Sedang Membaca
Gus Dur, Diana Sastra dan Tarling Remang-remang
Abdul Rosyidi
Penulis Kolom

Editor di mubaadalahnews.com Yayasan Fahmina. Pengajar di Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Pernah menjadi jurnalis di Harian Fajar Cirebon. Blog: abdulrosyidi.com FF: Abdul Rosyidi Twitter: @abdul_rosyidi

Gus Dur, Diana Sastra dan Tarling Remang-remang

Barangkali semua orang sudah tahu, Gus Dur bukan hanya kiai tapi juga budayawan. Tak hanya gandrung menonton film dan bola, membaca novel ataupun menyaksikan pagelaran wayang, Gus Dur dikenal mempunyai pemikiran mendalam tentang budaya.

Baginya, budaya bukan hanya produk tapi lebih luas dari itu. Bagi Gus Dur –dalam bahasa Bisri Effendy— budaya adalah seni hidup (the art of living) atau kehidupan sosial manusiawi (human social life).

Inayah Wahid, anak Gus Dur yang berkecimpung di dunia seni, menceritakan hal yang mengejutkan ketika berdiskusi dengan bapaknya tentang kebudayaan. Waktu itu Gus Dur berpesan agar anaknya mendengarkan lagu-lagu dangdut. Kenapa lagu dangdut?

“Karena sungguh lagu-lagu itulah yang menjelaskan mengenai apa terjadi di tengah masyarakat kita,” kata Inayah menirukan pesan dari Gus Dur.

Musik sebagai seni adalah produk dari kebudayaan. Seni yang tumbuh di tengah masyarakat akan menampilkan gambaran-gambaran kehidupan masyarakatnya. Dengan mendengarkan musik dangdut, kita akan mengetahui kehidupan, interaksi dan masalah-masalah masyarakat tempat dangdut tumbuh. Kurang lebih begitu.

Saya begitu yakin nasihat Gus Dur kepada anaknya itu sepenuhnya benar. Bukan karena Gus Dur kiai atau wali melainkan karena saya pernah membaca sebuah tulisan bahwa Gus Dur ternyata sangat menggemari musik tarling.

Ya tarling, musik dangdut yang tumbuh di daerah pantura Cirebon-Indramayu. Meskipun berirama dangdut, tarling tidak menghilangkan irama lokal daerahnya yang begitu khas.

Salah satu lagu tarling kesukaan Gus Dur berjudul ”Remang-remang” yang dinyanyikan Diana Sastra. Bahkan begitu cintanya Gus Dur dengan lagu ini, dia pernah meminta Diana menyanyikan lagu tersebut secara langsung di hadapannya. Dua kali Diana bertemu dan menyanyikan lagu itu untuk Gus Dur.

Gak nyangka, tarling dangdut modern yang dikenal seronok dan vulgar itu ternyata disukai seorang kiai besar seperti Gus Dur.

Baca juga:  Ziarah: Kisah Orang-Orang Banjar

Saya sebut seronok karena inilah kesan dominan saat menonton pagelaran musik tarling di pelosok desa di Cirebon, Indramayu dan sekitarnya. Kesan seronok itu pula yang muncul dalam laporan yang ditulis Heru Triyono dalam majalah Tempo edisi 9-15 Juli 2012, Goyang Maut Pantai Utara.

Bahwa seni ini mengumbar kegenitan dan memanfaatkan tubuh penyanyi perempuannya. Persis dangdut koplo yang bertebaran di Jawa.

Kesan orang terhadap tarling boleh saja begitu rupa, tapi nyatanya pelaku kesenian ini tak menampilkan wajah tunggal. Banyak di antara mereka benar-benar berkualitas bahkan sebagian lagu-lagu tarling mempunyai pesan dan makna mendalam tentang kehidupan.

Ambil satu saja contoh, lagu-lagu Dariyah ternyata banyak mengandung nilai-nilai kemanusiaan seperti Gambaran Urip, Manuk Dara Sejodo, Gawat, dan masih banyak lagi. Lagu Gawat bahkan mengandung ajaran moral untuk tetap menjaga nilai-nilai lokal di tengah gempuran globalisasi yang menawarkan kebebasan.

Diana Sastra, dan ‘Remang-remang’

Orang menyukai lagu-lagu Diana Sastra (jangan salah baca Dian Sastro) bukan karena dia dikenal sebagai penyanyi seronok tapi lebih ke aksi panggungnya. Secara fisik, Diana biasa saja seperti kebanyakan perempuan Indramayu. Tapi di atas panggung Diana adalah ratu.

Dia dikenal mempunyai performa panggung yang prima dan membawakan tarling dengan cita rasa khas pantura Cirebon-Indramayu. Dia adalah sosok penyanyi komplet, perpaduan antara suara indah, gaya panggung eksentrik, musik yang canggih dan bodoran (lawakan) yang sangat lucu.

Gayanya khas orang pantura, ceplas-ceplos. Penggemar Diana menjulukinya ‘lambe landep’ yang berarti ‘si lidah tajam’.

