Sedang Membaca
Hikmah: Terkait Perbuatan Kita di Dunia Fana ini
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Hikmah: Terkait Perbuatan Kita di Dunia Fana ini

Kaligrafi dengan media pinus

“Tak ada amal yang lebih diharapkan terkabulnya daripada amal yang hilang darimu memandangnya dan dianggap remeh keberadaannya di sisimu.”

لَا عَمَلَ أرْجىَ لِلْقَبُولِ مِنْ عَمَلٍ يَغِيْبُ عَنْكَ شُهُودُهُ وَيُحْتَقَرُ عِنْدَكَ وُجُوْدُهُ

Amal yang ikhlas itu terkadang merupakan amal yang tak dianggap atau malah dianggap tak ada, pada sisi orang yang mengerjakannya. Amal-amal remeh yang tak pernah diingat lagi, namun bisa jadi sangat berarti bagi orang lain yang melihat atau mendapatkan manfaat darinya.

Pengarang Futuhul ‘Arifin, TGH Muhammad Sarni, menyatakan, tiap-tiap amal yang kita kerjakan pandanglah ia semata-mata anugerah dan nikmat yang diberikan Tuhan. Atau, setidaknya, anggaplah ia sebagai tugas yang seyogyanya dikerjakan dengan rasa tanggung jawab sebagai hamba, apapun itu. Sehingga, yang beramal tidak merasa telah berbuat sesuatu yang hebat di luar kapasitasnya, tidak merasa lebih baik dari orang lain yang tidak mengerjakannya ketika ia mengerjakannya. Dengan demikian, ia tak merasa layak mendapatkan suatu balasan apapun, dan memang wajar saja ia mengerjakannya sebagai suatu keharusan baginya.

Orang seperti ini tidak melihat lagi pada amalnya. Bahkan lebih jauh, ia tidak melihat pada beradaan dirinya yang beramal, ia menyandarkan sepenuh wujud (diri)-nya kepada Wujud Yang Maha Berbuat (al-Fail) lagi Yang Maujud. Orang seperti inilah yang disebut Syekh Arsyad dalam dalam karyanya berjudul Fathul Rahman, telah sempurna imannya dan yakinnya. Ia menyempurnakan ibadahnya dengan ubudiah dan bisa jadi ia merasakan nikmat ubudah. Amalnya adalah untuk menunaikan hak Rububiyah dan status kehambaan di hadapan-Nya.

Baca juga:  Kisah Abu Yazid Al-Busthami dan Pencuri 1000 Kain Kafan

Dalam kenyataan sehari-hari, tak mudah untuk melakukan sesuatu tanpa pamrih. Setiap orang melakukan perbuatan atas pamrihnya masing-masing. Demikian itu sangat manusiawi, sebagai motivasi diri. Ada yang melakukan sesuatu karena ingin perhatian orang lain. Bisa perhatian gurunya, kekasihnya, incarannya atau target-target lainnya berupa harta, jabatan dan kedudukan-kedudukan tertentu di mata manusia. Adapula yang mengharapkan surga dan balasan lainnya, serta berharap dijauhkan dari neraka dan kesusahan-kesusahan dunia maupun akhirat. Ada yang sekadar ingin pintar, ingin dihormati orang lain, ataupun dimuliakan dalam derajat yang hanya ia dan Tuhan yang mengetahuinya. Ini semua merupakan gerak nafsunya.

Maka mengenali diri (nafs) menjadi penting, bagi seseorang yang mengingini sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Nafs sebagaimana telah disinggung dalam hikmah-hikmah sebelumnya, bagi para sufi, kompleks dan berlapis-lapis atau bertingkat-tingkat. Menundukkan nafs yang rendah agar naik ke tingkat nafs yang lebih tinggi, adalah dengan beribadah atau beramal yang berat-berat dengan kesungguhan hati hingga terbiasa. Kebiasaan menjadikan seseorang kebal terhadap kesusahan dan kebanggaan diri. Celaan dan pujian berangsur-angsur lenyap dari pikirannya. Hatinya lapang dan mudah menerima kebenaran yang datang dari apa dan siapa pun.

Demikian, amal yang lebih diharapkan manfaatnya bagi hati, serta dipandang remeh dan tiada berarti dengan dinisbatkan kepada pemberian (amal) Allah yang amat luas dan tiada terkira-kira. Kata Syekh az-Zarruq, siapa yang melihat dirinya dengan baik niscaya ia merasa berkekurangan dalam perbuatannya–yang dengan kekurangan itu ia melihat anugerah Allah Swt kepadanya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top