaraan Relasi Seksualitas: Reformulasi Fiqih Hubungan Seksual yang Berkeadilan Gender

Islam adalah salah satu agama samawi yang memiliki pijakan dasar soal kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan. Nabi Muhammad SAW dalam beberapa hadis memberikan ilustrasi kehidupan yang memberikan pesan bahwa sebagai manusia harus memiliki ketiga nilai tersebut. Nilai-nilai tadi menjadi landasan utama dalam buku yang sedang saya resensi ini.

Minggu lalu saya terpikat dengan buku yang berjudul “Perempuan dan Kesetaraan Relasi Seksualitas: Reformulasi Fiqih Hubungan Seksual yang Berkeadilan Gender” buku ini sebenarnya sudah terbit satu tahun yang lalu dan saya baru membacanya setelah karya Abdullah Faiz ini habis di pasaran. Judulnya sudah mewakili isi buku, artinya pembahasannya tidak akan jauh tentang Perempuan dan Kesetaraan Gender namun uniknya penulis lebih spesifik dengan membahas sisi seksualitas.

Cukup penasaran dengan sebutan “Fiqih Seksualitas” yang menurut sebagian orang dirasa tabu untuk diucapkan. Sebenarnya topik yang diangkat adalah keresahan bersama mengenai pemahaman sebagian orang (konservatif) terhadap dalil agama yang cenderung kaku dalam mendesain relasi seksualitas dengan meninggalkan aspek keadilan gender di dalamnya. Topik yang diangkat adalah pemahaman seseorang mengenai hadis tentang “pemenuhan hubungan seksual bagi suami” yang harus dipenuhi oleh istri, sementara ketika ditolak (tidak dilayani) akan mendapatkan laknat dari malaikat. Pada umumnya orang akan membahas pada sisi kesahihan dali dan penafsiran lainnya, sementara buku ini mengkomparasikan dengan Kesehatan reproduksi. Nah pada kesempatan ini penulis merasa resah sehingga diperlukan pembaharuan dan memikirkan ulang soal pengetahuan relasi seksualitas suami istri yang berkeadilan gender. Secara sederhana buku ini lebih merujuk kearah etika seksualitas dalam dua perspektif pertama adalah Hukum Islam dan kedua Kesehatan Reproduksi (Kespro).

Pemaknaan Hadis Relasi Seksualitas; Tekstual atau Kontekstual?

Pembahasan relasi suami istri berarti bicara tentang hak hubungan intim sesuai dengan makna bahasa dari nikah itu sendiri yakni, al-wa’u (bersenggama). Banyak redaksi dalam Islam yang membahas tentang etika berhubungan seksual, baik dalam hadis maupun pendapat ulama. Dalam hadis disinggung:

عن ابي هريرة رضي اللَّه عنه قال: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا دَعَااَلرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ اِلَي فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غُضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ (حديث رواه البخاري)

Baca juga:  Ibu Sinta dan Perjuangan Melawan Diskriminasi

 “Jika suami mengajak istrinya ke atas ranjang (bersenggama) kemudian istri tidak memenuhinya, maka para malaikat akan melaknatnya sampai pagi” (HR. Bukhari). (Al-Bukhari 2009)

Penulis mengamati bahwa kebanyakan kita memahami hadis tersebut secara tekstual saja, sehingga sangat berbahaya. Makna yang dihasilkan dari pemahaman tekstual akan menimbulkan paham bahwa laki-laki dalam urusan seksual bagaikan tuan dan perempuan adalah budaknya, sehingga jika tuannya (suami) memerintahkan untuk bersenggama, maka si budak (istri) tidak berhak menolaknya.

Secara tersirat, pelayanan seksual harus selalu dipenuhi oleh perempuan (istri) kapan dan dimana saja ketika suami menginginkannya. Bahkan ada sanksi bagi istri apabila tidak memenuhinya, dengan kata lain, ketika suami menghendaki relasi seksual (hubungan intim), maka istri tidak boleh menolaknya, penolakan atas hal ini dapat dipandang sebagai pembangkangan atau istilahnya disebut nusyuz. Pandangan ini mendapat legitimasi dari teks hadis dengan kategori ai. Hadis di atas memiliki empat belas sanad yang tercantum dalam beberapa kitab, di antaranya ai Bukhari, ai Muslim, Sunan Abu Daud, Musnad Ahmad, dan Sunan ad-Darimi. Semua riwayatnya bersumber dari Abu Hurairah sebagai periwayat pertama. (Hal 98-99)

Dari hadis ṣahih tersebut terdapat makna yang tersebar di masyarakat yaitu apabila seorang istri menolak ajakan suaminya untuk melakukan hubungan seksual kemudian suami tertidur dalam keadaan kecewa karena keinginannya tidak terpenuhi maka malaikat ikut uring-uringan melaknat istri yang membiarkan suaminya tidur dengan kekecewaan karena tidak dilayani. Pemahaman tersebut terasa bias gender dan terkesan misoginis karena hal yang sama tidak diatur bagi suami yang menolak ajakan berhubungan seksual bagi istri. Selain itu, hadis tersebut terkesan melegitimasi kebolehan memaksa perempuan (istri) untuk melakukan berhubungan seksual dengannya. Perempuan juga dilihat sebagai pelayan hasrat seksual suaminya apabila ia menginginkannya.

