Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka/ Ke setasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa/ Sebelum peluit kereta pagi terjaga/ Sebelum hari bermula dalam pesta kerja/ Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke manakah mereka/ Di atas roda-roda baja mereka berkendara/ Mereka berlomba dengan surya menuju ke gerbang kota/ Merebut hidup di pasar-pasar kota/ Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka/ Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa/ Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota/ Mereka: cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa//
Puisi gubahan Hartojo Andangjaya (1973) itu membeberkan bagaimana perempuan-perempuan perkasa menghadapi aral melintang, namun tak setitikpun terlintas putus asa. Baik di desa maupun kota tak ada perbedaan. Mereka tetap sama. Adalah perempuan yang berhati baja nan perkasa. Mereka penuh cinta bergerak menghidupi desa demi desa maupun kota demi kota.
Walau langit mendung, jalanan terjal yang kadang membikin telapak kakinya kasar, perempuan-perempuan itu tebal ketulusannya. Derap langkah, bercak keringat yang membasahi punggungnya rela diindahkan. Begitulah jiwa-jiwa keibuan yang terbesit di sanubari seorang perempuan.
Menyoal perempuan, kita selalu diingatkan dengan ketulusan hati seorang Ibu. Derita mengandung selama sembilan bulan bukanlah derita atau pesakitan. Mereka menyikapi penuh kemantapan, bahwa lahirnya sang jabang bayi adalah kebahagian walaupun tulang-belulangnya seperti ditekuk oleh pendulum besi yang sakitnya tak terkirakan.
Iwan Fals menggambarkan melalui sebuah lagu. Alunan nada minor membersamai munculnya bait, kata dan perenungan menyoal seorang Ibu. Ibuku sayang/ Masih terus berjalan/ Walau tapak kaki penuh darah penuh nanah// Pengorbanan seorang ibu bila dinomilkan, tak mungkin sepeserpun dapat tergantikan. Mafhum, ketulusan seorang ibu tak dapat digadai oleh seonggok koin seperti membeli sekarung kentang.
Keberadaan seorang ibu terkadang tak sebanding dengan balas budi realitas terhadapnya. Ketulusan demi ketulusan yang ditawarkan terkadang dibalas dengan kesengsaraan. Novel fenomenal gubahan Maxim Gorky berjudul Ibunda (Kalyanamitra; 2000) menggambarkan bagaimana seorang Ibu bernama Pelagia Nilvona harus tetap sabar menghadapi realitas yang sarat dengan kemiskinan dan derita.
Suaminya doyan minum sampai teler. Tak hanya itu, hujaman makian selalu keluar dari mulutnya yang membikin hati Pelagia tergores. Kesabaran dan ketulusan hari demi hari selalu ia tampilkan. Meski harus berkerja di relung-relung mesin pabrik yang berisik, ditambah kemiskinan yang membikin keluarganya cukup tertekan.
Pelagia yang tulus dan tegar, alhasil harus menanggung hidup sebagai janda. Bersama anak semata wayang bernama Pavel, mereka rela mengorbankan kemerdekaan nya sendiri demi kemerdekaan orang lain. Jiwa keibuan Pelagia seperti api yang menyala-nyala walaupun angin yang cukup deras menerpanya berkali-kali. Realitas membikin Pelagia menjadi seorang perempuan yang kental dengan sifat keibuan yang tabah.
Pada medio 1911 tepatnya di bulan Agustus bertanggal delapan belas, di tengah hingar bingar keluarga Pamong Praja, pasangan R.A.A Mochammad Achmad dan R.A Hadidjah Djajadiningrat diliputi perasaan suka cita. Sinar matari yang menyolok di siang hari, Hadidjah Djadinigrat pipinya basah oleh air mata pertanda bahagia. Bayi mungil jelita bernama Maria Ulfah lahir dengan jeritan tangis keberanian.
Mochamad Achmad melantunkan kata dengan kepala menengadah ke langit. Rapalan seperti doa, ia berujar kepada sang alam agar kelak anaknya dapat pintar dalam berujar dan tegas dalam bertindak.
