Sedang Membaca
Mengenal Kitab Pesantren (26): Kalau Ingin Mendapatkan Istri Sholihah Harus Hafal Alfiyyah Ibnu Malik
M. Tholhah Alfayad
Penulis Kolom

Lahir 15 Agustus 1996. Pendidikan: alumni Madrasah Hidayatul Mubtadiin, Lirboyo, Kediri. Sedang menempuh S1 Jurusan Ushuluddin Univ. Al Azhar al Syarif, Kairo, Mesir. Asal Pesantren An Nur I, Bululawang, Malang, Jawa Timur.

Mengenal Kitab Pesantren (26): Kalau Ingin Mendapatkan Istri Sholihah Harus Hafal Alfiyyah Ibnu Malik

Alfiyyah Ibnu Malik adalah sebuah karya besar dalam ilmu gramatika ilmu bahasa arab. Kitab ini berisi 1000 bait syair yang mengupas tuntas ilmu gramatika bahasa arab. Konon, seorang santri tidak akan dianggap sempurna memahami gramatika bahasa arab sebelum menguasai kitab Alfiyyah Ibnu Malik.

Kitab Alfiyyah Ibnu Malik disusun oleh Muhammad bin Abdullah bin Malik atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Malik, seorang ulama kelahiran Jaen, sebuah dataran di timur kota Kordoba di negara spanyol. Ibnu Malik lahir pada tahun 601 H atau sekitar 1205 M. Di antara guru-gurunya adalah Tsabit bin Hayyan, Abu Ali asy-Syaluvin, Ali bin Muhammad as-Sakhawi dan masih banyak lagi. Ibnu Malik wafat pada tahun 672 H atau sekitar 1274 M di kota Damaskus.

Alfiyyah Ibnu Malik adalah sebuah karya klasik yang diciptakan dengan kisah yang unik. Alkisah, Ibnu Malik telah merencanakan untuk menuliskan dasar-dasar ilmu nahwu dalam untaian bait-bait syair. Oleh karena itu, Alfiyyah Ibnu Malik diawali dengan lafadz qaala (قال)

قال محمد هو ابن مالك

“Telah berkata Muhammad, dia adalah Ibnu Malik”

Kita tahu qaala (قال) berbentuk fi’il Madhi yang bermakan telah/sudah terjadi yang menunjukkan bahwa karya ini sebenarnya telah dicanangkan sejak lama. Akan tetapi, ketika terbesit di hati Ibnu Malik bahwa karyanya yang akan ia tulis lebih unggul daripada karya 1000 bait syair dalam ilmu gramatika bahasa arab yang dikarang gurunya yang bernama Ibnu Mu’thi. Maka, anehnya seluruh ilmu nahwu yang akan ia syairkan hilang lenyap dari ingatannya. Ibnu Malik pun menangis dan beristighfar karena telah menyombongkan diri atas karya gurunya. Hingga suatu malam Ibnu Malik bermimpi bertemu dengan Ibnu Mu’thi dan ia pun meminta maaf atas kesombongannya kepada sang guru. Walhasil, ketika ia terbangun ingatan akan seluruh ilmu nahwu yang ia pelajari kembali seperti semula. Saking bahagianya, Ibnu Malik pun memuji dan mendoakan gurunya dalam syair Alfiyyahnya

Baca juga:  Sabilus Salikin (67): Tarekat Qadiriyah - Biografi Syaikh Abdul Qadir al-Jilani

وتقتضي رضى بغير سخطفائقة ألفية ابن معطي

وهو بسبق حائز تفضيلا مستوجب ثنائي جميلا

والله يقضي بهبات وافرة لي وله في درجات الأخرة

Dan (Alfiyyah) ini ku tulis demi mengharapkan ridho Allah tanpa sedikitpun mendapatkan murka-Nya, karya ku ini lebih tinggi dibandingkan karya seribu bait milik Ibnu Mu’thi.

Akan tetapi, karya Ibnu Mu’thi lebih utama karena dikarang lebih dahulu serta seluruh karyanya pantas mendapatkan pujian yang agung.

Semoga Allah memberikan karunia yang agung bagiku dan bagi Ibnu Mu’thi dalam derajat tinggi di Surga.

Ketika dahulu kami masih menimba ilmu di pondok pesantren teringat sebuah petuah yang dinasihatkan turun-temurun dari guru-guru kami “Kalau ingin mendapatkan istri sholihah, maka harus hafal Alfiyyah Ibnu Malik”. Konon salah satu bait Alfiyyah Ibnu Malik yang berbunyi

الفاعل الذي كمرفعي أتى زيد منيرا وجهه نعم الفتى

“Isim Fa’il adalah isim yang dibaca rofa’ seperti contoh datang Zaid yang wajahnya bercahaya, ia adalah sebaik-baiknya pemuda”

Menurut salah satu murid senior di kamar kami, konon ketika bait syair ini dirapalkan akan menambahkan kadar ketampanan seorang santri. Begitulah uniknya di pondok pesantren, akan ada banyak versi mengenai keampuhan merapalkan Alfiyyah Ibnu Malik.

Maklum, dahulu Ibnu Malik adalah seorang ulama yang terkenal zuhud dan ikhlas dalam menulis karya Alfiyyah sehingga dengan membaca Alfiyyah karangan Ibnu Malik tak sedikit keberkahan yang kita dapatkan. Konon, Ibnu Malik dalam masa penulisan Alfiyyah sempat menawarkan diri menjadi guru ilmu nahwu secara cuma-cuma ke pasar-pasar kota Damaskus. Sayangnya, tak satupun orang di kota Damaskus yang berminat menjadi muridnya kecuali seseorang bernama Syarafuddin an-Nawawi, seseorang yang nantinya menjadi ulama besar penulis kitab Arba’in Nawawi. Saking cintanya, Ibnu Malik memuji an-Nawawi dalam Alfiyyah Ibnu Malik

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (70): Hikayatul Hayawan, Memetik Nasihat dari Kisah-Kisah Fauna

ورجل من الكرام عندنا

“Dan seorang laki-laki dari golongan yang mulai menetap bersama kita”

Diceritakan juga, salah satu bait syair Alfiyyah yang berbunyi

لا أقعد الجبن عن الهيجاء ولو توالت زمر الأعداء

“Aku tak akan takut sedikitpun di medan perang, walaupun bala tentara musuh datang silih-berganti”

Konon ketika bait syair ini dirapalkan niscaya akan menambah keberanian di benak seorang santri. Ada juga sebuah cerita bahwa dahulu kyai Abdul Karim, pendiri pondok Lirboyo mengaji langsung kitab Alfiyyah Ibnu Malik kepada Syaikhana Khalil di kota Bangkalan, Madura. Konon, kyai Abdul Karim selama belajar Alfiyyah Ibnu Malik tak pernah sedikitpun hidup kecukupan selama berguru kepada Syaikhana Khalil. Bahkan, Kyai Abdul Karim selalu menghabiskan waktunya berendam di sungai selama menunggu pakaian yang ia cuci mengering sambil menghafalkan Alfiyyah Ibnu Malik. Dikemudian hari, Kyai Abdul Karim sangat terkenal dengan penguasaan ilmu gramatika bahasa arabnya berkat pemahaman Alfiyyah Ibnu Malik yang sangat kuat. Wallahhu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
3
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
4
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top