Abdullah Faiz sebagai penulis juga mengutip pendapatnya Masdar Farid Masudi yang menyatakan sebuah argumen, bahwa meskipun hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim (hadis ṣahih) namun tidak boleh diterima mentah-mentah karena Rasulallah SAW adalah pemimpin yang sangat adil, oleh karena itu beliau tidak mungkin memberikan sabda yang terkesan tidak berisikan nilai keadilan suami terhadap istrinya. Pemahaman tekstual terhadap hadis tersebut dapat menimbulkan kesan yang kuat tentang superioritas laki-laki atas perempuan, bahkan hadis tersebut menjadi alat legitimasi bagi laki-laki untuk mengeksploitasi perempuan dalam hubungan seksual. Oleh karena itu pemahaman hadis tersebut membutuhkan kajian yang berimbang yang tidak menguntungkan salah satu gender saja. (Hal 55-57)

Baca juga:  Perkawinan Monogami Lebih Dekat dengan Keadilan

Dalam situasi semacam ini, perempuan kerap kali menjadi objek yang tidak mendapatkan keadilan gender. Peran mereka dalam ruang ini sering kali terhambat oleh wacana-wacana keagamaan yang dibekukan. Pemahaman konservatif yang terus berkembang seperti ini sangat tidak menguntungkan bagi upaya akselerasi kemajuan yang diinginkan oleh komunitas perempuan. Melihat fenomena konservatisme, menggerakkan untuk merumuskan kembali wacana gender dalam komunitas perempuan dan kaum perempuan pada umumnya, dalam situasi tertentu kegelisahan-kegelisahan yang dialami sangat maklum dan dapat dipahami. Disisi lain, Hubungan Seksual yang tidak dikehendaki bersama dinilai kurang sehat dalam ilmu kesehatan. (Hal 136-139)

Kesehatan Reproduksi dan Munculnya Human Pavilliomavirus (HPV).

Pemahaman tekstual diatas dirasa kurang adil karena dapat menimbulkan paksaan dan hubungan seksual tidak dirasakan secara adil, dalam penelitian medis tentang relasi seksual atau biasa dikemas dalam tema kesehatan reproduksi (kespro) mengatakan bahwa berhubungan seksual yang didasari dengan tekanan sangatlah kurang sehat (Muhammad 2004). Pemahaman literal atas teks hadis di atas kurang ramah terhadap perempuan karena bisa menimbulkan efek psikologis yang buruk. Perempuan selayaknya manusia pada umumnya ia memiliki rasa capek dan butuh istirahat sehingga dapat menjadi alasan untuk tidak menuruti kemauan pasangannya. Berhubungan seksual dalam catatan medis antara kedua pasangan suami istri harus mengeluarkan rangsangan. Sebagaimana laki-laki, perempuan juga memiliki rangsangan untuk memperlancar darah dan cairan yang dikeluarkan dari efek rangsangan tersebut. Apabila perempuan tidak terangsang karena berhubungan seksual yang terpaksa atau tekanan maka vagina tidak akan mengeluarkan cairan tersebut. (Hal 155-156)

Baca juga:  Kesetaraan Gender dalam Tradisi Sufi

Abdullah Faiz dalam bukunya menerima laporan dari Konselor Spiritia yang menangani AID dan HIV bahwa fenomena ini dapat menyebabkan vagina kering sehingga akan berpotensi luka di dalam vagina. Kasus seperti ini sangat membahayakan alat reproduksi perempuan karena berawal dari luka tersebut dapat mengalami infeksi seksual yang dapat menular, misalnya Human Pavilliomavirus (HPV). Meskipun pasangan suami istri yang berhubungan dalam kondisi sehat artinya tidak membawa penyakit bawaan sebelum berhubungan.

Perempuan adalah manusia yang secara fisik lebih rentan terkena infeksi Penyakit Menular Seksual (PMS) dibandingkan dengan laki-laki. Hal demikian dikarenakan laki-laki dapat meninggalkan spermanya dalam tubuh perempuan dalam beberapa waktu dan kuman akan mudah masuk melalui dinding vagina ke dalam darah. Berhubungan seksual yang tidak diinginkan oleh istri dapat menyebabkan vagina kering apabila hubungan tersebut terus dilanjutkan maka akan mengalami lecet di dalam vagina karena terjadi gesekan antara vagina dan penis. (Hal 167-169)

Luka dalam vagina tersebut sebenarnya dapat sembuh dengan sendirinya karena vagina memiliki kemampuan untuk membersihkan dan menyembuhkan sendiri tanpa perantara bantuan obat. Namun apabila vagina sudah mengalami luka (lecet), dan jika tetap dimasuki penis dengan paksa maka luka tersebut akan terbuka lebih lebar dan dapat menyebabkan Human Phavilioma Virus (HPV). Perempuan yang mengalami hal tersebut merasakan rasa sakit yang berlebihan pada vaginanya karena adanya kejang otot di dasar panggul dan vagina. Hal tersebut berdampak pada tubuh mengencang sehingga tidak memungkinkan untuk berfungsi sebagaimana perempuan normal. Rasa sakit tersebut juga berimplikasi pada perasaan emosi dan trauma yang dialami oleh perempuan (Muhtadi 2021).

Sebagai Perempuan saya sangat tertarik dengan buku ini, Pertama memberikan edukasi mengenai relasi seksualitas yang benar dalam ilmu kesehatan. Kedua mengajak kita untuk cerdas memahami hadis atau dalil agama terkait relasi pasangan suami istri khususnya dalam prihal ranjang.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top