Muhammad Alwi HS
Penulis Kolom

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan STAI Sunan Pandanaran, kelahiran 1994 di Pulau Balang Caddi, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Ia aktif menulis di berbagai jurnal, baik nasional maupun internasional, dan aktif mengikuti kegiatan konferensi nasional dan internasional. Fokus kajiannya adalah Studi Islam, Al-Qur’an dan Hadis.

Al-Qur’an dan Budaya (2): Maraknya Tradisi Al-Qur’an di Indonesia

Whatsapp Image 2021 03 23 At 18.28.22

Setelah sebelumnya saya bahaskan tentang tradisi-tradisi Al-Qur’an yang muncul di lingkungan bangsa Arab era Islam awal, baik dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri maupun sahabat beliau, bagian ini akan membahas tradisi-tradisi Al-Qur’an yang ditemukan di Indonesia. Ini akan memperlihatkan Al-Qur’an senantiasa bersinggungan dengan konteks budaya manusia yang ditemuinya, yang memberikan lokalitas yang khas Indonesia.

Penelusuran mengenai tradisi-tradisi Al-Qur’an di Indonesia dapat dilakukan dengan mengamati sejarah masuknya Islam di Indonesia. Di sini, data-data sejarah memperlihatkan bahwa Islam masuk ke Indonesia didominasi oleh corak sufistik. Hal ini karena pembawanya banyak dari kalangan sufi. Mastuki HS (2014) mengatakan bahwa dikarenakan Islam dibawa oleh orang Sufi, sehingga penyebarannya banyak berkompromi dengan budaya lokal. Proses Islamisasi berbasis sufistik inilah yang menjadi pintu utama dalam melihat fenomena tradisi-tradisi Al-Qur’an di Indonesia.

Lebih dari itu, pada perkembangan selanjutnya, penyebaran Islam juga banyak dilakukan dalam bentuk lainnya. Di sini, saya lebih senang menyebutnya sebagai penyebaran Islam berbentuk tekstual dan kontekstual. Kedua bentuk penyebaran Islam tersebut melahirkan tradisi Al-Qur’an yang beragam dan unik, yang dapat dijumpai di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya itu, tradisi Al-Qur’an juga tidak lagi hanya ditemukan dalam dunia nyata, tetapi juga terjadi di dunia maya atau media sosial.

Tradisi Al-Qur’an dalam Wilayah-Wilayah Indonesia

Pemetaan tradisi Al-Qur’an berdasarkan wilayah di sini dalam rangka memahami pertemuan Al-Qur’an, manusia, dan budaya yang melingkupinya. Ini penting, karena disebut ‘tradisi Al-Qur’an’ karena terjadi keikutsertaan konteks sosial umat Islam dalam melakukan performasi terhadap Al-Qur’an. Di Sulawesi, misalnya, tradisi-tradisi Al-Qur’an marak ditemukan yang berakar dari jaringan ulama sufistik. Misalnya, Masyarakat Pulau Balang Caddi, kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, membaca la ilaha illallah dalam shalat Witir setiap malam terakhir Ramadhan. Bacaan tersebut dimaksudkan khataman Al-Qur’an dan shalat Tarwi sekaligus.

Baca juga:  Penulis Satu-Satunya Tafsir Isyari Nusantara: Kiai Sholeh Darat Semarang (c. 1820-1903)

Apa yang menjadi tradisi masyarakat Pulau Balang Caddi tersebut merupakan tradisi Al-Qur’an yang berakar pada proses Islamisasi secara sufistik yang bertransmisi dari Imam ke Imam Masjid di Pulau tersebut. Peran Imam Masjid di kampung yang banyak ditemui di Sulawesi Selatan memiliki kedudukan setara dengan peran Ulama atau Guru agama (lihat Kathryn M. Robinson (Ed) 2020.) Sehingga bentuk keagamaannya menjadi tuntunan hidup masyarakat setempat, termasuk di Pulau Balang Caddi.

Tradisi Al-Qur’an yang terkait khataman Al-Qur’an lainnya, secara lebih luas dapat disebutkan di antaranya tradisi Mappatamma’, Mappanre Temme’, dan Totamma’. Ketiganya merupakan tradisi perayaan khataman Al-Qur’an dengan konteks yang berbeda-beda. Mappatamma’ menjadi tradisi untuk konteks masyarakat suku Makassar, Mappanre Temme untuk konteks suku Bugis, dan Totamma’ untuk konteks suku Mandar. Sekalipun berbeda bentuk tradisi, tetapi ketiganya berakar dari sejarah Islamisasi yang berbasis sufistik di Sulawesi Selatan.

