Alumnus Studi ilmu Agama Islam di Pascasarjana UIN Malang. Pernah mengampu mata kuliah Akhlak Tasawuf di Prodi Pendidikan Bahasa Arab, STAI al-Yasini, Kabupaten pasuruan, Jawa timur

Gelar Habib dan Sayyid, Bentuk Feodalisme?

Bahar bin smith namanya. Desember tahun 2018, Bahar bin smith akhirnya mendekam di balik jeruji besi. Kasus yang menimpanya bermula menstigma “banci”. Stigma ini ditujukan untuk sang petahana. Dijerat dengan KUHP Pasal 134 tentang penghinaan presiden. Kasus lainnya adalah penganiayaan remaja. Kasus terakhir ini membuatnya tak bisa berkelit lagi.

Pertama kali tahu Bahar bin Smith berawal dari percakapan WhatsApp (WA) dengan mahasiswa jurusan Pendidikan bahasa Arab di Pascasarjana UIN Maliki. “Habib bahar itu siapa? Orang NU apa bukan”. Saya periksa di Instagram. Ternyata muncul berbagai foto-foto selfienya. Mulai dari memakai topi bertulis tauhid hingga bersama ajudan di kabin pesawat.

Di Wikipedia, ia disebut ulama. Bahkan disana dijuluki sebagai “Habib bule”. Mungkin karena rambut gondrong dan berwarna pirang. Kesan pertama, “kok ada habib model begini…” begitu isi balasan WA yang saya tujukan ke teman Mahasiswa tadi. Selain disebut “Habib”. Bahar bin Smith boleh juga disebut “sayyid”.

“Dari mana habib berasal? Tentu dari bahasa Arab,” tulis Ahmad Taufik dalam Majalah Tempo 9 Februari 2009. Hubb, ahabbah—yuhibbu—hubban, menurut Kamus Arab-Inggris-Indonesia terbitan Al Maarif, Bandung, berarti cinta atau mencintai. Sementara Sayyid berasal dari saadah, ya siidu, siyadah yang berarti pimpinan atau ketua yang melayani (ummat).

Baca juga:  Ketika Al-Qur'an Menceritakan Kisah Cinta Yusuf dan Zulaikha

Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka mengartikan sayyid sebagai tuan atau sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad. Kamus Besar memperjelas kata itu dengan “sayidani” yang berarti “tuan yang dua”, sebutan untuk dua cucu Nabi, yaitu Hassan dan Hussein.

Masih menurut Ahmad Taufik, di Indonesia kita mengenal Al-Attas (yang berarti bersin atau bangkis), As-Saqaf (atap/langit-langit), Al-Haddad (hadid, besi/pandai besi), Al-Habsyi (nama tempat di Afrika, Habsyah), Al-Jufri, dan sebagainya. Nama belakang itu berasal dari panggilan, profesi, atau asal-muasal, seperti nama marga di Tapanuli, Makassar, atau Jawa.

Biasanya, kiprah dakwah para Habib berkisar di lingkungan Nahdlatul ulama, PERTI, Al Khairat dan pengikut Tarekat Sufi. Di sini para Habib punya kharisma yang muncul dari nasabnya dan riwayat menuntut ilmu agama di Timur tengah.

Mereka juga punya semacam “keistimewaan” yang tidak dimiliki Kyai, Ajengan dan seorang Buya. Misalnya, mereka punya konsep kafaah. Dengan konsep kafaah versi mereka, putri seorang Habib hanya dinikahkan dengan putra seorang Habib, bukan dengan putra dari kalangan non Habib.

Ada tokoh nasional yang sebetulnya bagi kalangan NU, PERTI dan al-Khairat perlu disebut Habib. Yang terkenal adalah Raden Saleh, pelukis tersohor abad 19 M. Beliau tak pernah mencantumkan gelar “Habib”. Dikutip dari majalah Tempo 13 September 2010, nama asli beliau yakni Sayid Salih bin Husain bin Yahya. Kakeknya orang Hadramaut yang mengawini putri Bupati Lasem. Selain Raden Saleh, seorang anggota keluarga Ba’abud di Pekalongan bahkan mengganti namanya menjadi Raden Suroatmojo.

Baca juga:  Harmonisasi Keislaman dalam Pancasila: Pendapat Santri Lirboyo hingga Mbah Maimun Zubair

Serupa dengan Raden Saleh, dalam pengamatan saya M. Quraish shihab tidak pernah membawa-bawa gelar Habib ketika membangun karir sebagai dosen dan menjadi menteri Agama. Sama halnya dengan Alwi shihab, saudara pak Quraish yang punya dua gelar Ph.D di Universitas Ain syams, Mesir dan Universitas Temple, Amerika serikat. Sepanjang melakoni sebagai dosen dan politisi, tak pernah sekalipun membawa-bawa gelar “Habib”.

“Ayah mengajarkan kami jangan pernah mengandalkan keturunan. Tidak perlu memperkenalkan diri sebagai sayyid atau sebagai habib. Selalu dia katakan kalau mau dikenal orang, dikenallah dengan akhlakmu, dengan hatimu. Itu satu yang beliau sampaikan. Yang kedua, jangan permalukan leluhurmu dengan perbuatanmu yang buruk. Itu yang ditanamkan kepada kami,” Kata Quraish kepada jurnalis laman tirto.id (24/1/2017).

Raden saleh maupun Quraish dan Alwi shihab adalah tokoh nasional yang tidak memandang gelar Habib sebagai sesuatu hal yang prestisius. Yang penting berkarya dan berakhlak mulia sudah cukup membuat orang di sekitarnya segan dan dihormati. Apakah di mata mereka gelar “Habib” dan “Sayyid” itu bentuk feodalisme? Saya tidak bisa menjawabnya. Sebelum menyudahi tulisan ini, sekali lagi perlu ditekankan bahwa mulia tidaknya seseorang dilihat dari akhlak dan ilmunya. Apalah arti gelar Habib, Sayyid, Jendral, anak menteri, seniman, jika tidak punya dua hal ini. Wallahu’allam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top