Sedang Membaca
Meneladani Sifat Gemati dan Tepa Selira dalam diri Nabi
Muhammad Sofiyulloh
Penulis Kolom

Mahasantri Ma'had Aly Lirboyo Kediri asal Nganjuk.

Meneladani Sifat Gemati dan Tepa Selira dalam diri Nabi

masa kecil

Terhadap tindak lampah Nabi, kita semampu mungkin harus meneladani. Masalah peliknya, kita hidup di era di mana, undangan pernikahan disampaikan lewat broadcast tanpa keterangan nama yang spesifik, order makanan secara online lebih dipilih ketimbang memajukan UMKM setempat, clicktivism dianggap sebagai tindakan heroik daripada menyumbangkan dana bantuan bencana alam. Modernisasi ini membawa banyak dampak negatif yang kian membumihanguskan ajaran-ajaran Nabi yang  di antaranya, sifat gemati dan Tepa Selira.

Saya ingin memulai ini dengan satu pertanyaan, termasuk bertanya pada diri sendiri: kalau mendengar teriakan anak kecil yang menangis dari rumah tetangga saat sedang salat, kira-kira gimana reaksi kita?

Hampir dipastikan, kita akan kesulitan khusyuk atau bahkan tidak sama sekali, atau malah mengumpat dalam hati. Setelah salam langsung pergi ke ruangan lain untuk segera memutar musik dengan headset yang padahal sebetulnya earphone, hingga kebisingan dan kerewelan si bocil tergantikan dengan teori konspirasi di lagu-lagu Muse itu, misalnya.

Namun, Nabi Muhammad saw jelas berbeda. Gara-gara mendengar tangis anak kecil dan khawatir ibu dari anak itu kerepotan menenangkan, Nabi yang awalnya hendak melakukan itholah (memelankan ritme salat), justru meringkas salatnya dengan tetap menjaga kekhusyukan dan segera menemuinya. Oleh sayid Muhammad Bin Alwi Al-Maliki, kisah Nabi yang satu ini ditulisnya dalam segmen atau bab “bagaimana gemati Nabi pada anak-anak kecil”, yakni di kitab beliau, Muhammad Al-Insan Al-Kamil.

Hal serupa juga ditemukan dalam Syarah Al-Nawawi ‘Ala Al-Muslim, yaitu tentang bagaimana rasa kasih sayang Nabi pada putranya, Ibrahim, yang meninggal di usia 16 bulan.

Pada Hari Selasa 10 Rabiulawal itu, di kediaman ibu susuan Ibrahim bernama Khoulah, Nabi sempat menemui sang buah hati sebelum Allah mengambil nyawanya. Nabi mengecup Ibrahim. Dan Nabi tak kuasa menahan deraian air mata.

Baca juga:  Menari Bersama Kekasih (3): Laku Thariqah

Abdurrahman Bin Auf yang waktu itu juga ada di sana, merasa heran dengan tangis Nabi. Ketika ia bertanya dan menyinggung sabda Nabi sebelumnya yang seolah melarang tangis atas meninggalnya seseorang, Nabi menjawab, “Air mata ini adalah tanda kasih sayangku pada Ibrahim. Benar air mataku berlinang, hatiku bersedih, tapi aku tak mengatakan apa yang tidak diridai-Nya.”. Nabi meneruskan, “Sungguh, Ibrahim akan disempurnakan (digenapkan dua tahun) persusuannya di surga.”.

Nabi juga pernah ditanyai seorang badui, sejenis manusia yang terkenal dengan ke-kumprungan-nya. Ia bertanya kenapa Nabi kerso mengecup anak kecil. Nabi lantas menjawab bahwa, keberadaan kasih sayang terhadap anak kecil yang tertanam dalam hati, tentu akan membuat seseorang mau menciumnya dengan penuh asih.

Di kitab Muhammad Al-Insan Al-Kamil pula, sayid Muhammad bin Alwi Al-Maliki mengisahkan bagaimana nuansa hangat tercipta kala beliau menghibur anak-anak kecil dari bani Abbas. Beliau berdiri jauh mengambil jarak antara anak-anak kecil yang telah diperintahnya berbaris rapi.

Dengan aba-aba Nabi, mereka berlomba-lomba sampai lebih dahulu ke hadapan beliau. Ada yang melompat ke pelukan Nabi, sebagian lain yang mungkin larinya kurang cepat meloncat ke punggung beliau. Sebagai hadiah, beliau mengusap dan mendoakan mereka semua, tidak hanya yang menang. Dan masih banyak lagi bab tentang ke-gemati-an Nabi dalam Muhammad Al-Insan Al-Kamil dengan pengelompokan tertentu, bagaimana gemati Nabi dengan keluarga, anak kecil, para sahabat dsb.

