Zaimul Asroor
Penulis Kolom

Pencinta literasi Islam dan santri di Pascasarjana UIN Jakarta.

Cara Al-Qur’an Mengajarkan Ucapan Natal

27463 Mohamed Salah Turut Rayakan Natal 2020

Ingin mengikuti pendapat yang memperbolehkan mengucapkan  natal, silahkan. Ingin mengikuti pendapat yang melarang, juga silahkan. Yang tidak boleh adalah mengikuti ritual agamanya atau menganggap bahwa yang mengucapkan natal berarti imannya akan goyah bahkan keluar dari Islam.

Sebelum membahas lebih jauh tentang persoalan natal, akan lebih baik jika kita membahas tentang tiga sisi dalam ajaran Islam. Pertama, akidah yakni segala hal yang berkaitan dengan keyakinan kita kepada Allah sebagai Tuhan. Kedua, syariah yakni segala hal tentang ketentuan hukum Islam. Ketiga, akhlak, terkait dengan tata krama, etika, dan moral manusia.

Teks-teks atau ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan akidah umumnya menggunakan ungkapan yang jelas, tegas, tanpa penahapan dan tidak menimbulkan penafsiran lain. Misalnya, ayat tentang Keesaan Tuhan. Sebagaimana terdapat dalam surat al-Ikhlas:

قُلْ هُوَ ٱللَّهُ أَحَدٌ

Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa”

Begitu juga lanjutan ayat ke-3 dan ke-4 yang menyatakan bahwa Allah tidak beranak dan diperanakkan. Dia juga tidak memiliki sekutu dalam segala urusannya.

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ, وَلَمْ يَكُن لَّهُۥ كُفُوًا أَحَدٌۢ

Surat yang termasuk ke dalam kategori makiyah ini sekaligus menjawab pertanyaan kaum musyrikin kala itu tentang siapa Tuhan yang disembah Nabi Muhammad SAW.

Ini tentu berbeda dengan syariah dan akhlak yang terkadang masih menggunakan penahapan dalam perintahnya, atau mengandung makna lain yang pada akhirnya bisa menyebabkan perbedaan penafsiran dan pendapat di kalangan ulama.

Baca juga:  Menelusuri Imam Thabari dalam Menggunakan Diksi Takwil

Sebagai contoh, dahulu kewajiban shalat cukup dua kali sehari dan ketika itu berbicara sambil shalat juga masih diperbolehkan. Namun,  peraturan ini kemudian diganti dengan kewajiban shalat yang lima kali dalam sehari dan tidak diperkenankan lagi shalat sembari berbicara. Hal yang sama juga terdapat dalam bidang akhlak dan moral yang mengalami perkembangan dari setiap generasi dan peradaban.

Kembali ke persoalan akidah. Para ulama sepakat bahwa mengimani dan menghormati Nabi dan Rasul merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Begitu juga kepada Nabi Isa al-Masih a.s. Umat Islam meyakini bahwa Nabi Isa adalah Nabi dan utusan Allah. Sedangkan umat Nasrani meyakini berbeda.

Sebagai umat Islam, kita dianjurkan untuk menjaga keharmonisan dan kerukunan beragama, dengan catatan tanpa mengaburkan akidah kita. Nah, salah satu yang bisa mengaburkan akidah itu adalah mengikuti ritual keagamaan agama lain. Akan tetapi, apabila sekedar memasuki gereja, wihara, sinagog, dll. itu apakah bisa mengaburkan akidah? Tentu saja tidak.

Bila kita melihat beberapa informasi dan informasi dari belahan dunia Barat misalnya, sebagian kaum muslimin malah disediakan hidangan berbukanya di Gereja ketika memasuki bulan ramadhan. Ini kan pemandangan yang luar biasa. Apakah dengan demikian, kita menganggap iman mereka lemah?

Lalu, apakah menghormati umat agama lain dengan mengucapkan Natal bisa mengaburkan akidah? Di sini kita perlu sepakati terlebih dahulu apa arti kata natal.

