Sedang Membaca
Manusia Rohani: Maksud Perintah dan Larangan Tuhan untuk Manusia
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Pascasarjana UM Parepare Sul-Sel

Manusia Rohani: Maksud Perintah dan Larangan Tuhan untuk Manusia

Img 20231117 Wa0026

Kehadiran agama adalah untuk mengembalikan kesucian manusia. Manusia adalah makhluk yang suci, sebagaimana hadis Nabi bahwa “manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah atau suci”, namun dalam perjalanan kehidupannya banyak godaan-godaan yang membawa manusia menodai kesuciannya.

Sama seperti Adam dan istrinya, ketika disuruh tinggal berdua di surga, diberikan kebebasan untuk menikmati apa yang ada di surga, namun tetap ada larangan untuk mereka berdua, tapi rupanya Adam tertarik dengan larangan Tuhan itu, sehingga mereka terjatuh dari surga.

Dalam agama ada perintah dan larangan, seperti tergambar dalam kisah Adam di atas, didalamnya ada perintah begitupun juga dengan larangan. Pada hakikatnya di balik perintah itu ada kenikmatan yang disiapkan oleh Tuhan, tapi kebanyakan manusia tidak merasakan kenikmatan tersebut, begitupun dengan larangan Tuhan, dibalik larangan tersebut ada siksaan yang sudah disiapkan oleh Tuhan.

Adam ketika disuruh menikmati surga yang sudah disiapkan oleh Tuhan di balik perintah, Tuhan sudah menyiapkan fasilitas kenikmatan, dengan bahasa, “fakulaa min haitsu syi’tuma” makanlah sesukamu berdua, artinya nikmatilah fasilitas surga yang sudah disiapkan oleh Tuhan.

Berbarengan dengan perintah ini juga ada larangan Tuhan, “wa taqrabaa hadzihi al-syajarah“, jangan kamu dekati pohon ini, di balik larangan ini, kalau dilanggar, Tuhan sudah menyiapkan balasannya. Ini terbukti ketika ketika Adam melanggar, Tuhan memberikan balasan mengeluarkan dari surga. Pada prinsipnya menjalankan perintah Tuhan itu akan mendekatkan diri kita kepada Tuhan, dan melanggar larangannya akan menjauhkan diri kita dari Tuhan.

Baca juga:  Kedekatan Imam as-Syafi'i dan Sayidah Nafisah

Dalam tinjauan kebahasaan, ketika Tuhan memerintahkan untuk menikmati fasilitas surga, disitu Al-Qur’an menggunakan “hadzihi”, atau ini yang artinya bahwa Tuhan itu dekat. Tetapi ketika Adam melanggar larangannya Al-Qur’an menggunakan kata “tilka”, atau itu, yang berarti bahwa Tuhan itu jauh. Jadi eksistensi perintah dan larangan Tuhan, adalah untuk menjaga manusia berada dalam koridor kesucian.

Agama adalah fitrah yang diperuntukkan untuk manusia. Agama yang diturunkan oleh Tuhan yang oleh Cak Nur dinamakan fitrah munazzalah, sedangkan dalam diri manusia, terdapat fitrah majbulah, seluruh manusia punya potensi keilahian dalam dirinya. Ayat menjadi dasar dari potensi yang dimiliki yakni, “wa nafakhtu fihi min ruhii”, Aku telah meniupkan kepada manusia ruhku.

Itulah yang menjadi dasar, bahwa manusia itu punya potensi keruhanian yang disebut dengan “fitrah majbulah”, atau biasa juga disebut dengan hati nurani.

Ajaran-ajaran agama yang terangkum dalam rukun Islam, kalau dijalankan dengan baik, itu akan mengembalikan manusia kekesucian mereka. Kalimat syahadat akan mensucikan aqidah kita, lewat teks Laa Ilaaha Illa Allah, bahwa tiada tuhan selain Allah. Shalat mensucikan jiwa dengan selalu mengingat Allah, “aqimissalata li dzikri“. Puasa mensucikan ruhani kita, zakat mensucikan harta kita, dan haji mensucikan perjalanan menuju Tuhan lewat simbol thawaf.

Baca juga:  Gus Dur, Romo Sindhu, dan Sepak Bola

Fitrah yang diturunkan oleh Tuhan lewat ajaran agama merupakan fitrah munazzalah dan fitrah ini harus didukung fitrah majbulah yang ada dalam diri manusia. Keduanya saling mendukung untuk menciptakan manusia yang dekat kepada Tuhan. Potensi ruhani manusia akan berfungsi dengan baik kalau didukung ajaran agama yang diturunkan oleh Tuhan.

Seperti ajaran puasa yang dapat mengasah jiwa atau ruhani manusia. Dengan menjalankan ibadah puasa dengan baik, ruhani akan mudah menangkap pesan-pesan ketuhanan, sehingga manusia dengan mudah dapat mengenal mana kebaikan dan dosa yang dapat menjerumuskan manusia.

Itulah sebabnya, pernah suatu ketika Nabi memberikan nasihat kepada sahabatnya untuk meminta fatwa kepada hati nuraninya, kata Nabi kepada sahabatnya, “mintalah fatwa kepada hati nuranimu dan jiwamu”. Nabi mengucapkan kalimat ini tiga kali, artinya bahwa hati nurani sangat penting dalam kehidupan manusia. Nabi melanjutkan kalimatnya, bahwa “kebaikan itu apa yang membuat jiwamu dan hatimu tenang”. Apapun yang kita lakukan atau pekerjaan yang kita lakukan, dan hati atau jiwa terasa tenang, damai perasaan kita, itu dapat dipastikan bahwa itu adalah suatu kebaikan.

Sedangkan dosa atau kesalahan, apabila kita mengerjakan sesuatu atau melakukan suatu tugas, tapi hati atau jiwa terasa tidak karuan dan jiwa tidak tenang, dan itu dapat dipastikan bahwa itu adalah pekerjaan yang tidak benar atau suatu dosa. Betapa fasilitas yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia sangat mendukung tugas sebagai manusia sebagai makhluk yang mulia dibandingkan makhluk-makhluk Tuhan lainnya.

Baca juga:  Seperti Apa hubungan Gus Dur dengan Umat Islam?

Banyak ayat Al-Qur’an yang menyebut bahwa manusia adalah makhluk yang mulia, “Laqad karramna bani Adama“, sungguh kami telah memuliakan anak-anak Adam”. Dan di surah Attin, Tuhan juga berfirman, “Sungguh kami menciptakan manusia dalam bentuk yang paling baik”.

Begitupun dalam hadis Nabi dikatakan bahwa, “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam menurut gambarnya Tuhan”. Gambar disini ada nilai-nilai keilahian yang ada dalam diri manusia. Itulah manusia disamping sebagai makhluk biologis juga merupakan makhluk ruhani, karena berasal dari tanah juga berasal dari ruh Tuhan. Dengan mengasah jiwa atau ruhani dengan ajaran-ajaran Tuhan atau agama niscaya ruh atau ruhani kita akan menangkap kebenaran-kebenaran yang berasal dari Tuhan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top