Sedang Membaca
Tradisi Rajabiyah dan Haul Sayid Abdullah Dasin Tambakboyo Tuban

Founder LTC "Literasi Tambakboyo Center"

Tradisi Rajabiyah dan Haul Sayid Abdullah Dasin Tambakboyo Tuban

Img 20200216 143552

Tradisi merupakan suatu kegiatan yang terus menerus dilakukan dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok,  komunitas atau masyarakat. Dasin, desa yang berada di dekat pantura Tuban (masuk dalam wilayah kecamatan Tambakboyo-Tuban), yang sekilas sama dengan desa-desa lain, berupa komunitas masyarakat di bawah pemerintahan desa dengan kultur khas pedesaan.

Mayoritas penduduk berpenghasilan sebagai petani dengan komoditas polo ijo.  Kacang tanah dan jagung termasuk menjadi komoditas unggulan. Bahkan, desa ini termasuk penyuplai kacang mentah di pabrik-pabrik kacang ternama yang berlokasikan di Pati-Jawa Tengah.

Pada bulan Rajab, suasana masyarakat Dasin terasa beda dari bulan-bulan biasanya. Puluhan pedagang musiman berdatangan memenuhi pinggiran jalan utama desa ini,  dari penjual bakso sampai penjual jenang semuanya tumpah ruah meramaikan agenda tahunan yang diselenggarakan oleh panitia haul beserta masyarakat sekitar.

Khoul  atau haul “حول” semula berbahasa arab yang mempunyai pengertian setahun. Seperti syarat zakat mal yang wajib dibayarkan kalau sudah genap khaul. Selama setahun muzakki mengakumulasikan dana pendapatan hasil perdagangannya, selanjutnya dibayarkan zakatnya kalau sudah mencapai satu nishab.

Istilah haul yang awalnya bahasa arab bergeser menjadi istilah bahasa Indonesia yang mempunyai pengertian memperingati orang wafat yang diadakan setahun sekali. Biasanya orang yang diperingati haul adalah para tokoh yang berjasa berjuang mendermakan harta,  jiwa dan raganya untuk kepentingan masyarakatnya.  Bisa berarti masyayikh yang mensyiarkan ajaran Islam atau Mbah Danyang babat desa.

Sayid Abdullah, salah satu tokoh yang dihauli dalam acara Rajabiyah desa Dasin.  Ia termasuk salah satu ulama’ yang pertama kali berjasa mensyiarkan ajaran Islam Desa Dasin,  Tambakboyo.  Makamnya berada tepat di serambi Masjid Jami’ Makmur sebelah selatan. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat secara turun temurun beliau adalah Wali Allah yang mendapatkan amanat  syiar di desa tersebut.  Tidak diketahui silsilahnya secara jelas, akan tetapi masyarakat sering menyebutnya dengan mbah wali “Sayid Abdullah”. Sayid adalah nama gelar kehormatan yang diberikan kepada orang yang masih mempunyai garis lurus keturunan Nabi Muhammad saw melalui cucunya Sayid Hasan bin Ali dan Sayyid Husain putra Siti Fatimah.

Baca juga:  Peradaban Makam, Keindonesiaan, dan Fadli Zon

Kemungkinan besar beliau adalah cucu dari Rasulullah saw yang mensyiarkan Islam di bumi Ronggolawe, seperti halnya Sunan Bonang putra Sunan Ampel yang mensyiarkan Islam Jawa berasal dari Negara Champa, yang sekarang ini berada tepat di sepanjang pantai Vietnam.

Sebelum terjadi pemugaran masjid Makmur, makam beliau terletak di luar masjid. Namun seiring perkembangan zaman dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat. Akhirnya masyarakat memutuskan memugar masjid tersebut agar jama’ah bisa tertampung semua. Kondisi demikian mengakibatkan makam Sayid Abdullah sekarang masuk dalam lingkungan masjid. Para peziarah lebih merasakan kenyamanan sekarang dibandingkan beberapa tahun yang lalu yang mengharuskan membawa tikar sebagai tempat duduk saat berziarah.

Dahulu sebelum ada pembangunan masjid,  tanah tersebut adalah makam pesantren,  di samping kanan kiri makam Sayid Abdullah terdapat beberapa makam kuno.  Kemungkinan makam tersebut sebagai tempat persemayaman jasad yang hidup semasa dengan beliau, atau bisa jadi mereka dulu adalah santri-santri Sayid Abdullah.

Dugaan penulis semakin kuat dengan melihat nama dari makam itu, yaitu “makam pesantren”. Istilah pesantren sering diartikan sebagai tempat yang zaman dahulu digunakan untuk penggemblengan ajaran Islam, terdiri dari struktur kyai/ulama sebagai pendidik, dan santri/masyarakat yaitu orang yang dididik.

Bisa jadi,  lingkungan yang tidak jauh dari sekitar makam Sayid Abdullah dahulu adalah sebagai tempat beliau mensyiarkan ajaran Islam desa Dasin (wallahu a’lam). Secara kultur makam tersebut berada tepat di gang pemisah 3 dan 1 desa Dasin. penduduk yang berada di gang ini dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai masyarakat kauman (kaum santri), di samping itu juga sebagai pusat pendidikan Islam sampai saat ini.

