Sedang Membaca
Bahaya Berhenti Sembarangan Saat Membaca Al-Qur’an
Irfan Fauzi
Penulis Kolom

Santri di PP. Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Alumni Kajian Kepenulisan NU Online 2021. Tim Jurnalistik di PP. Al-Munawwir dan PP. Kempek.

Bahaya Berhenti Sembarangan Saat Membaca Al-Qur’an

Pembacaan waqaf (berhenti) dan Ibtida’ (memulai) saat melantunkan Al-Qur’an memang bsia dipahami melalui simbol-simbol khusus yang tertera dalam mushaf Al-Qur’an, tentu salah satu tujuan adanya simbol itu agar tidak keliru dalam memahami maksud yang disampaikan Al-Qur’an.

Di antara simbol itu adalah ج (baca: Jaiz, menandakan boleh untuk berhenti), قلى (baca: al-waqfu aula, menandakan waqaf lebih utama), صلى (baca: al-washlu aula, menandakan washal [lanjut] lebih utama), م (baca: lazim, menandakan wajib berhenti), dan sebagainya.

Namun pada tahap prakteknya, pemahaman waqaf dan ibtida’ tidak semudah yang telah dipelajari hanya dengan bersandar pada simbol-simbol tersebut. Di samping pembelajaran Al-Qur’an harus ada bimbingan dari seorang guru (musyafahah), pembaca Al-Qur’an perlu memperhatikan tanda baca (kapan ia berhenti dan memulai) dari ayat yang ia baca.

Kenapa memahami tanda baca itu penting? Sederhananya dalam tata bahasa Indonesia, seseorang bila membaca tanpa adanya tanda titik atau koma kemungkinan besar akan memberikan kesan gagal paham bagi pendengar. Penulis analogikan pada contoh ini, “Kucing Makan Tikus Mati”.

Pada kalimat itu terdapat 4 kata yang tidak memiliki tanda baca, tentu hal ini sudah dipastikan akan menimbulkan beragam premis (multi diversity). Jika kita berhenti pada 2 kata pertama (Kucing Makan), lalu kita lanjut 2 kata setelahnya (Tikus Mati), maka memberikan konklusi kucing tetap hidup dan tikus mati.

Jika kita berhenti pada 3 kata pertama (Kucing Makan Tikus), lalu dilanjut selanjutnya (mati), maka konklusinya kucing dan tikus sama-sama mati. Jika kita berhenti pada kata pertama (Kucing), lalu kita lanjut kata setelahnya (Makan Tikus Mati), maka konklusinya kucing tetap hidup, dan ada subjek yang belum diketahui mati lantaran makan tikus.

Demikian gambarannya bila seseorang membaca Al-Qur’an tanpa mengetahui tanda baca (waqaf dan ibtida’), tentu akan memberikan pemaknaan yang berbeda. Dari sini para ulama memberikan lampu kuning sebagai ihtiyath (kehati-hatian) kepada para pembaca Al-Qur’an agar senantiasa belajar dan mengetahui kapan pembaca berhenti dan kapan memulainya kembali.

Baca juga:  Keistimewaan Kesusastraan Al-Quran dan Kitab Asy-Syamil fi-Balaghatil Quran Karya Gus Awis

Pembahasan waqaf dan ibtida’ sendiri selama ini memiliki kajian (fan) khusus dalam ulumul qur’an. Tokoh-tokoh spesialisnya pun ada dalam bidang ini, antara lain: Abu Ja’far Al-Nuhas, Ibnu Al-Anbary, Al-Zazzaj, Al-Dany, Al-‘Umany, Al-Sajawandy, dan lainnya. Tentu, tujuan dirumuskan fan ini tidak lain untuk mengetahui bagaimana seseorang membaca Al-Qur’an dengan tidak merusak makna di dalamnya.