Mafhum, Maria Ulfah yang namanya mewangi seperti semerbak bunga mawar, perempuan itu cukup berpengaruh dalam keberjalanan sejarah kita. Gadis Rasid yang acap kali kita kenali sebagai salah satu pendiri majalah Siasat (1947), berkesempatan untuk menuliskan biografi Maria Ulfah dengan judul Maria Ulfah Subadio Pembela Kaumnya (Penerbit Bulan Bintang; 1982).
Gadis Rasid menuliskan sosok Maria Ulfah cukup jelas dan teliti. Suatu ketika diusianya masih belia, Maria mendapatkan pengalaman menyedihkan atas derita bibinya –R.A Soewenda. Ia diceraikan oleh suaminya yang pada waktu itu sebagai Bupati Pandeglang. Derita air muka yang tersirat di wajah Bibinya, membikin Maria menyadari, bahwa ia harus mengembangkan diri memperjuangkan hak-hak perempuan Indonesia, khususnya dalam hukum keluarga dan perkawinan.
Didikan sang ayah Mochammad Achmad yang tidak membedakan antara anak laki-laki dan perempuan, terbesit cukup kuat dalam diri Maria makna sebuah perjuangan dan keberanian untuk tampil di segela ruang. Prinsip yang kuat dan tekad yang mantap, dibuktikan dengan beberapa pencapaian Maria, antara lain menjadi Menteri dalam kabinet Sjahrir sebagai Menteri Sosial 1946-1947, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (1968-1973), dan tak kalah penting ia mewakafkan mesin ketiknya untuk berdirinya kantor Berita Nasional Antara.
Kala pemuda-pemudi di seluru penjuru tanah air sadar menilik makna bangsa, mereka mencetuskan manifestasi Sumpah Pemuda (1928). Maria yang masih duduk di bangku kelas empat sekolah menengah. Peristiwa itu membuat hatinya bergetar agar terlibat dalam hingar-bingar perancangan republik.
Pertaruhan, Pendidikan dan Keberanian
Perempuan yang dibesarkan dari lingkaran penting Hindia Belanda, membuat Maria terbiasa dengan bahasa Belanda. Sumpah tak boleh diingkari. Maria Ulfah bertekad melaksanakan manifestasi Sumpah Pemuda. Maria cukup kesulitan untuk berbicara bahasa Indonesia. Tanpa tanggung-tanggung bersama Soegiarti (Istri St. Alisjahbana) ia mengunjungi Sastrawan Pujangga baru bernama Amir Hamzah untuk diberikan pengajaran mengenai Bahasa Indonesia.
Pertemuannya dengan Amir Hamzah tidak berjalan lama. Maria Ulfah keberatan dengan metode pembelajaran bahasa yang disuguhkan oleh Amir Hamzah. Proses mengarungi dunia bahasa ia temukan di lingkungan Muhammadiyah. Ia bertemu seorang guru bahasa bernama Soetopo, dan alhasil ia pun ikut mengajar untuk menjadi tenaga pendidik.
Kesadaran mengenai bahasa dirasa Maria sangat penting di tengah gejolak merebut kemerdekaan. Bersama ibu-ibu di lingkungan kediamannya, mereka mendirikan padepokan untuk memberantas buta huruf. Tak hanya menulis dan membaca, para penimba ilmu juga diberi pengajaran mengenai menyulam dan menjahit.
Sebelum Michel Foucault meramu teori mengenai wacana dan kekuasaan, Maria Ulfah telah menilik dan mempraktikannya. Bahasa mampu membuka cakrawala peradaban. Tak hanya itu, Benedict Anderson mengakui peranan bahasa yang dicontohkan melalui novel dan pers itu, memikat siapapun untuk membentuk struktur kesadaran bangsa yang loyal.
Kartini, Pelagia, Soegiarti, Maria Ulfah dan perempuan-perempuan lainnya memberi pembelajarn menyoal tekad dan asa. Seperti secarik bait puisi Hartojo Andangjaya (Pustaka Jaya, 1982) Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa.
Sumber referensi:
Anwar, Etin. 2021. Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan dan Prospek di Indonesia. Bandung: Mizan
Gorky, Maxim. 2000. Ibunda. Jakarta: Kalyanamitra
Rasid, Gadis. 1982. Maria Ulfah Subadio Pembela Kaumnya. Jakarta: Penerbit Bulan Bintang
Andangdjaja, Hartojo. 1973. Buku Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.