Sedang Membaca
Puisi: Orang-Orang Kalah dan Tabah
Nanda Aziz Rahmawan
Penulis Kolom

Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Semarang. Mengasuh menikmatilangit.wordpress.com. Bisa ditemui di Instagram @nandaaziz17

Puisi: Orang-Orang Kalah dan Tabah

Orang-orang kadung mengartikan modern, maju dan unggul dengan industri atau imajinasi bisnis yang lekas menghasilkan pundi-pundi uang. Pengertian itu bertentangan dengan makna agraris. Makna agraris mengesankan udik, terbelakang dan tak makmur. Maka, orang-orang desa berbondong-bondong ke kota untuk ‘keselamatan’ dan kemajuan.

Maju itu berkesan gedung-gedung tinggi, pusat belanja, taman permainan, jalanan beton dan kendaraan besi. Bukan hamparan sawah, pohonan hijau dan petani. Petani belum diajak untuk pembangunan. Acap terjadi hanya stempel ‘rakyat membutuhkan bantuan’.

Ajakan membangun di negeri ini telanjur berpengertian dimulai dari industri. Sementara ketersediaan pangan dimaklumkan impor dari luar negeri. Imajinasi swasembada beras sulit diminati dengan betul oleh para elitis dan pemangku kebijakan.

Pada masa Orde Baru, kita diajak mesem dengan potret orang nomor satu dan pejabat-pejabat melambai dan berperan petani kala musim panen tiba. Di latar sekarang, kita cukup tersenyum melihat jalan-jalan dibangun makin lebar.

Sementara, di riuh dan ramai politisasi maju, kita muskil mendapati pihak-pihak intelektual melawan dan mendesak pemerintah untuk merevolusi kebijakan. Demonstrasi lebih acap diminati pada wilayah perebutan elektoral oleh kaum politisi. Di tengah politik viralisme , kita wajib menyimak dampak keabaian kita pada kaum petani. Berwaktu 20-an tahun, kesan petani masih tergambarkan kalah dan jauh ikut gempita reformasi.

Kita muskil berharap pemerintah atau kaum intelektual mau membaca puisi Iyut Fitra, Acep Zamzam Noor dan Ulfatin Ch. Puisi-puisi mengisahkan petani. Ia mengabarkan orang-orang dipaksa kalah diikuti pasrah dan tabah. Norma dan gelimang makna yang mestinya dituruti oleh elitis kita.

Baca juga:  Mengenal Komunitas Adat Osing di Banyuwangi: Budaya, Tradisi, dan Kesenian

Iyut Fitra menuliskan puisi berjudul “Orang-orang Sawah”: “ke mana ruak-ruak, pipit dan segala unggas?”/“mereka terusir bersama pohon-pohon yang terbakar!”

Puisi memekik kehadiran unggas sebagai ‘kawan’ padi dan tetanaman garapan petani. Kehilangan ‘kawan sejawat’ bernada selentingan buat pemangku kebijakan menebas lahan hijau, baik sawah maupun pohonan berdalih pembangunan. Kekalahan tergambar dari ketakberdayaan mempertahankan lahan dan ekosistemnya.

Di akhir puisi, penyair kelahiran Payakumbuh menambahkan: tak ada burung-burung. tak ada burung-burung/ hanya orang-orang sawah bergoyang kesepian. temali yang diam/ diselimuti kabut yang kian tebal.

Kita dapat menerka ‘orang-orang sawah bergoyang kesepian’ sebagai kepasrahan hidup. Kekalahan makin ditekankan dengan metafora ‘gelap’ oleh kabut tebal. Puisi berwaktu 2014 bercerita orang-orang kalah.

Tahun 2012, mungkin Iyut Fitra sudah membaca puisi gubahan Acep Zamzam Noor. Puisi dimuat di nu.or.id berjudul “Cipasung”. Penyair tumbuh besar di Pesantren Cipasung berkisah: Di lengkung alis matamu sawah-sawah menguning/ Seperti rambutku padi-padi semakin merundukkan diri/ Dengan ketam kupanen terus kesabaran hatimu.

