Sedang Membaca
Hafez Shirazi, Bukti Kebijaksanaan Timur
Ulummudin
Penulis Kolom

Mahasiswa Studi al-Qur'an dan Hadis, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Hafez Shirazi, Bukti Kebijaksanaan Timur

1 A Makam Hafez Shirazi

Siang itu, kota Shiraz masih ditemani rintik-rintik hujan. Tak heran, karena sekarang sedang memasuki musim semi. Bunga-bunga yang tertidur di musim dingin membutuhkan siraman air untuk bermekaran kembali. 

Tak jauh dari makam Sa’adi, ada satu lagi penyair legendaris Persia, Hafez Shirazi. Bus yang saya naiki dari makam Sa’adi berjalan pelan menembus jalanan kota Shiraz yang basah terkena hujan. Tak butuh waktu lama untuk sampai di mausoleum Hafez. Tepat di sebuah persimpangan besar, sang kondektur berteriak “Hafez, Hafez”. Saya pun turun dan melihat sudah banyak orang yang mengantri untuk memasuki komplek makamnya. 

Jika dibandingkan dengan Sa’adi, pengunjung makam Hafez lebih ramai. Walaupun demikian, saya tetap antusias menunggu giliran untuk sampai di depan loket masuk. Ketika saya berdiri antri, tiba-tiba ada seorang peziarah yang menyapa saya. Rupanya, dia penasaran dengan wajah asing di tengah-tengah orang Persia.  

Percakapan saya dengannya, ternyata membawa keberuntungan. Tanpa aba-aba, ia meraih tangan saya dan langsung membawa saya ke depan loket memotong antrian yang mengular. Ia berbicara dengan petugas bahwa saya harus didahulukan untuk masuk karena status saya sebagai orang asing. Orang asing akan dianggap mehman atau tamu yang mempunyai keistimewaan. Tanpa perdebatan, petugas loket langsung memberikan saya tiket dengan harga sama seperti peziarah lokal. Tentu saja, saya merasa senang dengan hal yang tak terduga ini. 

Baca juga:  Al Aqsa dan Wajah Paradoks Yerusalem

Sama seperti makam Sa’adi, makam Hafez juga berada di tengah-tengah taman. Ketika saya mulai melangkahkan kaki, saya seperti sedang memasuki sebuah istana. Jalan  menuju mausoleum tertata rapi dan indah dengan bunga-bunga di sekelilingnya. Sementara, di sisi kanan kirinya dihiasi oleh pohon cemara, hingga nampak rindang dan sejuk. 

Sebelum sampai di makam Hafez, kita harus menaiki anak tangga yang akan  mengantarkan kita ke sebuah bangunan mirip panggung atau altar. Dari sana, kita dapat melihat makam Hafez dengan jelas yang sedang disesaki oleh para peziarah. Berbeda dengan makam Sa’adi yang tertutup dalam ruangan, makam Hafez dibiarkan terbuka dan hanya dipayungi oleh sebuah atap lengkap dengan tiang-tiangnya yang menyerupai sebuah cawan terbalik. 

Saya berdiri sejenak di panggung untuk menunggu giliran berdekatan dengan Hafez. Saat itu, belum ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Di tengah guyuran hujan, saya membayangkan bagaimana dulu Hafez membacakan syair-syairnya. Ia berdiri di posisi makam saat ini dan orang-orang menonton dengan antusias di tempat dimana saya berdiri saat ini. Sangat syahdu sekali berpuisi di tengah taman yang indah. 

Sentuhan seni seperti inilah yang telah hilang dalam kehidupan kita. Kita sekarang seolah-olah lupa bagaimana cara menikmati hidup, hingga yang dirasakan hanyalah kegersangan dan kompetesi yang tak pernah usai. Padahal, kita perlu sejenak mengambil jarak dengan rutinitas untuk menikmati petuah bijak bestari dari para pujangga untuk menjaga kewarasan kita. 

Baca juga:  Mengenang Goethe di Weimar

Hujan sudah mulai reda, saya pun beranjak mendekati makam Hafez. Mengikuti tradisi Persia ketika ziarah, saya pun harus berdesak-desakan dengan peziarah lain untuk sekedar dapat menyentuh dan mengecup nisan.

Bagi orang Iran, berkunjung ke makam Hafez sama seperti menziarahi kerabat dekat. Sebagian dari mereka meletakan bunga dan menyiramkan air mawar di atas makamnya. Mereka melakukannya dengan penuh khidmah seolah-olah ia adalah bagian dari keluarganya. Ini menjadi fenomena unik melihat bagaimana orang Iran menghormati para penyairnya. 

Hafez mempunyai tempat istimewa di tengah masyarakat Iran. Hafez biasa dijadikan sebagai nama jalan di berbagai kota. Bahkan, mereka mempunyai perayaan khusus untuk mengenang Hafez yang jatuh pada tanggal 20 Mehr yang biasanya jatuh pada pertengahan Oktober. Hari Hafez tersebut dirayakan dengan kajian sastra dan puisi oleh komunitas-komunitas sastra.  

Hafez sendiri lahir tahun 1315 dan meninggal tahun 1390 di Shiraz. Karya utamanya adalah Divan-e Hafez yang memuat puisi-puisi yang berbicara tentang cinta, keyakinan, ketuhanan dan ajaran-ajaran moral kehidupan. Menurut para kritikus sastra, syair Hafez ditinjau dari metode dan isi merupakan hasil gabungan antar irfan Rumi, kecintaan Sa’adi,  dan filsafat Omar Khayyam. 

Keunikan tersebut tidak saja memuat nama Hafez harum di Persia, tetapi juga menarik peminat sastra dunia. Sebut saja Goethe, sastrawan Jerman, karya yang berjudul West-ostlicher Divan sangat kental pengaruh Hafez di dalamnya. Karya ini dipandang sebagai simbol interaksi yang baik antara Barat dan Timur. Selain Goethe, Friedrich Engels juga mengagumi Hafez. Bahkan, ia mempelajari bahasa Persia karena ketertarikannya terhadap puisi Hafez. Masih ada lagi orientalis seperti Arthur Jhon Arberry yang mengakui kekuatan syair dari Hafez. 

Baca juga:  Pengalaman Salat Tarawih di Masjid Ibnu Thulun, Kairo

Berikut ini adalah satu di antara syair-syair Hafez:

Aku seorang darwish, pengembara

Anugrahi aku Kasih-Mu, oh Tuhanku

Aku tak tahu, apalagi yang aku harapkan

Selain pintu-Mu ini

Selain sebagai penyair, ia juga dikenal sebagai seorang sufi. Syair-syair mistiknya mampu menyirami jiwa yang sedang dilanda kekeringan. Kebijaksanaan dan spiritualitas seperti ini masih berkembang di Timur. Mungkin alasan ini juga yang membuat Goethe mempelajari syair Hafez karena di saat yang sama Barat sedang berjalan ke arah matrealistik. Hafez dengan tradisi Timurnya menawarkan jalan bahwa untuk mendapatkan kebahagian, kita harus memunuhi jiwa dengan cinta bukan materi belaka.  

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top