Beberapa riwayat, para ulama mengatakan pentingnya mempelajari ilmu ini, seperti Al-Anbary mengatakan: termasuk kesempurnaan mengetahui Al-Qur’an adalah mengetahui waqaf (berhenti) dan ibtida’ (memulainya kembali). Diriwayakan dari Ali bin Abi Thalib dalam firman Allah Q.S. Muzammil ayat 4:

وَرَتِّلِ اْلقُرْآنَ تَرْتِيْلًا

ia mengatakan: Maksud Al-Tartil adalah membaca dengan tajwid (baik) dan mengetahui tempat berhenti (waqaf).

Para ulama berselisih dalam membagi macam waqaf dan ibtida’, mereka mengungkapkan ada 8 macam, versi lain 3 macam, 2 macam, dan yang paling masyhur ada 4 macam, di sini kita ambil pendapat yang paling masyhur, yakni 4: tam mukhtar (تام مختار), kafi jaiz (كافي جائز), hasan mafhum (حسن مفهوم), dan qabih matruk (قبيح متروك). (lihat Manna’ Al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Kairo: Maktabah Wahbah, t.t, hal. 172).

Tam Mukhtar (waqaf yang sempurna dan terpilih) yaitu suatu lafal yang tidak ada kaitannya dengan lafal setelahnya. Maksudnya seseorang membaca waqaf (berhenti) pada lafal yang sudah sempurna maknanya dan memulainya (ibtida’) pada lafal setelahnya. Kebanyakan contoh ini terletak pada pangkal ayat. Seperti Q.S. Al-Baqarah ayat 5: ﴿وَأُولَئِٓكَ هُمُ اْلمــُفْلِحُوْنَ﴾ lalu memulainya pada ayat berikutnya:

اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا

Begitu pula pada ayat:

لَّقَدْ أَضَلَّنِى عَنِ ٱلذِّكْرِ بَعْدَ إِذْ جَآءَنِى

[lihat Q.S. Al-Furqan ayat 29],

Di sini tam (sempurna untuk berhenti), sebab lafal tersebut adalah ucapannya orang dzalim, Ubay bin Khalaf. Lalu memulainya (ibtida’) pada lafal berikutnya, yakni firman Allah:

Baca juga:  Di Balik Ayat Poligami: Sebentuk Larangan yang Sehalus-Halusnya

وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِلْاِنْسَانِ خَدُوْلًا

Kafi Jaiz (waqaf yang memadai dan dibolehkan) yaitu suatu lafal yang terpisah (bisa karena pangkal ayat atau di tengah ayat) tetapi maknanya berkaitan dengan lafal setelahnya. Artinya seseorang membaca waqaf pada lafal yang maknanya sudah sempurna meskipun ia harus membaca washal (lanjut) pada pangkal ayat tersebut. Hal itu bisa terletak setelah lam kay, اِلَّا yang bermakna “tetapi”, إِنَّ, istifham, بَلْ, أَلَّا, سِينْ, سَوْفَ, نِعْمَ, بِئْسَ, dan كَيْلَا selama tidak didahului qaul dan qasm.

Contoh pada pangkal ayat yang setelahnya berupa lam kay, seperti Q.S. Yasin ayat 69-70:

اِنْ هُوَ اِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُبِيْنٌۙ.لِيُنْذِرَ مَنْ كَانَ حَيًّا وَيَحِقَّ اْلقَوْلُ عَلَى اْلكَافِرِيْنَ

Contoh نِعْمَ ditengah ayat, Q.S. Shad ayat 30:

وَوَهَبْنَا لِدٰوُوْدَ سُلَيْمَانَ ۚ نِعْمَ اْلعَبْدُۖ.اِنَّهُ اَوَّابٌ

Meskipun terdapat simbol jim pada lafal سُلَيْمَانَ namun boleh membaca washal (lanjut) dan waqaf pada lafal نِعْمَ اْلعَبْدْ.