Berurusan dengan sawah adalah rendah dan kesabaran hati. Di balik kegetiran, petani menyimpan pelbagai nilai hidup yang patut diteladani. Hari demi hari dimaknai dengan penambahan kelapangan hati. Kelapangan bercukup disebut tabah.

Acep Zamzam Noor mengakhiri puisinya: Hari esok adalah perjalananku sebagai petani/ Membuka ladang-ladang amal dalam belantara yang pekat/ Pahamilah jalan ketiadaan yang semakin ada ini/ Dunia telah lama kutimbang dan berulang kuhancurkan/ Tanpa ketam masih ingin kupanen kesabaranmu yang lain/ Atas sajadah lumpur aku tersungkur dan terkubur.

Menanam kehidupan bagi hajat orang banyak adalah menanam amal. Destinasi petani tidak berakhir pada panen dan duit yang bergelimang atas hasil berladang, tapi pada ganjaran untuk bekal di masa kubur. Pengertian petani bermula kotor, dekil dan berkalang lumpur, puisi mengakhiri dengan kisah tabah dan religiusitas.

Baca juga:  Abu Nawas: Tuhan Tak Pernah Mengatakan “Celakalah Orang-orang yang Mabuk”

Puisi bertema ‘sawah’ digubah Ulfatin Ch berjudul “Musim Tanam”. Puisi termuat di basabasi.co mengisahkan sawah sebagai wahana bertumbuh. Sawah, latar petani berkisah, selain menyerukan ketabahan dan religiusitas juga bernadakan optimistik dan harapan akan masa depan. Penyair kelahiran Pati menuliskan bait yang ringkas:

Ada yang ikut tertanam
pada serumpun padi menghijau
di sawah itu. Sebatang ilalang jarum
menusuk di kaki ibu
rumput kering dan keong betina
terhanyut lumpur
Ia mengaduh saat ibu menenggelamkannya
ke dalam tanah basah
yang kelak menjadikannya dewasa
tumbuh melampaui kepalan tangan
ibu

Lain ladang, lain ilalang. Ladang Ulfatin kentara dengan kisah haru bersama Ibu. Diksi ibu memetaforakan alam pertiwi sebagai wanita pemberi kasih tiada tara. Alam adalah ibu. Pun sebaliknya. Di puisi alam berbicara dengan riang, menerima kebahagiaan yang diberikan para petani atau pemilik ladang yang merawatnya. Puisi bersuara haru, riang kenangan dan harapan.

Dalam puisi Ulfatin Ch, ketabahan mengurusi soal-soal ladang yang basah dan penuh lumpur telah sampai pada taraf harapan dan keyakinan hidup. Ladang yang dimaknai kesusahan dan kegetiran hidup mengimajinasikan masa depan cerah.

*

Kita berjarak tentang pengertian maju dan pembangunan. Sebelum intelektual berceloteh tentang pembelaan rakyat kecil, penyair telah maju lebih dulu memaknai hidup para petani. Sastra berbeda cara penyikapan terhadap soal-soal menjemukan di pelbagai pemaknaan kehidupan untuk maju.

Baca juga:  Joko Pinurbo, Puisi dan Religiositas

Periode-periode pembangunan lapuk diisi oleh janji-janji politisi. Kita berharap, tahun-tahun tak selalu diisi politik dan elektorat. Elitis mesti memaknai kembali petani. Niat yang baik, pemahaman yang apik, pemaknaan yang mapan membuat pembangunan selaras dengan kemanusiaan.

Penyair tak berdemonstrasi, tapi puisi-puisi bermandikan kisah petani sudah termuat dan terbuka dimaknai pembaca. Kita sudah paham bahwa puisi jelas kalah laris ketimbang jualan lakon politik dan perebutan elektoral di media massa.

Kita mengandaikan di tengah keriuhan berebut tahta, para politisi membuka buku sastra atau koran di hari Minggu. Politisi akan diingatkan tentang situasi pelik di negeri. Mereka lantas membaca kisah petani; orang-orang kalah dan tabah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top