Sedang Membaca
Belajar dari Film Iran (6): Menikmati Karya Narges Abyar Tentang Terorisme
Purkon Hidayat
Penulis Kolom

Penikmat kopi pahit, buku, musik, dan keheningan malam. Bekerja di media, pengajar, peneliti, dan koordinator Gusdurian Tehran.

Belajar dari Film Iran (6): Menikmati Karya Narges Abyar Tentang Terorisme

Img 20200605 Wa0001

Isu terorisme seringkali ditampilkan dalam perspektif laki-laki, dan cenderung menonjolkan isu kekerasan di dalamnya. Lihat saja deretan film internasional bertema terorisme, terutama pasca peristiwa 11 Sptember 2001 seperti: Flight 93, United 93, World Trade Center dan Patriot Day, maupun film tentang Iran yang dibuat di AS semacam Argo, Syriana atau Septembers of Shiraz yang seluruhnya garapan sutradara laki-laki.

Film “When the Moon Was Full” tampil  beda, karena mengangkat kisah nyata tentang isu terorisme di tenggara Iran yang digarap dengan perspektif humanis seorang sutradara perempuan.

Sang sutradara, Narges Abyar, membidik isu terorisme dari kisah nyata seorang istri teroris yang awalnya tidak tahu sang suami berasal dari keluarga gembong teroris besar. Film ini menyuguhkan kisah percintaan sekaligus penderitaan seorang perempuan biasa yang menjadi istri Abdol Hamed Rigi, orang nomor dua kelompok teroris Jundullah yang berafiliasi dengan al Qaeda.

Film dibuka dengan dialog di sebuah pasar daerah selatan Tehran. Faezeh Mansouri yang diperankan dengan piawai oleh Elnaz Shakerdoost, jatuh cinta kepada seorang pemuda asal provinsi Sistan Balouchistan, bernama Abdol Hamed, hingga akhirnya mereka berdua menikah. 

Awalnya, ibu Faezah keberatan dengan pernikahan tersebut, tapi Shahab, saudara Faezeh, yang diperankan oleh Pedram Sharifi terus meyakinkan ibunya supaya pernikahan mereka tetap digelar. Di sisi lain, ibu Abdol Hamid mengingatkan calon menantunya supaya mengurungkan niat untuk menikah dengan anaknya, tapi ia tidak menjelaskan alasannya. 

Keberatan dari pihak orangtua masing-masing tetap tidak menghalangi muda mudi yang saling mencintai ini untuk melangsungkan pernikahan. Akhirnya orang tua mereka menyetujui pernikahan tersebut.

Tradisi budaya masyarakat Baluch, dari pakaian hingga acara pernikahannya ditampilkan sangat baik dalam film yang menyabet Cyrstal Simourg pada Festival Film Internasional Fajr ke-36 tahun 2019 untuk kategori film terbaik.

Baca juga:  Ngaji Rumi: Syair Sufistik untuk Jalan Perdamaian 2019

Kebahagiaan yang dibayangkan Faezeh tidak berlangsung lama, karena Abdol Malek tiba-tiba dipanggil pihak keamanan setempat. Dalam suasana bulan madu, mereka memasuki fase baru konflik besar keluarga Rigi. Saudara tua Abdol Hamed, Abdel Malek Rigi merupakan orang yang paling dicari pemerintah Iran, karena dia pimpinan kelompok teroris Jundullah. 

Pada awalnya, Abdol Hamed menutupi masalah yang menimpa saudaranya. Tapi akhiranya Faezeh mengetahui masalah tersebut ketika petugas keamanan Iran membongkar rumah keluarga mereka di Sistan Baluchistan yang menjadi gudang senjata dan amunisi kelompok teroris Jundullah. Faezeh meminta Abdol Hamed keluar dari konflik besar ini dengan meninggalkan Iran menuju Eropa. Sebab kemanapun meraka berada di Iran, pasti akan terlibat aktivitas kakaknya.

Akhirnya mereka merancang upaya untuk keluar dari Iran dengan tujuan eksodus ke Eropa. Abdol Hamed tidak memiliki jalan lain, kecuali melalui Pakistan. Langkah ini bukannya meredakan masalah, tapi justru semakin mendekati puncak masalah yang semakin semrawut.

Faezeh bersama Abdol Hamed melewati perbatasan Sistan Baluchistan menuju Pakistan, hingga tiba di sebuah rumah sangat besar yang ternyata milik kakaknya, orang nomor satu kelompok teroris Jundullah. Ketika Faezeh sedang berada di rumah, datang rombongan mobil dengan pasukan bersenjata dan beberapa orang yang terluka.

