Sedang Membaca
Peradaban Makam, Keindonesiaan, dan Fadli Zon
Sahlul Fuad
Penulis Kolom

Pengasuh Taman Baca Winaya Cita di Desa Kadusirung, Pagedangan, Tangerang. Alumni Institut PTIQ Jakarta dan Antropologi UI Akun Media Sosial: Facebook Caklul Fuad, Twitter dan Instagram @caklul

Peradaban Makam, Keindonesiaan, dan Fadli Zon

Sikap Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menanggapi video viral tentang Sandiaga Uno melangkahi makam KH. Bisri Syansuri patut diteladani dunia. Sikapnya yang seakan menyepelekan masalah makam menunjukkan tingkat peradaban Zon telah melampaui zamannya.

Dia telah mendekonstruksi pemahaman sebagian besar bangsa Indonesia, bahkan dunia, tentang makam.

Pernyataan Fadli Zon yang ditulis media dengan mengatakan,”Masalah-masalah begini apa dampaknya bagi bangsa dan negara? Saya kira ini masalah makam saja,” pada Senin 12/11/2018 di Komplek Senayan, seakan-akan Zon telah menuntaskan seluruh persoalan relasi manusia yang hidup dengan manusia yang telah meninggal.

Selaku politisi bangsa Indonesia, pernyataan yang disampaikan tersebut sangat epik. Sebab pernyataan Zon tersebut seakan ambigu dengan tindakannya yang memamerkan foto dirinya di depan makam Karl Marx dan Evita Peron melalui media (sosial). “Inikan masalah makam saja, mengapa harus foto di depannya?” kira-kira begitu orang akan menanggapinya.

Peradaban Makam
Makam seringkali dipandang sebagai penanda peradaban, walaupun di dalamnya mungkin hanya berisi berbagai tulang-belulang milik manusia yang pernah hidup.

Terlepas dari pendapat yang menyatakan bahwa ide adanya makam berasal dari Qabil putra Adam terinsipirasi dari burung gagak, fakta sejarah dan arkeologis menunjukkan bahwa peradaban makam telah terbangun sejak ribuan tahun yang lalu. Berbagai bentuk usaha dan ritual yang dilakukan manusia untuk membuat atau membentuk suatu makam. Oleh karena itu, wujud makam di berbagai peradaban memiliki keragaman.

Ken Worpole (2003) dalam Last Landscapes: The Architecture of the Cemetery in the West, menyampaikan bahwa betapa beragamnya berbagai sikap dan praktik memperlakukan orang yang sudah meninggal di berbagai bangsa. Ada yang diperlakukan secara kasar, ada pula yang diperlakukan dengan penuh cinta. Hal ini, lanjutnya, menunjukkan bahwa semua menghadirkan tantangan etika dan budaya, dan kesadaran masyarakat akan identitas dan sejarahnya sendiri.

Baca juga:  Menziarahi Makam Sunan Kuning

Secara sederhana saya mengelompokkan peradaban makam di sini menjadi tiga ciri. Pertama, makam dengan penanda sederhana. Makam ini hanya ditandai dengan tumpukan batu atau pohon apa adanya, tanpa dikreasi atau diubah menjadi bentuk tertentu dan juga tanpa nama, sehingga tidak banyak orang tahu apakah itu makam atau bukan. Jika penanda tersebut memang benar makam, tidak dapat diketahui secara langsung identitas orang yang dikubur di dalamnya.

Kedua, makam dengan penanda mewah dan megah, yang dikreasi, dibangun, diukir, ditata dan dirawat sedemikian rupa seakan istana. Makam tersebut membuat orang yang datang dari ruang dan waktu yang berbeda dapat mengenali tokoh di balik makam tersebut.

Ketiga, merupakan kombinasi di antara dua ciri di atas. Kelompok ini tidak mau atau bahkan melarang membangun makam secara secara berlebihan, namun yang terpenting di sana terdapat identitas penghuninya.

Jika mendasarkan pada ketiga ciri tersebut, makam-makam yang ada di Indonesia pada dasarnya memiliki ketiga peradaban tersebut. Makam-makam kuno di berbagai wilayah Indonesia banyak yang hanya ditandai batu, tanpa ukiran dan tanpa nama. Orang-orang yang datang dari tempat dan zaman yang berbeda tidak akan tahu identitas dan jasa orang di dalamnya bagi masyarakat di lingkungannya. Mungkin hanya keluarga dan masyarakat sekitar atau kuncen yang tahu tokoh yang ada di balik batu penanda tersebut sekaligus perannya. Padahal tokoh tersebut memiliki peran besar dalam membangun suatu kota atau penyebar ajaran Islam. Hal ini, misalnya, dapat dilihat di Wonosobo, Garut, Lampung, dan lain-lain.

