Sedang Membaca
Sabilus Salikin (185): Tidak Boleh, Memberi Baiat Kepada Anak Kecil
Redaksi
Penulis Kolom

Redaksi Alif.ID - Berkeislaman dalam Kebudayaan

Sabilus Salikin (185): Tidak Boleh, Memberi Baiat Kepada Anak Kecil

Tanya: Menurut keputusan kongres Jam`iyah Tarekat Mu’tabarah di Tegal Rejo, bahwa orang baiat tarekat “mu’tabarah” diwajibkan menjalaninya. Lalu bagaimana hukumnya orang yang memberi baiat kepada anak kecil? Bolehkah atau tidak? Jikalau wajib menjalani, tiba-tiba anak kecil tidak mau menjalani itu, siapa yang berdosa? Kalau anak kecil yang berdosa, padahal anak kecil itu belum “mukallaf”?

Memberi baiat kepada anaknya kecil, hukumnya tidak boleh.

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ زَيْدٍ حَدَّثَنَا سَعِيْدٌ هُوَ اْبنُ أَبِيْ أَيُّوْبٍ قَالَ حَدَّثَنِيْ أَبُوْ عُقَيْلٍ زَهْرَةٌ ابْنُ مَعْبَدٍ عَنْ جَدِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ هِشَامٍ وَكَانَ قَدْ أَدْرَكَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَهَبَتْ بِهِ أُمُّهُ زَيْنَبَ ابْنَةُ حُمَيْدٍ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ بَايِعْهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هُوَ صَغِيْرٌ. فَمَسَحَ رَأْسَهُ وَدَعَا لَهُ. وَكَانَ يُضَحِّى بِالشَّاةِ الْوَاحِدَةِ عَنْ جَمِيْعِ أَهْلِهِ. إهـ

Kami (al-Bukhari) diberitahu oleh Ali bin Abdullah bin Zaid (Kata Ali): Kami diberitahu oleh Sa’id bin Abu Ayyub. Kata Sa’id: Saya diberitahu oleh Abu ‘Uqail, Zahrah bin Ma’bad, dari kakek Abdullah bin Hisyam yang pernah bertemu dengan Nabi SAW. dan diajak oleh ibunya, Zainab binti Humaid, menemui Rasulullah saw, kemudian ibunya berkata: Wahai Rasulullah, baiatlah anak ini! Beliau menjawab: Dia masih kecil. Kemudian beliau mengusap kepala anak itu, dan mendoakannya. Beliau pernah berkurban seekor kambing atas nama seluruh keluarganya, (al-Jâmi’ al-Shahîh al-Bukhâri, juz 4, halaman: 246).

Tanya: Bolehkah mengunjungi para wali baik yang masih hidup maupun yang telah wafat (ziarah kubur para wali) untuk mengharapkan keberkahan dari mereka?

Baca juga:  Sabilus Salikin (62): Tarekat Sa'diyyah

Boleh, agar kita mendapatkan berkah dan pancaran rohani, doa yang dikabulkan dan turunnya Rahmat.

اِعْلَمْ يَنْبَغِيْ لِكُلِّ مُسْلِمٍ طَالِبِ الْفَضْلِ وَالْخَيْرَاتِ أَنْ يَلْتَمِسَ الْبَرَكَاتِ وَالنَّفَحَاتِ وَاسْتِجَابَةَ الدُّعَاءِ وَنُزُوْلَ الرَّحْمَاتِ فِىْ حَضْرَاتِ الْأَوْلِيَاءِ فِىْ مَجَالِسِهِمْ وَجَمْعِهِمْ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا وَعِنْدَ قُبُوْرِهِمْ وَحَالَ ذِكْرِهِمْ وَعِنْدَ كَثْرَةِ الْجُمُوْعِ فِىْ زِيَارَاتِهِمْ وَعِنْدَ مُذَاكَرَاتِ فَضْلِهِمْ وَنَشْرِ مَنَاقِبِهِمْ. إهـ (جلاء الظلام فى عقيدة العوام)­

Ketahuilah bahwa seyogyanya setiap muslim yang mencari keutamaan dan kebaikan itu mencari berkah dan pancaran rohani, terkabulnya doa dan turunnya rahmat di hadirat para wali di majelis-majelis mereka, baik mereka itu masih hidup, maupun sudah wafat, di makam-makam mereka, pada saat mereka disebut-sebut, ketika banyak orang berkumpul dalam Rangka berziarah kepada mereka, dan ketika keutamaan serta manaqib mereka dibacakan dan dihayati, (Jalâ’ al-Zhalâm fî ‘Aqîdah al-‘Awâm).

Tanya: Bagaimana hukum rabithah dengan mengenangkan rupa guru mursyid?

Asal hukum rabithah adalah boleh, yang sama antara dua belah ujungnya, yakni tidak diberi pahala ketika dikerjakan, dan tidak disiksa ketika ditinggalkan. Tetapi rabithah itu kadang-kadang menjadi wajib atau disunnahkan karena datangnya sesuatu dari luar. Hal ini seperti menganggap bahwa sesuatu itulah yang bisa menjadikan wushul kepada Allah.

فَالرَّابِطَةُ بِاعْتِبَارِ الْأَصْلِ فِعْلُهَا جَائِزٌ وَبِاعْتِبَارِ مَا تَوَصَّلَ إِلَيْهِ فَمَنْدُوْبٌ

Rabithah menurut hukum asal adalah jaiz (boleh), sedangkan jika dianggap sebagai penyebab wushul kepada Allah, maka disunnahkan, (Tabshirah al-Fâshilîn ‘an Ushûl al-Wâshilîn).

