Sedang Membaca
Menapak Jejak Musik Klasik Dinasti Abbasiyah
Rizal Mubit
Penulis Kolom

Guru Ngaji di Kampung. Pengajar di Universitas Kiai Abdullah Faqih Manyar Gresik, Jawa Timur. Alumni Pusat Studi Qur'an Ciputat dan Pascasarjana IAIN Tulungagung prodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Menulis sejumlah buku bertema keislaman. Peneliti Farabi Institute.

Menapak Jejak Musik Klasik Dinasti Abbasiyah

Menapak Jejak Musik Klasik Dinasti Abbasiyah

Larangan para ahli fikih terhadap musik dan alat musik tidak berlaku efektif di kota Baghdad. Buktinya, penguasa Abbasiyah sering mengundang penyanyi dari Mekah, Siyath (739-785), bahkan melindunginya. Suara dan nyanyian Siyath sangat masyhur karena mampu menciptakan suasana hangat. Kehangatan itu melebihi mandi air panas, demikian orang-orang membandingkan.

Siyath kerap diundang bersama muridnya, Ibrahim al-Maushili (742-804), yang mengenalkan cara pengaturan tempo dan ritme dengan sebuah tongkat kecil. Khalifah Harun Al-Rasyid menjadikan Ibrahim sebagai teman setianya, memberinya hadiah sebesar 150.000 dirham dan setiap bulan memberinya tunjangan sebanyak 10.000 dirham. Tidak hanya Ibrahim yang merasakan kemurahan Al-Rasyid, para pemusik lain pun sering mendapatkan hadiah sebesar 100.000 dirham untuk sekali nyanyian.

Pada masanya, Ibrahim mempunyai pesaing yang lebih muda yakni Ibnu Jami’, seorang keturunan Quraisy dan anak tiri Siyath. Dalam Kitab Aghany karya Abdullah ibn Wahb Al-Ishfahani (897-967), Ibrahim disebut sebagai musisi yang sangat cakap memainkan instrumen musik, dan Ibnu Jami’ dinilai lebih piawai mengolah nada. Ketika seorang menteri istana dimintai pendapat oleh Khalifah Al-Rasyid mengenai Ibnu Jami’, ia menjawab, “Mana mungkin aku mendeskripsikan madu yang selalu terasa manis, sedangkan engkau juga pernah mencicipinya.”

Istana khalifah Al-Rasyid sangat semarak dengan musik. Bahkan istana menyokong dan melindungi perkembangan musik dan nyanyian sebagaimana dukungannya pada ilmu pengetahuan. Sehingga bisa dikatakan bahwa istana menjadi pusat perkembangan dan perkumpulan para bintang musik.

Fenomena tentang para musisi yang mendapatkan gaji rutin dan selalu ditemani oleh para budak biduan, baik laki-laki maupun perempuan, terekam dalam kitab Aghany dan Kisah Seribu Satu Malam. Khalifah mendukung dan memelopori penyelenggaraan festival musik tahunan yang dihadiri oleh tak kurang dari dua ribu orang penyanyi dan musisi. Al-Amin, putra Khalifah Al-Rasyid juga menyelenggarakan malam hiburan serupa. Pada kesempatan seperti itu, menurut Aghany, seluruh anggota istana, baik laki-laki maupun perempuan menari hingga fajar.

Baca juga:  Mesir Gencar Menata Jalan untuk Memberi Hak Pejalan Kaki

Khalifah lain seperti Al-Makmun dan Al-Mutawakkil mempunyai seorang teman seorang guru musisi bernama Ishaq bin Ibrahim Al-Maushuli (767-850). Ishaq merupakan ahli musik Arab klasik yang disebut dalam buku Arabian Music sebagai seorang musisi terbesar yang pernah dilahirkan Islam. Ia mengakui, sebagaimana pengakuan ayahnya, bahwa yang mengarahkan melodi-melodinya adalah jin.

Oleh khalifah, semua musisi mendapatkan popularitas yang tak pernah mati sebagai orang dekatnya. Mereka dianugerahi penghormatan yang tinggi serta diabadikan dalam bait-bait puisi terpilih. Penghargaan tersebut diterima bersamaan dengan penghormatan kepada komposer, penyair, dan para sarjana.