Baca juga:  Santri sebagai Komunitas yang Terbayang

Meski demikian, banyak juga makam-makam klasik yang sudah ada ukiran nama di batu nisannya. Di kota Gresik atau kota-kota lain yang ada makam wali, misalnya, walaupun sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka, tokoh di balik makamnya dapat dikenali secara jelas.

Orang-orang yang datang dari ruang dan waktu yang berbeda tetap dapat mengenalnya, sekaligus jasanya bagi negeri ini. Bukan hanya itu, masyarakat Indonesia terus mengalir untuk berziarah. Siang-malam mereka berombongan dari berbagai wilayah mendoakan sang tokoh, sebagai ucapan terima kasih telah mengenalkan sopan santun dalam berhubungan dengan manusia. Mereka bukan hanya belajar bersopan santun dengan sesama manusia yang hidup, tetapi juga bersopan santun dengan yang meninggal dunia.

Dari ketiga ciri peradaban makam tersebut, banyak orang menafsirkan tentang makna makam. Penafsiran yang paling umum di antaranya adalah bahwa makam sebagai penghargaan atau penghormatan orang hidup atas orang-orang yang telah meninggal karena memiliki jasa: melahirkan, membesarkan, mendidik, menginspirasi, memperjuangkan, menyelamatkan, dan bahkan memperkaya dirinya serta banyak orang lain.

Ketika Zon dengan bangga berpose di depan makam Karl Marx atau Evita Peron menunjukkan sikapnya yang menghargai peradaban makam tipe kedua. Akan tetapi ketika menanggapi laku Sandiaga Uno melangkahi makam ulama, menunjukkan sikapnya menolak peradaban makam ciri ketiga. Jadi bagaimana sebenarnya tafsir Zon tentang makam?

Dekonstruksi Zon tentang Makam
Pernyataan Zon tentang makam di media tersebut seakan-akan dapat menghasilkan pemahaman bahwa makam “hanyalah urusan gundukan tanah atau bebatuan yang menutupi ‘bekas manusia’, karena itu urusan makam adalah masalah sepele.” Dengan pemahaman demikian, perkara makam ini setidaknya menyangkut dua masalah utama, yaitu relasi negara dan bangsa dengan gundukan tanah atau bebatuan dan relasi negara dan bangsa dengan “bekas manusia”.

Baca juga:  Anjing dalam Masyarakat Arab: Dipelihara Istri Nabi hingga Menjadi Teman Sufi

Bagi suatu bangsa dan negara, masalah tanah merupakan salah satu persoalan rumit, bahkan untuk melihat ciri ideologi suatu bangsa dan negara, di antaranya, dapat melihat pada pengaturan kepemilikan tanah, dimiliki negara atau dimiliki warga negara. Kita tahu bahwa masalah agraria di Indonesia sendiri masih memiliki PR besar yang belum terselesaikan. Karena di sana ada masalah pajak, masalah tata ruang, konflik kepemilikan, dan sebagainya.

Sedangkan tanah makam bukanlah urusan yang terlampau rumit, karena setiap orang paling membutuhkan 2 x 1 meter, dan setelah itu ditutup kembali. Jarang juga ada orang berkonflik akibat rebutan lahan makam. Apalagi hanya urusan gundukan tanah atau bebatuan. Kalaupun ada biasanya urusan klenik, seperti untuk pesugihan, pelet, dan lain. Oleh karena itu, makam dalam konteks ini memang tidak ada dampaknya bagi negara atau bangsa, sebaliknya justru membuat gaduh di tengah masyarakat saja.

Warga negara yang telah meninggal seharusnya memang ditulis dalam akte kematian. Dengan demikian, negara tidak memiliki hubungan lagi dengan warga negara tersebut, kecuali jika ada persoalan hukum yang memaksa untuk mengetahui kejanggalan-kejanggalan dalam tubuh warga negara yang telah menjadi jenazah tersebut, sehingga negara perlu melakukan autopsi. Mungkin hal itulah yang menjadi urusan warga negara terakhir. Setelah itu, negara tidak perlu berhubungan dengan mantan warga negara dan bangsa tersebut. Apalagi “bekas manusia” tersebut telah berubah menjadi tulang-belulang.

Dari sini jelas, bahwa “bekas manusia” tidak memiliki dampak apapun bagi negara yang bangsa. Kalau pun ada, pasti itu ulah orang yang masih hidup, sekurang-kurangnya hantu “bekas manusia” yang mati penasaran.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top