Baca juga:  Islamisasi Jawa: Mati Bersama Cahaya

Tanya: Bagaimana cara rabithah kepada Syaikh Mursyid yang disebut dalam tatasila kesembilan dalam kitab Tanwîr al-Qulûbtentang cara berzikir?

Cara rabithah yang ditanyakan tersebut yaitu menggambarkan rupa guru antara dua matanya, kemudian menghadapkan jiwa kepada rohaniah dalam gambar itu pada permulaan zikir, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia. Itulah yang dikehendaki tata sila yang kesepuluh.

اِعْلَمْ أَنَّ اسْتِحْضَارَ الرَّابِطَةِ عَلَى أَقْسَامٍ (الْأَوَّلُ) أَنْ يَتَصَوَّرَ صُوْرَةَ شَيْخِهِ الْكَامِلِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ثُمَّ يَتَوَجَّهُ إِلَى رُوْحَانِيَّةِ فِى تِلْكَ الصُّوْرَةِ وَلَا يَزُوْلُ عَنِ التَّوَجُّهِ إِلَيْهَا حَتَّى يَحْصُلَ لَهُ الْغَيْبَةُ أَوْ آثَارُ الْجَذْبَةِ

Ketahuilah bahwa menghadirkan rabithah itu bermacam-macam. Pertama, murid menggambarkan/membayangkan rupa gurunya yang sempurna di hadapannya, kemudian ia bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada rohaniah di dalam rupa gurunya tersebut dan terus bertawajjuh seperti itu sampai ia jauh dari dunia atau mendapatkan atsar/dampak kejadzaban, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 40).

Tanya: Bagaimana cara rabithah kepada Syaikh Mursyid yang disebut dalam tatasila kesembilan dalam kitab Tanwîr al-Qulûb tentang cara berzikir?

Cara rabithah yang ditanyakan tersebut yaitu menggambarkan rupa guru antara dua matanya, kemudian menghadapkan jiwa kepada rohaniah dalam gambar itu pada permulaan zikir, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia, sampai hasilnya merasa jauh dari dunia. Itulah yang dikehendaki tata sila yang kesepuluh.

اِعْلَمْ أَنَّ اسْتِحْضَارَ الرَّابِطَةِ عَلَى أَقْسَامٍ (الْأَوَّلُ) أَنْ يَتَصَوَّرَ صُوْرَةَ شَيْخِهِ الْكَامِلِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ثُمَّ يَتَوَجَّهُ إِلَى رُوْحَانِيَّةِ فِى تِلْكَ الصُّوْرَةِ وَلَا يَزُوْلُ عَنِ التَّوَجُّهِ إِلَيْهَا حَتَّى يَحْصُلَ لَهُ الْغَيْبَةُ أَوْ آثَارُ الْجَذْبَةِ

Baca juga:  Kekuatan Batin Para Kiai atau Ulama

Ketahuilah bahwa menghadirkan rabithah itu bermacam-macam. Pertama, murid menggambarkan/membayangkan rupa gurunya yang sempurna di hadapannya, kemudian ia bertawajjuh (berkonsentrasi) kepada ruhaniyah di dalam rupa gurunya tersebut dan terus bertawajjuh seperti itu sampai ia jauh dari dunia atau mendapatkan atsar/dampak kejadzaban, (al-Bahjah al-Saniyah, halaman: 40).

Tanya: Apakah boleh seorang mursyid menjadikan orang yang saleh yang sedang jadzab menjadi khalifah dari padanya, sedangkan amal-amal yang lahir dari orang tersebut menyalahi syariat Islam?

Tidak boleh, karena ucapan orang jadzab tidak dapat dijadikan pedoman.

وَاعْلَمْ أَنَّ النَّاسَ فِى الْجُمْلَةِ عَلَى أَرْبَعَةِ أَقْسَامٍ، سَالِكُوْنَ فَقَطْ مَجْذُوْبُوْنَ فَقَطْ وَسَالِكُوْنَ ثُمَّ مَجْذُوْبُوْنَ. وَمَجْذُوْبُوْنَ ثُمَّ سَالِكُوْنَ. فَالْأَوَّلَانِ لَا يَصْلُحَانِ لِلتَّرْبِيَةِ وَالْإِرْشَادِ. أَمَّا السَّالِكُ فَلِأَنَّهُ ظَاهِرِيٌّ مَحْضٌ فَلَا نُوْرَ لَهُ فِى بَاطِنِهِ يَجْذُبُ بِهِ. وَأَمَّا الْمَجْذُوْبُ فَقَطْ، فَلَا سُلُوْكَ عِنْدَهُ يَسِيْرُ بِهِ وَالْآخِرَانِ يَصْلُحَانِ لِلتَّرْبِيَةِ مَعَ أَفْضَلِيَّةِ الْأَوَّلِ.

Ketahuilah bahwa orang-orang yang menuju Allah itu empat macam: (1) Salik saja/melaksanakan amalan di dalam tarekat secara zhahir saja. (2) Majdzub/jadzab saja. (3) Salik kemudian majdzub/jadzab. (4) Majdzub kemudian salik. Dua yang pertama tidak patut menjadi murabbi, dan mursyid, karena yang salik saja tidak ada cahaya kejadzaban dalam batinnya, sedangkan orang yang majdzûb saja tidak melaksanakan sulûk/amalan di dalam tarekat secara zhahir. Dua yang akhir (3 & 4), patut menjadi murabbi dan mursyid, namun yang lebih utama adalah no 3, (Îqâzh al-Humam fî Syarh al-Hikam).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top