Sedang Membaca
Bercermin, Semuanya karena Kemurahan Allah

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Bercermin, Semuanya karena Kemurahan Allah

Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, barangsiapa mengenali dirinya, ia mengenali tuhannya. Banyak orang bertahun-tahun menempuh jalan hanya untuk menemukan makna mengenali diri. Ada yang menempuhnya dengan bersekolah tinggi-tinggi sampai ke luar negeri.

Ada yang menjadi pedagang, ada yang menjadi guru, ada yang menjadi kiai, dan ada yang menjadi murid. Memang Tuhan memberikan isyarat bahwa keberadaan-Nya adalah untuk dikenali. Tuhan sendiri pernah berfirman bahwa “Aku ada agar aku dikenal.” Barangkali kita membutuhkan waktu seumur hidup untuk menemukan makna mengenali diri sendiri dan mengenali Tuhan. 

Namun di zaman yang serba runyam seperti sekarang, orang merasa sudah mengenali dirinya, apalagi Tuhannya. Orang buru-buru mendaku bahwa ia paling mengenali dirinya. Apa buktinya?, mereka ingin lekas dikenali orang lain bahwa mereka adalah orang yang taat pada Tuhan-Nya.

Amalannya paling keren, zakat, infaq, dan shodaqoh paling bisa dilihat daripada orang lain. Orang buru-buru mencium tangannya dan lekas memanggilnya “Pak Haji”. Tidak hanya gelarnya yang harus ditulis di undangan-undangan, setiap orang pun diminta untuk menambahkan sebutan “H” di awal namanya, ingat itu  wajib!

Sementara Kiai Sodron adalah kiai yang sepi ing pamrih rame ing gawe. Ia selalu menggelisahkan murid-muridnya. Tiap malam ia pandangi murid-muridnya ketika tidur. Ia ajak dialog murid-muridnya yang belum tidur. Ia selalu gelisah, bagaimana mengajarnya, apakah sudah benar, apakah sudah sesuai dengan perintah Tuhan? Apakah sudah sesuai dengan apa yang dituntunkan kanjeng Nabi?

Baca juga:  Wahsyi ibn Harb: Kisah Penuh Emosional Sebuah Pertaubatan

Lama-lama ucapan Kiai Sodron mirip aforisma. Tiap hari dalam kultum dan pengajiannya selalu keluar aforisma. Orang-orang pesantren dan murid-muridnya diam menyimak dan memperhatikannya. Tapi sebagian santri lain ngrasani (menggunjing), “tumben Kiai Sodron, Ndak pernah Ndalil? (Tidak biasanya Kiai Sodron memakai dalil-dalil). 

Hampir tiap hari yang dipikirkan Kiai Sodron tambah banyak, perluasan pesantren, kurikulum pesantren, dan apa yang telah diberikan olehnya pada murid-muridnya. Kiai Sodron mengabdi dalam sepi, ia tidak ingin orang-orang tahu apa yang ia gelisahkan. Ia tidur paling akhir, dan bangun paling awal. 

Apa yang dilakukan Pak Haji dengan Kiai Sodron barangkali adalah fenomena yang ada di sekitar kita. Kita sering merasa menemukan diri kita, sementara kita masih jauh dari diri yang sejati. Jalaluddin Rumi menuliskan sajak yang indah yang diterjemahkan oleh Taufiq Ismail : 

Aku tidak perlu puji-puji itu, kata Allah

Karena Aku terlampau tinggi

Hati yang mengucapkannya itu yang perlu

Aku tidak perlu kata-kata indah

Aku perlu hati penuh perasaan

 

Macam-macam cara manusia

Menunjukkan cara pengabdian mereka padaKu

Asal pengabdian itu tulus dan ikhlas

Aku terima

Aku terima…

Makrifat itulah pelajaran pertama yang diamalkan oleh para sufi. Sebelum mencapai makrifat, orang akan sulit untuk menaiki tangga berikutnya. Para sufi sering menggambarkan makrifat itu dicapai bila seorang hamba merasa dilihat oleh Tuhannya, bila tidak, Tuhannya melihat dan memperhatikannya. 

Baca juga:  Meneladani Sifat Gemati dan Tepa Selira dalam diri Nabi

Boro-boro  mikir mencapai makrifat, shalat saja kadang kita masih belum bisa khusyuk. Kadang shalat masih lupa rakaatnya, masih teringat sayur yang belum dihangatkan, masih ingat hutang, dan lain sebagainya. Sampai lupa sebenarnya bacaan yang kita baca pas sholat itu kita pahami apa belum. 

Memahami bahwa kita ini adalah hamba memang tidak mudah. Mestinya seorang hamba yang taat adalah hamba yang selalu menurut apa yang diperintahkan Tuannya. Lah kita saja diperintah macam-macam oleh Tuhan malah kita melengos. Eh, giliran ditanya, engkau minta apa hai Fulan, maka seketika mulut kita nerocos seolah bumi dan langit hendak kita miliki. 

Mungkin kita bisa menyimak sajak yang pernah ditulis oleh Rabiah Al Adawiyah. Seorang sufi perempuan yang menghabiskan hidupnya hanya untuk beribadah. Mantan budak ini akhirnya menyendiri, dan terus-menerus mengagungkan asma-Nya hingga wafat.

Dengarlah pengakuannya dalam sajaknya : Ketika kudengan suara azan/ yang kudengar adalah panggilan kiamat/ ketika kulihat salju/ yang kuingat ialah bulu beterbangan/ ketika kulihat belalang/ yang kulihat hanyalah hari perhitungan.

Beribadahlah seolah-olah engkau akan mati esok, bekerjalah engkau seakan akan engkau hidup selamanya. Wejangan kanjeng nabi inilah yang mestinya kita anut dan amalkan. Bukan sebaliknya, kita bekerja seolah-olah besok mau mati, dan beribadah seolah kita hidup selamanya. 

Baca juga:  Mengakali Kematian: Kisah Abu Nawas

Apakah kita berani memastikan diri dihadapan Allah kalau shalat kita sudah benar?. Saya jadi ingat petuah Gus Baha dalam satu pengajiannya. “Ya, jadi orang islam itu harus optimis dan yakin. Sholat ya yakin kalau sholat kita diterima. Kalau kita gak yakin, bagaimana Allah akan menerima?. Yang penting yakin, wong sudah mengamalkan perbuatan baik, harus diikuti dengan keyakinan. yakinlah Allah Maha Pemurah.”  

Memang pada akhirnya, semua karena kemurahan Allah. Hidup kita sendiri pun adalah kemurahan Allah, kita dipersilakan untuk menikmati berbagai kenikmatan hidup, nikmatnya es teh, nikmatnya makan enak, “nikmatnya” sakit, dan “nikmatnya” miskin.

Kalau kemiskinan tidak dinikmati, maka sudah pasti hidup menjadi susah. Tapi kalau kemiskinan dinikmati, maka miskin itu tidak terasa. Itulah dahsyatnya kemurahan Allah.

Itu hanya bisa dicapai dan digapai oleh orang yang yakin seyakin-yakinnya, pasrah sepasrah-pasrahnya, bahwa tugas kita sebagai manusia hanya berupaya dan terus berupaya. Sementara keputusan dan hasilnya, kita serahkan pada Allah Swt. Allahua’lam bishowab. (SI)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top