Di Papua, meski umat Islam terbilang minoritas, tetapi tradisi Al-Qur’an juga tidak dapat dilepaskan dari komunitas muslim di sana. Di sini dapat disebutkan, misalnya, kegiatan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) menjadi tradisi Al-Qur’an yang khas. Ini karena dalam penyelenggaraannya, tradisi tersebut tidak hanya melibatkan umat Islam, tetapi juga umat agama lainnya. Pada tahun 2012, misalnya, seorang Pastor dan seorang lagi dari pengurus Persatuan Gereja Indonesia (PGI) menjadi wakil ketua kepanitaan agenda umat Islam tersebut (Ismail Suwardi Wekke, 2013).

Baca juga:  Citra Perempuan Ideal Menurut Al-Qur'an

Di Kalimantan, fenomena tradisi Al-Qur’an juga sangat banyak ditemukan. Misalnya, menjadikan Al-Qur’an sebagai bagian dari mantra yang dilakukan oleh masyarakat Banjar, yang sudah berlangsung sejak abad 15 M. Salah satu surah yang digunakan adalah surah Al-Ikhlas yang dibaca secara inovasi dengan qulhuallohu ahad – tahan dipukul – tahan dipahat. Asep N. Musadad (2020) menilai mantra ini terinspirasi dari pantun. Ini adalah contoh tradisi Al-Qur’an yang berkaitan dengan dunia mistis, yang umumnya dinilai negatif tetapi sebenarnya ia dapat dipahami dari sisi performasi.

Di Jawa, tradisi Al-Qur’an juga menjadi bagian penting dalam perkembangan Islam, yang dapat dijumpai di berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, tradisi bejampi yaitu menjadikan Al-Qur’an sebagai medium pengobatan yang dilakukan oleh umat Islam di Lombok. (Muhammad Zainul Hasan, 2020).  Surah-surah yang mereka praktikkan sebagai obat di antaranya surah Al-Fatihah, Al-Nas, Al-Kahfi, Al-Baqarah, Al-Ikhlas, dan lainnya. Di dalam pengobatan tersebut, Al-Qur’an dijadikan harapan sekaligus bacaan yang diyakini sebagai obat.

Tidak kalah banyak dari wilayah lainnya, di Sumatera, tradisi Al-Qur’an juga banyak ditemukan. Misalnya, dalam konteks kepesantrenan, di pondok pesantren Al-Ittifaqiah Indralaya Ogan Ilir rutin mengadakan mujahadah tahfidz Al-Qur’an, yang terinspirasi dari mengkhatamkan Al-Qur’an yang berakar dari Nabi Muhammad SAW dan Sahabatnya. Tradisi mujahadah di pesantren tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan: mujahadah ula, mujahadah tsaniah, dan mujahadah tsalisah (Amin Muhammad, 2017). Tentu ketiga tingkatan tersebut memiliki ‘aturan main’ tersendiri yang tidak hanya berbeda antar tingkatan, tetapi juga menjadikannya khas tradisi pesantren yang terletak di wilayah Sumatera tersebut.

Baca juga:  Ragam Standar Tartil dalam Al-Qur’an

Tradisi Al-Qur’an dalam Media Sosial

Selain berdasarkan wilayah, tradisi Al-Qur’an juga banyak dijumpai dalam media sosial (dunia maya). Fenomena ini terjadi beriringan dengan media sosial yang semakin marak digunakan dalam berbagai sisi kehidupan manusia, termasuk umat Islam. Tradisi Al-Qur’an melalui media sosial dapat dipahami dengan dua hal: (1) Tradisi Al-Qur’an sebenarnya berawal dari tradisi di dunia nyata, tetapi kemudian beralih ke media sosial. (2) Tradisi Al-Qur’an yang memag sejak awal dilakukan di media sosial.

Pada bagian pertama, tradisi Al-Qur’an yang beralih dari dunia nyata ke media sosial, misalnya, tradisi khataman Al-Qur’an yang dilakukan melalui aplikasi WhatsApp, sebagaimana yang dilakukan oleh anak dan cucu Mbah Ibrahim Al-Ghazali di Ponorogo Jawa Timur (Fauzi, 2019). Di sini, khataman Al-Qur’an biasanya dilakukan secara offline (dunia nyata), beralih ke online (dunia maya). Sementara pada bagian kedua, tradisi Al-Qur’an dapat dijumpai, misalnya, dalam dunia perfilman seperti penggunaan ayat-ayat Ruqyah dalam film ‘Munafiq’ (Yudantiasa, 2019).

Sebenarnya, masih sangat banyak tradisi-tradisi Al-Qur’an yang dapat dijumpai dalam kehidupan umat Islam Indonesia. Paparan di atas hanya sangat sedikit tradisi Al-Qur’an yang dapat disebutkan di sini. Karena itu, bagian selanjutnya akan dipaparkan tradisi lainnya yang tentu dikupas dalam narasi yang berbeda. Penjelasan tradisi-tradisi Al-Qur’an selanjutnya akan diarahkan pada konteks kajian, baik dari sisi bentuk maupun nuansanya. Dengan demikian, di sana akan mengungkap berbagai perspektif yang digunakan untuk mengkaji pertemuan Al-Qur’an dan budaya dalam bentuk tradisi Al-Qur’an.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top