Baca juga:  Wisata Kuliner: Mengangkat Keistimewaan Becek

Memang secara kebetulan atau tidak, setiap ustadz atau kyai yang bermukim di gang dekat makam selalu menjadi regenerasi dalam tombak kepemimpinan majlis ta’lim atau kyainya desa Dasin,  terlepas di dusun lain juga ada kyai-kyai yang mempunyai majlis ta’lim namun jumlahnya tidak sebanyak di gang dekat makam.

Di sebelah selatan makam Sayid Abdullah radius 800m dahulunya juga terdapat situs “ketapaan” berupa sumur tua peninggalan sesepuh yang bentuknya seperti gentong,  di dalamnya seperti ada sumberan “ngerong” yang tak pernah habis airnya,  meskipun di musim kemarau. Akan tetapi semua hanya tinggal cerita, pasca kebijakan pemerintahan desa menutup sumur tua itu dengan berbagai alasan keamanan.

Tradisi haul Rajabiyah yang di selenggarakan masyarakat Dasin adalah sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas kehadiran para masyayikh/ulama’ yang selalu ngemong dan memberikan petunjuk agama. Sikap teladan ulama’ yang gemati kepada umat yang menyebabkan jasanya selalu dikenang dengan diperingati haul satu tahun sekali. Ibarat gajah mati meninggalkan gading,  ulama’ wafat membawa teladan agung. Walaupun jasadnya sudah tiada, akan tetapi jasanya akan selalu hidup dan tersemai dalam setiap generasi.

Serangkaian acara haul biasanya diselingi dengan acara seremonial yang sudah mentradisi di masyarakat setempat, bahkan H-1 sebelum acara haul sudah dimulai dengan tradisi “jedoran” berupa komunitas hadroh tradisional yang ditabuh oleh orang tua dengan sholawat caping gunung ala “gending Jawa”, biasanya acara ini dimulai setelah selesai salat Isya’ sampai larut malam.

Selanjutnya, acara dimulai lagi setelah selesai salat Subuh berupa khataman alqur’an dan tahlil jama’ yang dibaca secara bergantian oleh ustad-ustad setempat.  Ada yang menarik dari tradisi ini, masyarakat Dasin biasanya memberikan kertas yang berisi catatan nama-nama orang yang meninggal kepada panitia haul, mereka menitipkan pembacaan tahlil untuk keluarganya yang meninggal kepada panitia penyelenggara dengan memberikan bisyaroh/dana yang digunakan untuk suksesi haul dan sumbangan masjid. Dari sisi finansial acara tahli jama’ ini bisa menjadi cara yang jitu untuk mensukseskan acara.

Baca juga:  Menelisik Makam di Balik Kuburan Wali (3, Bagian Akhir)

Menjelang Ashar biasanya tahlilan jama’ telah selesai,  dilanjutkan lagi acara berikutnya setelah sholat ashar berupa tahlil umum di dekat pusara makam dan di lingkungan masjid makmur. Masyarakat tumpah ruah berbondong-bondong menuju masjid dengan membawa “berkat” bingkisan yang isinya nasi,  lauk-pauk dan jajanan pasar.  Mereka khidmah mengikuti acara yasinan dan tahlil yang dihadrahkan ke Sayid Abdullah dan para sesepuh Dasin yang sudah wafat. Setelah selesai tahlil,  masyarakat saling berbagi bingkisan yang mereka bawa,  biasanya dikomando oleh panitia penyelenggara.

Kemudian dilanjutkan acara terakhir sebagai acara inti,  yaitu pengajian umum memperingati haul masyayikh dan sesepuh Dasin wabil khusus Sayid Abdullah.  Biasanya acara pengajian ini sangat ramai,  tidak hanya dihadiri oleh masyarakat desa Dasin, desa sekitar seperti Klutuk, Sawir, Tambakboyo,  Sotang,  Pulo Tanjang juga ikut memeriahkan acara. Alasan demikian karena pertama: secara kultur masyarakat Tambakboyo sebagai kaum santri  senang dengan pengajian, kedua:, tertarik dengan penceramahnya dan ketiga: masyarakat senang dengan keramaian.  Banyak sekali pedagang jajanan musiman yang berjualan disekitar lingkungan acara pengajian, ditambah lagi beberapa permainan anak yang menambah suasana desa Dasin menjadi sangat ramai.

Tradisi haul tahunan ini,  menurut penulis ada beberapa manfaat dan hikmah yang di ambil,  diantaranya:

Pertama, mampu mengembangkan potensi ekonomi desa dalam nguri-nguri tradisi. Kedua, sebagai pengingat jasa-jasa leluhur dan teladan yang telah mereka berikan kepada masyarakat Dasin, selanjutnya dijadikan sebagai panutan dan teladan diri dalam bersikap.  Ketiga, terciptanya sikap gotong royong dan kerukunan yang berdampak pada kedamaian dan kenyamanan di lingkungan desa.  Keempat, sebagai bentuk darma bakti masyarakat kepada desa yang mereka tempati. Kelima, sebagai bentuk kepedulian saling berbagi antar sesama,  terlebih bagi masyarakat yang sangat membutuhkan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top