Sedang Membaca
Al-Qur’an dan Budaya (3): Ragam Bentuk dan Nuansa Kajian Tradisi Al-Qur’an
Muhammad Alwi HS
Penulis Kolom

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan STAI Sunan Pandanaran, kelahiran 1994 di Pulau Balang Caddi, Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Sulawesi Selatan. Ia aktif menulis di berbagai jurnal, baik nasional maupun internasional, dan aktif mengikuti kegiatan konferensi nasional dan internasional. Fokus kajiannya adalah Studi Islam, Al-Qur’an dan Hadis.

Al-Qur’an dan Budaya (3): Ragam Bentuk dan Nuansa Kajian Tradisi Al-Qur’an

Whatsapp Image 2021 03 23 At 20.39.09

Sebelumnya telah saya jelaskan mengenai fenomena tradisi-tradisi Al-Qur’an yang muncul dan berkembang dalam kehidupan umat Islam, baik di dunia Arab maupun di Indonesia. Di sana saya perlihatkan bahwa fenomena tradisi Al-Qur’an sudah terjadi era Nabi Muhammad SAW, baik dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW sendiri maupun sahabat-sahabatnya. Tradisi-tradisi Al-Qur’an ini terus mengalami perkembangan beserta lokalitasnya seiring penyebaran dan perkembangan Islam di berbagai wilayah. Ini kemudian menarik para sarjana untuk mengkajinya.

Berbagai kajian terhadap tradisi Al-Qur’an bermuara pada tiga bentuk diskusi: (1) Performative (performasi), (2) Reception (resepsi), dan (3) Living Qur’an. Diskusi performasi pertama kali diperkenalkan oleh Sam D. Gill dalam tulisannya “Nonliterate Tradition and Holy Books” (1985), diskusi resepsi diperkenalkan oleh Ahmad Rafiq dalam disertasinya “the Reception of the Qur’an in Indonesia” (2014), dan diskusi Living Qur’an terinspirasi dari tulisan Barbara D. Metcalf yang berjudul “Living Hadith in the Tablighi Jama’at” (1993).

Ketiganya diskusi tersebut sebenarnya masih dalam satu wilayah, mereka terhubung pada kajian fenomena tradisi Al-Qur’an. Bahkan, ketiganya dapat menjadi satu rangkaian perjalanan kajian fenomena tradisi Al-Qur’an, yang mana performative sebagai diskusi pertama yang dilakukan oleh pengkaji ini, kemudian muncul diskusi reception dan living Qur’an. Performative, resepsi dan living Qur’an dapat menjadi diskusi atas fenomena pertemuan Al-Qur’an dan budaya yang terjadi tanpa melalui pemahaman terhadap makna-makna dalam ayat Al-Qur’an.

Bentuk Kajian Tradisi Al-Qur’an

Berbagai kajian tradisi Al-Qur’an telah banyak dikaji dalam wilayah ini, misalnya, kajian dalam bentuk film yang berjudul “Al-Qur’an dan Performasi dalam Film Munafik 1 dan 2” oleh Muhammad Radya Yudantiasa (2019). Di sana, Radya membahas ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan ruqyah dalam film tersebut, di mana Radya melihatnya sebagai fenomena performasi Al-Qur’an. Selain bentuk film, performasi juga dapat dilakukan untuk mengkaji kitab atau teks tulis, sebagaimana kajian yang dilakukan oleh Ade ‘Amiroh (2017) dengan judul “Fadhail Al-Qur’an dalam Kitab Fadhail Al-Qur’an wa Ma’alimuhu wa Adabuhu Karya Abu ‘Ubaid (Analisis Aspek Informatif-Performatif Sam D. Gill), dan kajian-kajian lainnya.

Baca juga:  Dibutuhkan Lembaga Pendidikan Al-Qur'an Berjenjang

Pada perkembangannya, diskusi sisi performasi ini seringkali beririsan dengan diskusi reception (resepsi). Hal ini dikarenakan Reception dapat dilihat sebagai upaya pengembangan dari performative dan informative. Dalam diskusinya, Ahmad Rafiq membagi reception menjadi tiga: Exegetical Reception, Aesthethic Reception, dan Functional Reception. Exegetical reception merujuk kepada pencarian makna atau penafsiran Al-Qur’an, aesthethic reception merujuk kepada seni atau keindahan hasil interaksi dengan Al-Qur’an, dan functional reception merujuk kepada penggunaan Al-Qur’an untuk tujuan tertentu.

Keluasan wilayah diskusi resepsi tersebut mengindikasikan adanya pemakaian diskusi performasi (dan informasi) dalam sebuah kajian. Misalnya kajian “….” Selain yang beririsan dengan performasi, diskusi resepsi juga dapat dilakukan pada kajiannya tersendiri dalam melihat tradisi Al-Qur’an, misalnya “Resepsi Al-Qur’an dalam Tradisi Pesantren di Indonesia (Studi Kajian Nagham Al-Qur’an di Pondok Pesantren Tarbiyatul Qur’an Ngadiluweh Kediri)” yang dikaji oleh ‘Anatu Masruri (2018). Kajian ini membahas tradis Al-Qur’an yang berfokus pada Nagham Mujawaad yang marak dilakukan di pesantren tersebut.

