Sedang Membaca
Nouhaila Benzina dan Diplomasi Hijab dari Panggung Piala Dunia
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Nouhaila Benzina dan Diplomasi Hijab dari Panggung Piala Dunia

Nouhaila Benzina Pemain Pertama Yang Gunakan Jilbab Di Piala Dunia Wanita

Piala Dunia Wanita 2023 yang diadakan di Australia dan Selandia Baru telah berakhir. Spanyol berhasil tampil sebagai kampiun setelah memungkasi kompetisi dengan kemenangan tipis 1-0 saat bersua Inggris di final. Namun, panggung piala dunia menyisakan memori yang terpatri pada pertandingan antara Maroko dengan Korea Selatan. Momen yang perlu diingat itu adalah aksi Nouhalia Benzina yang dengan percaya diri tampil sebagai pemain pertama yang mengenakan hijab di kompetisi piala dunia.

Benzina adalah pemain bertahan Maroko yang berkarir di liga lokal negaranya bersama dengan klub AS FAR. Sebelum piala dunia, mungkin tidak banyak orang yang mengenalnya karena tidak bermain di kompetisi paling bergengsi di salah satu liga benua Eropa. Tetapi, langkah bersejarah Maroko sebagai tim negara Arab pertama yang lolos ke piala dunia ikut mengantarkan Benzina ke atas panggung yang melambungkan namanya.

Penampilan ikonis Benzina dengan cepat menyedot perhatian dunia. Pemberitaan tentang pemain sepak bola berhijab muncul di berbagai media di seluruh dunia. Dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera, Benzina mengatakan bahwa ia merasa bangga karena bisa menjadi contoh bagi perempuan muslim di dunia sepak bola. Tampil bagus dan membawa hasil yang maksimal adalah harapannya sebagai misi untuk membawa nama baik bangsa Maroko.

Popularitas Benzina pada Piala Dunia di Australia dan Selandia Baru ini sebenarnya bisa dilihat sebagai wahana dialog antara masyarakat muslim dengan beragam kelompok masyarakat lainnya di dunia, terutama yang masih menatap simbol-simbol Islam dengan sinis. Penampilan Benzina di lapangan sepak bola dengan mengenakan hijab bisa menyampaikan pesan bahwa Islam memberikan keluwesan bagi perempuan untuk melakukan berbagai aktivitas.

Baca juga:  Perempuan Galak itu Karakter atau Korban Patriarki Sih?

Seperti popularitas Mohamed Salah di Liverpool yang mampu menurunkan tensi Islamofobia di Inggris. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Stanford University pada 2019 lalu, penampilan bagus Salah bersama Liverpool dapat meningkatkan simpati publik pada muslim serta berpengaruh pada turunnya angka ujaran kebencian dan tindak kriminal dengan sentimen anti-Islam. Bukan hanya itu, komentar negatif pada komunitas muslim di internet juga ikut menurun.

Pemahaman publik pada keterbukaan Islam yang terbangun dari penampilan Benzina ini menjadi penting karena isu Islamofobia masih bermunculan. Sebagai contoh, dalam European Islamophobia Report tahun 2022 yang dirilis oleh Leopold Weiss Institute, menerangkan bahwa pada tahun tersebut angka kasus Islamfobia di Eropa masih relatif banyak terjadi dan masih banyak yang luput dari pemantauan.

Hal lain yang menandakan bahwa isu ini masih menjadi masalah global terlihat dari langkah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang sampai harus membuat sebuah peringatan khusus untuk melawan Islamofobia. Pada tahun 2023 ini, PBB menetapkan hari internasional melawan Islamofobia yang akan diperingati setiap tanggal 15 Maret.

Bagi komunitas muslim, kehadiran Benzina di Piala Dunia bisa dibaca sebagai tanda bahwa  dunia tidak hendak meminggirkan umat Islam. Menetralisir ketakutan tidak berdasar dan menjadi jawaban terhadap berbagai narasi populis di tengah masyarakat muslim yang selalu menganggap bahwa umat Islam selalu diperlakukan tidak baik dalam mengekspresikan semangat beragama.

Momentum Piala Dunia Wanita 2023 yang membolehkan pemakaian hijab juga bisa menjadi penawar bagi kekecewaan dalam peristiwa Asmahan Mansour pada 2007 lalu yang dilarang bertanding pada sebuah turnamen sepak bola di Kanada. Kala itu, Asmahan yang masih berusia belia mendapat larangan ikut serta dalam pertandingan timnya karena mengenakan hijab.