Lima tahunan yang lalu, saya pernah meminta dia untuk menyanyi dalam acara yang saya dan teman-teman bikin di depan Balai Kota Cirebon. Diana bersama grup musiknya ‘Dian Prima’ benar-benar tidak mengecewakan.

Baca juga:  Harlah Lesbumi ke-56: Kebudayaan Pesantren dan Fungsi Politisnya

Gayanya yang ceplas ceplos tetap bertahan, bahkan digunakan untuk ‘merayu’ Walikota, Ketua DPRD, dan para pejabat daerah lainnya. Tidak ada kegenitan bahkan seronok sedikit pun. Yang ada para pejabat dan penonton tertawa terbahak-bahak oleh gaya rayuannya yang mirip seperti orang mbodor.

Soal pertunjukkan, penyanyi yang satu ini profesional dan sangat menjaga kualitas. Bahkan mik yang Diana gunakan untuk menyanyi adalah mik khusus berwarna emas. Kata orang, harga satu biji mik Diana mencapai puluhan juta. Diana tak mau menggunakan mik orang lain. Begitupun, penyanyi lain tak bisa meminjam minya dia.

Dari pagelaran itu, saya tahu, Diana adalah seorang penikmat panggung yang ‘gila’; perfeksionis dan detil.

Kisah dalam Lagu

Seperti kebanyakan penyanyi tarling, lagu-lagu Diana kebanyakan bercerita tentang kehidupan masyarakat, kebanyakan tentang percintaan.

Lagu ‘Remang-remang’ ciptaan Papa Irma ini bercerita tentang penantian, tentang perempuan yang dibohongi laki-laki. Perempuan tersebut menunggu di pinggiran jalan pantura. Hingga sore hari, saat lampu-lampu jalan menampakkan cahaya remang-remang, lelaki yang ditunggu tak kunjung muncul. Pada saat itulah, si perempuan sadar bahwa laki-laki yang berjanji pada dia untuk kembali adalah pembohong.

Dalam lagunya, Diana menyiratkan bahwa memang tidak gampang mencari lelaki yang baik. Kadang ada lelaki yang baik, tapi dia sudah punya istri. Hubungan pun tidak mungkin dijalin.

Pada bait terakhir disebutkan bahwa hidup sebagai perempuan yang setiap sore duduk di pinggir jalan sambil menyesali nasibnya, memang tidak gampang. Pada bait terakhir ini Diana seperti ingin menyiratkan bahwa ‘perempuan dalam keremangan’ tersebut adalah manusia yang paling sulit mendapatkan ketulusan cinta dari orang lain.

Cinta dalam pergolakan batin seorang ‘perempuan dalam keremangan’ diangkat Diana sebagai sebuah cerita yang penuh paradoks. Paradoks kerap menjadi tujuan yang seringkali ingin dicapai seni.

Baca juga:  Tradisi Merariq Sasak: Antara Pancasilais dan Bias Gender

Tidak cukup sampai di situ, nuansa romantisme pantura benar-benar dimunculkan oleh musik dalam lagu ‘Remang-remang’. Iramanya asyik, mendayu-dayu dengan latar suara gitar, suling, kendang, angklung dan sesekali sexophone.

Suasana lagunya begitu menghanyutkan, menghipnotis. Suasana yang mungkin hanya dimiliki lagu ‘Cibulan’ yang pernah dinyanyikan almarhumah Dariyah.

Inilah lirik lagu yang disukai Gus Dur itu:

 

Remang-remang

 

Remang-remang sinar lampu wayah sore / Remang-remang sinar lampu tatkala sore

ganti surute srengenge / Ganti tenggelamnya matahari

Nunggu kakang wis lawas langka kabare / Nunggu Kakang sudah lama tak ada kabar

Rasa pegel duh kakang sun ngentenane / Rasanya capek duh Kakang, saya menunggu

 

Remang-remang sinar lampune madangi / Remang-remang sinar lampu menerangi

Kadang keton lintang wis ora perduli / Kadang terlihat bintang sudah tak peduli

Kula seneng waktu deweke njanjeni / Saya senang saat dia memberikan janji

Wong ganteng aja gawe lara ati / Lelaki tampan jangan bikin sakit hati

 

Jare lunga bli suwe / Katanya pergi tak lama

Lawas olih sewengi / Lama sudah semalaman

Kula percaya bae / Saya percaya saja

Nyatane kakang bohongi / Nyatanya Kakang membohongi

 

Angel jaman saiki / Susah zaman sekarang

Luruh lanang sejati / Mencari lelaki sejati

Sing mung ana siji / Yang ada hanya satu

Kang siji wis duwe rabi / Itupun sudah punya istri

 

Remang-remang sepanjang jalan pantura / Remang-remang sepanjang jalan pantura

Gadis manis pada midang pinggir dalan / Gadis manis duduk santai di pinggir jalan

Jare seneng bisa bantui wong tua / Katanya bahagia bisa membantu orang tua

Kadang nangis urip mengkenen sampe kapan / Kadang menangis hidup begini sampai kapan

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top