Penghargaan juga diberikan kepada pemain biola (rabab) dan para biduanita (qainah) yang bernyanyi di baik tirai. Para biduanita menjadi hiasan bersama para selir istana (harem). Karena itulah, ada pelatihan para biduanita yang menjadi industri yang cukup penting. Misalnya seorang gadis yang pernah dilatih oleh Ishaq bin Ibrahim, ditawar oleh seorang utusan gubernur Mesir dan utusan Kaisar Bizantium dengan harga 30.000 dinar. Lantas utusan Penguasa Khurasan menawarnya dengan harga 40.000 dinar.

Pada abad ke-13, muncul nama Safi al-Din al-Urmawi, yang lahir pada 1216 di Urmia dan meninggal pada 1294 di Bagdad. Ia adalah musikus, pemain kecapi yang andal yang mendedikasikan dirinya di dunia musik, seperti termuat dalam Encyclopaedia of Islam (Second Edition). Kehebatan dan konsistensinya di bidang musik membuatnya mampu bertahan hidup, pun ia selamat pada saat Baghdad jatuh ke tangan Hulagu, dan bahkan Hulagu menggajinya dua kali lipat dari gajinya pada masa Abbasiyah.

Baca juga:  Film “ABRI Masuk Desa” Buka Kisah Sejarah Orba untuk Milenial

Karya tulis musik

Dalam hal karya tulis, pada mulanya teori musik Arab adalah hasil dari terjemahan karya dari Yunani. Di antara karya-karya Yunani yang diterjemahkan pada periode keemasan Abbasiyah, hanya sedikit karya yang mengupas teori-teori musik. Dua karya Aristoteles diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Kitab al-Masaail (Probletama) dan Kitab di al-Nafs (De Anima) oleh seorang ahli fisika beragama Kristen Nestor, Hunain bin Ishaq (809-873), yang juga menerjemahkan buku karya Galen dengan judul Kitab al-Shaut (De voce).

Lalu ada dua karya Euclid yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yaitu Kitab Al-Nagham (Buku Melodi) dan Kitab al-Wanun (Kitab Hukum Utama). Beberapa anggota Ikhwan al-Shafa (abad ke-100) merupakan ahli teori musik. Mereka mengelompokkan musik ke dalam cabang Matematika.

Dari beberapa karya Yunani itulah para penulis Arab memperoleh gagasan-gagasan ilmiah mereka tentang musik dan menjadi ahli dalam aspek fisika dan fisiologi suara. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa sisi ilmiah-matematis musik yang berkembang di Arab mengambil sumber teoritis dari Yunani.

Akan tetapi secara praktis –menurut keterangan dalam buku Arabian Music– tradisi musik mereka asli sebagai musik bergaya Arab. Pada masa itulah kata musiqah diserap dari bahasa Yunani dan ditetapkan ke dalam aspek teoritis ilmu musik. Sedangkan istilah Arab ghina’, tidak banyak dipakai. Namun kemudian digunakan untuk lagu dan musik.

Baca juga:  Kalosara, Kearifan Lokal Orang Tolaki yang Perkokoh Persatuan

Pada paruh kedua abad kesembilan, muncul Al-Kindi yang memelopori tulisan tentang musik. Dia terkenal berkat enam karya tulisnya. Salah satunya mengupas permasalahan notasi dan menjadikannya sebagai satu-satunya penulis Arab yang menjelaskan penggunaan notasi pada saat itu. Selin Al-Kindi ada juga Al-Farabi (w. 950) yang piawai bermain lute. Salah satu karya besarnya adalah Kitab Al-Musiqi al-Kabir. Kitab itu merupakan karya paling berpengaruh di Timur. Di Barat karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan menjadi karya yang berpengaruh dalam perkembangan ilmu musik di Eropa.

Sayang, zaman yang berganti tidak mampu menyelamatkan keberadaan musik berikut segala penciptaannya. Sebagian besar kekayaan teknis itu hilang. Musik Arab dengan notasinya dan dua elemen utamanya yakni nazham (gaya melodis) dan iqa (gaya ritmis) ditransmisikan secara lisan dari mulut ke mulut sehingga pada akhirnya hilang ditelan zaman. Saat ini, salah satu ciri musik dan nyanyian Arab adalah ringkas dalam melodi tetapi kuat dalam ritme. Mungkinkah ditemui seorang di masa kini yang mampu menafsirkan dengan benar sejumlah karya-karya musik klasik zaman Abbasiyah yang masih ada?

Wallahu alam bisshawab

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top