Sedang Membaca
Meneng (Diam)
Benny Benke
Penulis Kolom

Jurnalis, penyair

Meneng (Diam)

Whatsapp Image 2021 01 28 At 9.40.53 Am

Berdebat tanpa mengusung semangat merendahkan martabat, menjadi sesuatu yang langka kiwari. Semua berlomba dan berkecenderungan mencari lubang kelemahan dan perbedaan demi memenangkan golongan.

Persamaan, betapa pun kecil porsinya, nyaris tidak ada artinya lagi. Ketelitian, kebesaran hati, dan penghormatan kepada lawan diskusi menjadi seperti peniti yang dibuang ke tumpukan jerami.

Kalau sudah begini, cara terbaik untuk melawan kebodohan, adalah dengan mengabaikannya.

Apakah pengabaian adalah cara dan siasat paling jitu saat berhadapan dengan orang bodoh dan dungu yang makin berbiak di sekitar kita? Atau bahkan kita sendiri? Mari melihat ke dalam diri juga.

Sebagaimana kita maklumi, kebodohan adalah kurangnya kecerdasan, fakir pemahaman, dan miskinnya kepekaan. Karena keengganan memperoleh pengetahuan, yang mungkin dinilai bertentangan dengan kepercayaan teguh awal seseorang. Sehingga melahirkan konsepsi bias tentang dunia nyata, yang ada di hadapannya.

Dan, ini yang paling acap terjadi. Menolak untuk terus belajar, baik dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Juga pengalaman dari dunia literatur, baik fiksi dan non-fiksi. Karena terlalu nyaman dan aman berumah di kebodohan. Sudah merasa “penuh” dan “utuh”.

Karenanya, pelajaran mengajarkan, diam berhadapan dengan manusia golongan ini, bisa menjadi jawaban mustahak.

Terkadang memang lebih baik tetap diam dan mendengarkan sambil sebisa mungkin tersenyum.
Meskipun kita, Anda berada pada posisi benar, dan membiarkan orang bodoh, bahkan institusi sekelas negara terus berbicara sekenanya dengan logika kekuasaannya. Meskipun kita tahu, semua orang tahu, dia atau negara salah, misalnya.

Baca juga:  Puisi: Orang-Orang Kalah dan Tabah

Benar kata Voltaire, yang pernah mengatakan, “It is dangerous to be right when the government is wrong.”

Pokonya negara bener terus. Seterusnya. Selamanya. Tidak ada habisnya. Tidak ada kadaluwarsanya. Pestanya ngga bakal rampung. Warga negara atawa rakyat adalah tempatnya salah. Apalagi yang ditimbang berseberangan dengan kekuasaan. Wis angel, angel tenan, rakyat seperti nasibnya. Ketiwasan.

Apalagi, jika ada sekelompok orang kaya sudah berhimpun dengan kekuasaan, kemudian mulai membangun “kebijakan” untuk membohongi dan berbisnis dengan rakyatnya sendiri. Sudahlah… rampung riwayat kita.

Makanya tidak mengherankan jika Mark Twain pernah mengatakan, “Ketika orang kaya merampok orang miskin, itu disebut bisnis. Tapi, Ketika orang miskin melawan, itu disebut kekerasan.”

Karenanya, belajar menjadi orang bijak dan kuat itu perlu dan harus. Seiring waktu dan usia yang terus melaju dan terus menempa kita, Anda. Dengan demikian, kita, Anda tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam, tanpa tersipu.

Karena orang berilmu pasti tahu bahwa gerombolan orang bodoh bisa dengan mudah dikalahkan, meski mereka tidak akan pernah mengakuinya. Karenanya mengapa membuang energi kita, Anda untuk membuktikan bahwa mereka benar-benar salah.

Jadi, tetap diam dan jaga diri kita, Anda untuk tetap tenang dan bahagia, dengan cara-cara paling sederhana. Meski administrasi dan kebijakan negara terus menerus mengejek kita, Anda, misalnya.

Baca juga:  Alhamdulillah, Akhirnya Masyarakat Purbalingga Punya Bioskop Rakyat

Mungkin dari sini lahirnya ilmu tentang adab. “Tidak menggubris pertanyaan orang ‘ngehek‘ adalah sedekah yang pahalanya akan terus mengalir,” (Tarkul-kalaam ‘ala fuqaraa’il adab shadaqah jaariyah).

Atau dalam level lebih ‘kake’ane’, ‘kangkrengane’, ‘tlembengsing’,  ‘telemakya’, dan telembokne’ (gaya umpatan Semarang-an– red) saat kita berhadapan dengan manusia atau golongan seperti digambarkan umpatan di atas, maka, “Tidak menjawab terhadap orang yang bodoh bin dungu adalah jawaban kepada orang dungu”. (Tarkul jawaabi alal jaahil jawaabun). Singkatnya, meneng wae. Diam. Tumakninah.

Meski meneng, diam dalam banyak hal juga bukan sepenuhnya pilihan tepat, meski kadang, untuk sementara menyelamatkan. Sing penting slamet sik, gelute mengko (yang penting selamat dulu, berkelahinya nanti saja).

Karena, tetap ada yang tersirat dan bahaya dari proses diamnya rakyat. Sebab, diamnya rakyat, seperti dinasihatkan Comte de Mirabeau, adalah pelajaran, sekaligus tanda bahaya bagi para raja.

Sebab, barangsiapa tidak paham dengan diamnya rakyat, sangat mungkin sekali tidak paham dengan kata-kata kita, jelata.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top