Baca juga:  Rida al-Tubuly, Aktivis Hak Asasi Manusia dari Libya

Polemik kasus Asmahan tersebut berakhir kurang memuaskan. Karena FIFA memiliki aturan yang tidak mengizinkan pemakaian hijab oleh pemain di lapangan pada tahun 2007. Arus perjuangan untuk memakai hijab kemudian menguat, sampai akhirnya berhasil ketika FIFA  mencabut larangan itu pada tahun 2014. FIFA kala itu mengumumkan bahwa hijab diperkenankan untuk dipakai dalam sebuah pertandingan sepak bola, begitu juga dengan pemakaian turban bagi penganut Sikh dan kippah bagi umat Yahudi.

Dampak yang mungkin bisa ditimbulkan oleh pemakaian hijab ini memiliki fungsi yang cukup mirip dengan pemanfaatan pakaian dalam proses diplomasi. Hal ini pernah dilakukan oleh Prancis yang mempropagandakan gaya busana haute couture pasca perang dunia kedua. Menurut Vincent Dubé-Senécal dalam Fashion’s Diplomatic Role (2022), langkah tersebut dilakukan dengan tujuan membangun citra negara dan meningkatkan kebanggaan nasional.

Strategi yang mulai disusun sejak tahun 1950-an itu dikenalkan lewat gelaran mode internasional seperti French Weeks dan French Fortnights. Sampai saat ini, keberhasilan strategi diplomasi fesyen tersebut masih terasa dan Prancis menjadi salah satu kiblat mode dunia. Pengaruh yang sama bisa jadi akan timbul pada pemakaian hijab di Piala Dunia. Citra muslimah di dunia sepak bola akan lebih populer dan pemahaman antara komunitas muslim dengan kelompok yang belum begitu memahami Islam bisa lebih rileks.

Sisi lain yang juga menarik untuk dilihat adalah momentum pemakaian hijab yang terjadi di sebuah turnamen sepak bola wanita terbesar. Menurut Naoko Shimazu dalam Diplomacy as Theatre (2013), gelaran besar antar bangsa menghadirkan elemen-elemen yang biasa ditemukan dalam teater seperti bersifat performatif, menyediakan ruang untuk mementaskan sesuatu, dan memungkinkan aktor untuk tampil di hadapan banyak penonton.

Baca juga:  Selir, Gundik, atau Harem dalam Pandangan Islam

Aspek-aspek tersebut, nampaknya sudah dimanfaatkan dengan baik oleh Benzina. Piala dunia jelas memiliki sifat performatif, karena turnamen ini adalah panggung terbesar dengan penonton yang juga banyak. Ruang untuk pementasan juga sangat luas, terbukti dengan besarnya perhatian dunia pada penampilan Benzina.

Mungkin saja, penampilan pemain sepak bola berhijab ini akan menjadi simbol bagi semakin terbukanya peluang untuk muslimah berkarir di dunia kulit bundar. Dengan semakin terbukanya peluang tersebut, maka pemakaian hijab perlahan menjadi hal normal, bukan hanya di lapangan hijau tapi juga di kehidupan publik.

Benzina juga bisa menjadi model bagi pemain berhijab lainnya karena sepak bola kini tengah bergeliat di negara-negara Arab atau negara muslim pada umumnya. Arab Saudi saat ini nampak menjadi negara muslim yang terlihat bergairah untuk menjadikan sepak bola sebagai pertunjukan andalan mereka. Dengan kebebasan yang pelan-pelan didapat oleh perempuan Saudi dalam beberapa tahun belakangan, bukan tidak mungkin liga sepak bola perempuan Saudi ikut berkembang.

Penampilan Benzina di pentas Piala Dunia 2023 berakhir saat timnya kalah di babak 16 besar. Menariknya, kekalahan Maroko dari Prancis ini mungkin bisa memiliki makna bahwa perjalanan untuk membangun pemahaman lebih baik antar budaya masih harus ditempuh. Prancis hingga sekarang menjadi salah satu negera yang cukup keras melarang pemain sepak bola mengenakan hijab. Tradisi laicite (sekuler) yang hidup di masyarakat mungkin menjadi salah satu alasan. (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top