Tidak hanya beririsan dengan teori perfomasi ataupun berdiri sendiri, kajian dengan menggunakan diskusi resepsi juga seringkali beririsan dengan diskusi living Qur’an. Misalnya dalam kajian berjudul “Resepsi Masyarakat terhadap Al-Qur’an (Pengantar menuju Metode Living Qur’an)” ditulis oleh Muhammad Amin dan Muhammad Arfah Nurhayat (2020). Kajian tersebut memperlihatkan bagaimana Al-Qur’an itu hidup (living Qur’an) yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara resepsi estetik, resepsi kultural, dan resepsi akademisi.

Baca juga:  Ayat-Ayat Sosiologis dalam Al-Qur’an (1): Thaba’i Al-‘Umran Ibnu Khaldun (Surah Al-Ahqaf ayat 15 dan Surah Al-A'raf ayat 34)

Sama seperti diskusi dan performasi dan resepsi, diskusi living Qur’an juga banyak dilakukan dengan dalam lingkupnya sendiri. Misalnya “Studi Living Qur’an dalam Tradisi Kliwonan Santri PP. Attauhidiyah Syekh Armia bin Kurdi Tegal” yang dilakukan oleh Itmam Aulah Rakhman (2019). Kajian tersebut memahami tradisi Kliwonan yang merupakan hasil ‘racikan’ Kiai pesantren tersebut terhadap ayat-ayat dan atau surah Al-Qur’an yang kemudian aktif dipraktikkan hingga menjadi tradisi Al-Qur’an di pesantren tersebut.

Masih sangat banyak lagi contoh-contoh yang terkait tiga bentuk diskusi tradisi Al-Qur’an di atas. Di sini, saya kemukakan satu atau dua contoh saja, tetapi kiranya sudah dapat memberi pemahaman atas kajian pertemuan Al-Qur’an dan budaya dalam bentuk tradisi-tradisi Al-Qur’an. Lebih jauh, kajian-kajian tersebut hinggi terus mengalami perkembangan serta mencapai ragam nuansa. Terjadinya ragam nuansa kajian tersebut merupakan konsekuensi penyebaran diskusi tradisi Al-Qur’an bagi pengkajinya yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Nuansa Kajian Tradisi Al-Qur’an

Adapun nuansa kajian ketiga diskusi tersebut terbagi menjadi dua: (1) nuansa penelitian, dan (2) nuansa dakwah. Kajian yang bernuansa penelitian dapat dipahami bahwa tradisi Al-Qur’an dikaji dan diteliti secara objektif tanpa intervensi pengkajinya kepada sebuah fenomena tradisi Al-Qur’an tersebut. Sementara kajian yang bernuansa dakwah dapat dipahami tradisi Al-Qur’an dikaji tetapi masih terdapat intervensi pengkajinya, baik berupa pembenaran (bukan membenarkan) sebuah tradisi, narasi kebanggaan pada tradisi, ataupun adanya ajakan-ajakan dalam kajiannya.

Baca juga:  Imam Sibawaihi, Zumbur, dan Politik

Pada nuansa penelitian, kajian tradisi Al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua: (1) mengkaji tradisi Al-Qur’an yang telah bertransformasi secara kontekstual. (2) mengkaji tradisi Al-Qur’an yang masih pada tataran tekstual. Kajian pertama mengindikasikan adanya penelusuran lebih jauh terhadap fenomena tradisi Al-Qur’an, sebab tradisi tersebut merupakan hasil racikan/kreasi atas berbagai bagian Al-Qur’an, tafsir, kitab-kitab ulama yang mendasari terbentuknya tradisi Al-Qur’an tersebut, ini biasanya dilakukan oleh ulama.

Sementara kajian yang kedua, mengindikasikan tidak adanya penelusuran lebih jauh pada fenomena tradisi Al-Qur’an yang dikajinya. Hal ini dikarenakan tradisi Al-Qur’an tersebut terbentuk karena berkaitan langsung dengan Al-Qur’an, tanpa melakukan tahap penyesuaian dengan konteks manusianya. Sehingga, berada dikajian ini akan lebih cepat mengetahui bagian mana yang membentuk tradisi tersebut.

Sampai di sini, keragaman bentuk dan nuansa kajian tradisi Al-Qur’an di atas memperlihatkan berbagai sisi yang unik atas pertemuan Al-Qur’an dan budaya dalam bentuk tradisi Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kajian tradisi Al-Qur’an memberi keluasan dan panjangnya perjalanan Al-Qur’an dalam budaya manusia. Sementara nuansa kajian tradisi Al-Qur’an menunjukkan banyaknya cara pandang dalam melihat fenomena tradisi Al-Qur’an. Dengan demikian, semakin berkembangnya ragam bentuk dan nuansa kajian tradisi Al-Qur’an, semakin besar juga kesalingan antara Al-Qur’an dan budaya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top