Nabi juga menaruh perhatian khusus untuk mengajarkan Al-Quran pada anak-anak sebagai salah satu manifestasi sifat gemati beliau. Sebab dengan pembelajaran itu, ruh dan cahaya Al-Quran akan terpatri dalam hati dan pikiran mereka sejak dini. Jadi, gemati tidak semerta-merta memanjakan dan mengabaikan pendidikan anak-anak.

Baca juga:  Tingkatan Bersuci Menurut Imam Al-Ghazali

Oleh karena itu, Abu Hamid Al-Ghazali menegaskan;

«وحتى أن سليمان عليه السلام في ملكه كان يطعم الناس لذائذ الأطعمة وهو يأكل خبز الشعير فجعل الملك على نفسه بهذا الطريق امتهانا وشدة فإن الصبر على لذائذ الأطعمة مع القدرة عليها ووجودها أشد ولهذا روي أن الله تعالى زوى الدنيا عن نبينا صلى الله عليه وسلم فكان يطوي أياما وكان يشد الحجر على بطنه من الجوع ولهذا سلط الله البلاء والمحن على الأنبياء والأولياء ثم الأمثل فالأمثل كل ذلك نظرا لهم وامتنانا عليهم ليتوفر من الآخرة حظهم كما يمنع الوالد الشفيق ولده لذة الفواكه ويلزم ألم الفصد والحجامة ‌شفقة عليه وحبا له لا بخلا عليه»

Bahwa, termasuk bentuk kasih sayang dan sama sekali bukan berarti pelit adalah tidak memanjakan anak dengan memberinya makanan-makanan lezat terus menerus. Padahal menghidangkan ayam setiap hari untuk keluarga sudah turah-turah alias sangat mampu.

Saya, secara pribadi, tidak hanya mengenal gemati sebagai rasa kasih sayang belaka. Selain diartikan sebagai kasih sayang, gemati adalah salah satu dari sekian bukti kesabaran seseorang yang begitu paripurna. Guru-guru kita yang mengajar Al-Quran tiga kali dalam sehari dan masih istikamah nderes (melancarkan hafalan) itu, tentu adalah sosok yang sangat gemati, sabar, open dan telaten.

Abu Hamid Al-Ghazali juga menuturkan;

«ومن نظر في أقوال الرسول صلى الله عليه وسلم، وما ورد من الأخبار في اهتمامه بإرشاد الخلق، وتلطفه في جر الناس بأنواع الرفق واللين واللطف، إلى تحسين الأخلاق وإصلاح ذات البين، وبالجملة إلى ما يصلح به دينهم ودنياهم حصل له علم ضروري، بأن شفقته صلى الله عليه وسلم على أمته أعظم من ‌شفقة الوالد على ولده»

Baca juga:  Ngaji Rumi: Narsisme Radikal dan Runtuhnya Etika Sosial

Bahwa, siapa saja yang memahami betul seluruh tindak lampah Nabi, akan mengetahui secara dhoruri (pasti), bahwa rasa gemati Nabi pada umatnya, lebih dari rasa gemati orang tua pada anaknya. Demikian kata Al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Munqidz min Al-Dhalal.

Selain gemati, Tepa Selira (tenggang rasa) adalah apa yang juga diajarkan beliau pada kita semua. Nabi Muhammad selalu bijaksana dalam menjawab pertanyaan yang rawan menimbulkan perpecahan dan kecemburuan sosial di antara para sahabat. Misalnya, saat beliau ditanya siapa yang lebih Nabi cintai di antara; Ja’far bin Abi Thalib, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.

Dengan penuh Tepa Selira, Nabi menjawab: “Wahai Ja’far, akhlak dan perangaimu mirip dengan akhlak dan perangaiku. Wahai Ali, engkau adalah saudara sekaligus menantuku. Wahai Zaid, engkau adalah budak yang kumerdekakan, dan orang yang paling aku cintai di antara kaummu.”

Yang akhir-akhir ini salah kaprah adalah, teman kita di dunia nyata yang tidak follow balik akun Instagram, tidak menyalakan terakhir dilihat dan laporan dibaca di Whatsapp, dengan mudahnya dianggap egois, egosentris dan apatis. Dirasa jauh dari kata Tepa Selira. Padahal, itu semua sama sekali tak saling berkaitan dengan Tepa Selira. Teman ya teman aja, konyol kalau segala hal perlu ada yang namanya terms dan conditions-nya.

Walhasil, beberapa dari kita harus bersyukur tinggal di kawasan yang walaupun termasuk perkotaan, tetapi masih melestarikan Tepa Selira dengan kentalnya dalam banyak aspek keberlangsungan hidup. Misalnya, masih saling menyapa saat bertemu tetangga, mengucapkan terima kasih jika telah dibantu, membuka toples-toples di ruang tamu tanpa menunggu raut muka ingin mencicipi, menyiapkan sedotan di samping air mineral, dsb.

Semoga bermanfaat.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top