Dari balik pintu, ia mengamati pergerakan pasukan yang berkumpul di luar rumah yang ditempatinya. Dia merekam aktivitas pasukan bersenjata tersebut dengan telpon genggamnya. Faezeh juga menemukan siaran video propaganda Jundullah dalam sejumlah vcd yang berada di rumah itu. Dengan wajah ketakutan dia mulai menyadari dirinya sedang berada di sarang macan. Faezeh merasa dibohongi suaminya. 

Baca juga:  Semangat Toleransi dalam Sinema Lintas Ruang (1): Where Do We Go Now? Perempuan, Konflik Agama, dan Kekonyolan

Ketika Abdol Hamed pulang ke rumah, Faezeh mendesak suaminya supaya menjelaskan posisi kakaknya sebagai orang nomor satu Jundullah. Ia juga menagih janji Abdol Hamed untuk melanjutkan langkah menuju Eropa. Tapi di luar dugaan, suaminya justru membela Abdol Malek yang dianggap sebagai amir Jundullah dan pahlawan Islam. Film ini dengan baik menjelaskan bagaimana Abdol Hamed Rigi berhasil dicuci otaknya dengan doktrin-doktrin agama untuk menjustifikasi aksi-aksi terorisme milisi teroris Jundullah.

Dengan nada putus asa dan ketakutan, karena sang suami menjadi teroris, Faezeh yang diperankan Elnaz menelpon kakaknya, Shahab supaya menjemputnya. Tapi nasib malang menimpa kakak Faezeh yang ditangkap anggota Jundullah, dan diserahkan langsung kepada Abdol Malek. 

Sebelum Shahab dieksekusi mati, Abdol Malek Rigi menelepon ibunya di Tehran supaya membuka siaran parabola televisi salah satu negara kawasan Timur Tengah. Tadinya keluarga Mansouri mengira Shahab yang berada di Karachi akan bermain film, karena yang menelpon kakak ipar anaknya sendiri.

Awalnya, mereka tidak curiga, yang menelpon adalah orang nomor satu kelompok teroris Jundullah. Aksi kejam eksekusi mati Shahab diperlihatkan langsung di depan ayah dan ibunya serta kelurga besar Faezeh yang menonton siaran televisi tersebut. Abdol Malek Rigi merayakan eksekusi mati ini dengan menyebutnya sebagai pembunuhan terhadap orang kafir.

Abdol Malek mengabarkan kematian Shahab kepada Abdol Hamed di tangannya. Ia beralasan Shahab sebagai orang kafir yang harus dibunuh dan mengganggu gerakan Jundullah. Orang nomor satu kelompok teroris Jundullah ini terus-menerus mencekoki adiknya dengan doktrin-doktrin terorisme ala Alqaeda. 

Film yang berpijak pada kisah nyata ini memperlihkan bagaimana rekrutmen pada anggota teroris dilakukan, terutama terhadap anak-anak muda dan puncaknya Abdol Hamed dibaiat di sebuah bukit sebagai orang nomor dua Jundullah.

Baca juga:  Gus Im Mengajak Membaca "Puisi Metal" di TIM Jakarta

Abdol Hamed Rigi yang diperankan Houtan Shakiba mulai melancarkan puluhan aksi terorisme di perbatasan Iran dan Pakistan. Salah satunya serangan teroris Tasooki di antara Zabool dan Zahedan yang menewaskan 22 orang pada 16 Maret 2006.

Dari sisi cerita, film yang mengambil lokasi syuting di berbagai tempat di Tehran, Sistan Baluchistan, Pakistan dan Bangladesh ini tidak mengalami banyak perubahan dari kisah nyatanya, kecuali beberapa potongan mengenai usia Faezeh yang terlihat lebih dewasa dalam film yang diperankan Elnaz Shakerdoost dibandingkan aslinya yang baru berusia 14 tahun ketika menikah dengan Abdol Hamed Rigi.  

Film yang menyabet enam penghargaan bergengsi Simourg ini ditutup dengan gaya khas film Iran, yang memberi ruang penasaran bagi para penontonnya. Meskipun dalam kisah aslinya, Faezeh dibunuh oleh suaminya sendiri atas suruhan Abdol Malek, tapi film When the Moon Was Full menutupnya dengan tanda tanya. Tampaknya Abyar ingin mereduksi sekecil mungkin kekerasan dalam film ini. Apakah Faezeh mati dan kembali ke Iran dari Pakistan atau tidak? Sebagaimana rata-rata gaya film Iran lainnya, penonton dibiarkan mengambang dengan pertanyaan itu.

Narges Abyar dengan baik menyajikan sebuah film tentang terorisme yang berpijak dari kisah nyata dengan kacamata humanis seorang sutradara perempuan. Dalam film ini, Abyar ingin menyampaikan pesan besarnya, “Terorisme musuh bersama dunia, karena para teroris dengan mengatasnamakan agama dan apa saja, tega melakukan apapun, bahkan membunuh keluarganya sendiri yang mereka cintai.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top