Baca juga:  Membaca Ayat-Ayat Misoginis: Tafsir Klasik dan Modern

Natal, milad atau christmas artinya adalah hari kelahiran. Apabila demikian, saat kita meyakini bahwa ucapan selamat Natal adalah bentuk kita menghormati dan bergembira atas kelahiran Nabi Isa, tentu ini malah menjadi sebuah keharusan. Terlepas dari kesahihan informasi kapan hari kelahiran Nabi Isa a.s. Orang Kristen sendiri juga berbeda pendapat. Di gereja-gereja Bethlehem misalnya, ada yang merayakan natal pada  tanggal 7, ada juga 17 Januari.

Saya ingin tekankan bahwa ayat al-Qur’an sendiri mengabadikan ucapan selamat Natal kepada Nabi Isa al-Masih a.s. bahkan yang mengucapkan selamat Natal itu adalah Nabi Isa sendiri terhadap dirinya. Biar lebih jelas, mari kita baca Q.S. Maryam [19]: 33:

وَٱلسَّلَٰمُ عَلَىَّ يَوْمَ وُلِدتُّ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا

Salam sejahtera untukku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali”.

Dari beberapa tafsir yang saya telusuri, ada dua makna utama dari kata assalam di atas, yakni keselamatan dan kesejahteraan.

Ayat di atas dengan jelas menyatakan bahwa Nabi Isa sendiri mengucapkan salam dan bergembira dengan hari kelahirannya, wafatnya dan hari ketika beliau nanti dibangkitkan. Pertanyaannya, bila kita bergembira dan mengucapkan salam yang sama sebagaimana Nabi Isa apakah kurang tepat?

Kita sering menganggap diri sebagai bangsa yang toleran, akan tetapi dalam hal ini kita masih kalah dengan orang-orang Arab seperti di Mesir, Syiria, Irak, Lebanon, Iran dan beberapa negara lain. Bagi mereka, mengucapkan Hari Natal adalah hal yang biasa. Banyak pula hiasan dan ornamen Natal di berbagai tempat, termasuk di restoran. Ini berbeda dengan kita yang melihat atribut dan hiasan Natal saja seringkali sudah “alergi”.

Baca juga:  Gus Baha: Orang yang Membaca Al-Qur’an Sampai Khatam itu Seperti Seorang Pedagang

Namun demikian, sebelum kita mengucapkan salam atau selamat Natal, al-Qur’an mengajarkan kepada kita untuk meyakini terlebih dahulu bahwa Nabi Isa a.s adalah utusan Allah, bukan Tuhan yang lain. Sebagaimana Q.S. Maryam [19]: 36 yang merekam ucapan Nabi Isa:

وَإِنَّ ٱللَّهَ رَبِّى وَرَبُّكُمْ فَٱعْبُدُوهُ هَٰذَا صِرَٰطٌ مُّسْتَقِيمٌ

Keyakinan kita bahwa beliau Nabi yang wajib diimani dan dihormati adalah bagian dari akidah. Sedangkan cara kita mengucapkan natal adalah bagian dari muamalah dan akhlak.

Mari bersama menjaga anugerah keberagamaan di negeri ini dengan baik, tanpa harus merasa takut bahwa iman kita akan terkikis atau tergadaikan hanya dengan ucapan natal. Begitulah Al-Qur’an, ia mengajarkan kedamaian, bukan ketakutan. Namun sayang, kebanyakan dari kita masih sering kurang paham akan tetapi sering menyalahkan.

 

Referensi:

Quraish Shihab, Lentera Hati.

Budhi Munawar Rachman, Ensiklopedi Nurcholis Madjid jilid 1 &3.

Husein Muhammad, Islam yang Mencerahkan dan Mencerdaskan.

Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir.

Hamka, Tafsir al-Azhar.

Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir al-Jalalain.

dll.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top