Sedang Membaca
Belajar dari Film Iran (5): Under The Moonlight, Film Iran yang Bicara Santri
Afifah Ahmad
Penulis Kolom

Afifah Ahmad: Penyuka traveling, penulis buku "The Road to Persia" dan anggota Gusdurian Teheran.

Belajar dari Film Iran (5): Under The Moonlight, Film Iran yang Bicara Santri

Whatsapp Image 2020 06 04 At 11.46.55 Pm

Film karya Reza Mir-Karimi ini pertama saya tonton belasan tahun lalu di kelas bahasa Persia untuk pengayaan kosa kata. Setelah lancar bahasa Persia, saya kembali nonton film ini berkali-kali. Dunia santri bukan hal yang asing bagi saya. Film Iran? Santri?

Wait, sabar dulu. Saya lahir dan tumbuh dari keluarga santri dan pernah beberapa tahun merasakan sendiri kehidupan santri. Tapi, bagaimana kehidupan seorang santri di negara lain? Awalnya hanya itu saja ekspektasi saya menonton film yang dibuat tahun 2001 ini.

Cerita film ini bermula dari seseorang santri bernama Sayid (sebutan habib di Iran) Hasan yang mempertanyakan identitasnya sebagai santri. Awalnya, ia masuk pesantren karena dorongan keluarga yang memang dari garis keturunan Yai. Dalam perjalanannya, ia ragu dan merasa tidak punya kapasitas sebagai calon ustad yang baik.

Menjelang acara pemakaian sorban, semacam upacara wisuda pengukuhan calon ustad, Sayid Hasan dengan berat hati pergi ke pasar untuk membeli kain perlengkapannya. Di dalam subway, Sayid muda ini bertemu dengan remaja pedagang asongan. Ia pura-pura meramal tangan Sayid, padahal hanya ingin mengalihkan perhatian. Benar saja, dalam sekejap si anak sudah menghilang dan membawa kabur segala perlengkapan kain untuk wisuda milik Sayid. 

Baca juga:  Synchronize Festival 2019: Menggelegak bersama Iwan Fals, Hanyut bersama Chrisye

Scene film berikutnya yang cukup menarik, perjalanan Sayid melacak tempat tinggal si anak remaja dan membawanya bersentuhan langsung dengan kehidupan para penghuni rumah kardus di kawasan jembatan Resalat. Sebuah sisi lain ibu kota yang selama ini tak pernah ia saksikan. Remaja yang dikenal dengan panggilan ‘Jujeh’ atau si anak ayam, sedang tidak di tempat. Alih-alih berhasil mendapatkan kembali miliknya, Sayid malah menyaksikan drama getir orang-orang yang bermalam hanya beratap langit. 

Di bawah sinar rembulan mereka berkumpul sambil menikmati kentang hasil curian yang dibakar di atas perapian. Mereka ingin menulis surat kepada Tuhan dengan mesin tik butut. Menggugat dan mempertanyakan takdir sambil diselipi permintaan sederhana. Titik balik terjadi dalam hidup Sayid. Esok harinya, ia meloakkan kitab-kitab miliknya, lalu membeli makanan ala kadarnya untuk teman-teman barunya di kolong jembatan. Sebagaimana film-film Iran lainnya, dalam film ini pun, kaya dialog-dialog panjang. 

Malam berikutnya, Sayid tidak lagi dapat menjumpai taman-temannya. Para petugas sosial terlihat sedang membersihkan lokasi yang biasa ia datangi. Sayid hanya bertemu seorang perempuan muda yang ternyata kakak dari ‘Jujeh’. Perempuan itu hendak mencoba bunuh diri. Sayid segera menolong dan membawanya ke rumah sakit.

Film ini ditutup dengan adegan di sebuah taman di pusat rehabilitas anak. Sayid yang telah mengenakan pakaian resmi ruhani sedang menemui ‘Jujeh’. Mereka duduk di bangku taman dan berbincang hangat. Sayid meramal tangan ‘Jujeh’: “Namamu bukan Jujeh, tapi Qasim. Iya kan? Di tanganmu ada garis berliku yang akan membawa pada dua jalan. Kalau memilih jalan yang benar, kamu akan bertemu sebuah desa indah yang dipenuhi dengan taman bunga”

Baca juga:  Menonton (Lagi) "World War Z": Merebut Kembali Kemanusiaan di Tengah Wabah

Meski film ini diperankan oleh para pemain yang kurang popular, tapi tetap berhasil memperoleh berbagai penghargaan, di antaranya Festival Film Cannes, Festival Film Tokyo, dan tentu juga ajang penghargaan dalam negeri Festival Film Fajr. Keberanian sutradara mengangkat isu yang tak biasa membuat film ini mendapat apresiasi yang cukup luas. Sampai sekarang, masih sering diputar di berbagai stasiun televisi.

Under the Moonlight bisa dibilang film perintis yang menginspirasi lahirnya banyak film lainnya bertema pesantren. Wilayah yang awalnya tidak terlalu diminati para sinaes, mampu menstimulus lahirnya ide-ide baru. Sebut saja yang cukup popular: Mormolak (The Lizard), Tala va Mes (Gold and Copper), atau Paradise. Sepuluh dekade terakhir, film yang mengangkat tema pesantren banyak dikemas dalam genre komedi.

Tak selamanya film-film bertema pesantren disambut baik di kalangan pesantren sendiri. Tapi film Under the Moonlight cukup mendapat respon positif, Meskipun tak lepas dari berbagai kritik. Hauzah.net, situs yang memuat berbagai informasi dan berita kepesantrenan, pernah menurunkan ulasan tentang film ini secara panjang lebar dan proporsional.

Meskipun cerita dalam film ini menggambarkan interaksi seorang santri dengan dunia luar, namun cukup baik menyampaikan hal-hal penting dan detail tentang dunia pesantren. Bagaimana interaksi Said dengan ustad dan teman-teman sekamarnya. Bagaimana kesederhanaan seorang santri saat menikmati makanan ala kadarnya. Bagaiman suasana syahdu mengaji dan membaca doa bersama. Juga keberhasilan film ini menghadirkan berbagai tipikal santri perlu mendapat pujian.

Baca juga:  Belajar dari Film Iran (8): Sinema Iran di antara Sprititualitas dan Pemberontakan

Lebih dari itu, film Under the Moonlight jauh melampaui ekspektasi saya tentang dunia pesantren. Dalam pesan film ini tergambar jelas, santri tidak cukup hanya pintar membaca kitab dan rajin beribadah. Tapi juga pandai membaca kondisi sosial dan siap berkhidmat di tengah masyarakat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top