Hasan Mafhum (waqaf yang baik dan memahamkan) yaitu suatu ayat yang baik dibaca waqaf dan tidak baik ibtida’ pada ayat setelahnya karena ayat dan makna tersebut saling berkaitan. Jadi baiknya seseorang membaca waqaf sampai ayat yang memahamkan, seperti:

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Bila ia membaca waqaf pada رَبِّ الْعَالَمِيْنْ, lalu ia memulainya pada lafal setelahnya yakni ﴿اَلرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ﴾, pembacaan tersebut dianggap tidak baik. Alasannya, lafal اَلرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمْ merupakan dua sifat yang masih bersambung dengan sifat sebelumnya yaitu رَبِّ الْعَالَمِيْنْ dari maushuf اللّٰهْ.

Qabih Matruk (waqaf yang buruk dan dijauhi) yaitu suatu lafal yang bila dibaca waqaf dan ibtida’ akan rancu maknanya. Seperti seseorang membaca waqaf pada ayat ﴿لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْا﴾ (sungguh, telah kafir orang-orang yang berkata), lalu ibtida’ (memulai) pada lafal setelahnya ﴿اِنَّ اللهَ هُوَ اْلمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ﴾ (sesungguhnya Allah itu dialah Al-Masih putra Maryam) atau ﴿اِنَّ اللهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ﴾ (sesungguhnya Allah adalah salah satu dari yang tiga) [lihat Q.S. Al-Maidah: 17 & 72].

Baca juga:  Seputar Diturukannya Al-Qur’an yang Umat Islam Harus Tahu

Imam Al-Suyuthi menyebutkan pembacaan makna di atas mustahil bagi Allah, maka bagi siapa saja yang sengaja membaca demikian dan meyakini maknanya maka dia telah kafir. Wal ‘iyadzu billah. (lihat Al-Suyuthi, Al-Itqan fi ‘Ulum Al-Qur’an, Beirut: Muassisah Al-Risalah, 2008, hal. 179)

Suatu contoh lagi membaca waqaf pada Q.S. Al-Baqarah ayat 258: ﴿فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَۗ وَاللهْ﴾ (Maka bingunglah orang yang kafir itu, Allah) atau Q.S. An-Nisa’ ayat 11: ﴿فَلَهَا النِّصْفُۚ وَلِأَبَوَيْهْ﴾ (Maka dia memperoleh setengah (dari harta yang ditinggalkan), untuk kedua ibu-bapak). Dari dua contoh di atas, membaca demikian dianggap qabih matruk (buruk yang harus dijauhi) lantaran dapat merubah maksud yang disampaikan Al-Qur’an.

Termasuk pula pembacaan yang buruk (fatal) adalah membaca waqaf pada kalimat nafi bukan huruf jawab. Seperti waqaf pada lafal ﴿لَآ اِلٰهْ﴾ (tidak ada tuhan) lalu ibtida’ pada lafal setelahnya ﴿اِلَّا اللهْ﴾ (kecuali Allah). Juga waqaf pada lafal ﴿وَمَا اَرْسَلْنَاكْ﴾  (kami tidak mengutus kamu) lalu ibtida’ pada lafal ﴿اِلَّا مُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا﴾ (kecuali sebagai pemberi kabar bahagia dan peringatan).

Imam Al-Suyuthi menjelaskan, jika membaca demikian (seperti di atas) sebab terpaksa sekedar menarik nafas itu diperbolehkan, lalu ia mengulang bacaannya pada lafal sebelumnya (lafal sebelum ia baca waqaf) sampai pada lafal berikutnya. Maka hal itu tidak dilarang.

Dari uraian di atas, sebenarnya pembahasan waqaf dan ibtida’ perlu dipahami secara mendalam, bahkan dalam tulisan ini belum semuanya dibahas secara tuntas, hanya saja, setidaknya tulisan ini memberikan lampu kuning bagi siapa saja yang membaca Al-Qur’an agar senantiasa memperhatikan tanda baca dalam Al-Qur’an, minimal bila seseorang dirasa sulit “memahami kandungan Al-Qur’an”, ia bisa dibimbing dengan seorang guru atau bisa memperhatikan tanda baca dari simbol-simbol yang tertera dalam Al-Qur’an.

Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
3
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top