Sedang Membaca
Sekilas Kisah Tarekat Naqsyabandi
Hajriansyah
Penulis Kolom

Penulis Sastra. Meminati seni dan dunia sufi

Sekilas Kisah Tarekat Naqsyabandi

Dalam sebuah cerita yang diriwayatkan Syekh Sirhindi, satu ketika Timur Lenk yang perkasa bersama pasukan raksasanya melintasi Bukhara. Saat itu karpet-karpet dari khanqah milik Syekh Naqsyabandi tengah dibersihkan murid-muridnya.

Penguasa Asia Tengah yang terkenal kejam itu tak dinyana memberhentikan pasukannya. Bahkan sang penguasa, yang namanya berarti “besi bengkok” itu, berdiri di sana menunggu hingga tukang bersih-bersih menyelesaikan pekerjaannya.

Demikian takzimnya penguasa Timuriyah itu kepada Syekh Naqsyabandi dan tradisi spiritualnya, ia sampai membangunkan makam Khwaja Ahmad Yiswi, pir-i Turkistin (guru spiritual bangsa Turki), yang merupakan bagian dari mata rantai sanad guru-guru Naqsyabandi.

Syekh, atau dalam bahasa asalnya sering disebut Khwaja, Naqsyabandi memiliki nama Muhammad bin Muhammad, bergelar Bahauddin Naqsyabandi yang kalau diterjemahkan secara bebas bisa berarti “pengukir agama yang indah”. Ia lahir pada tahun 717 Hijriyah (berkisar antara 1317-1318 Masehi) di Qashrul Arifah, desa yang berjarak kurang lebih 4 mil dari Bukhara—tempat kelahiran Imam Bukhari.

Pada awalnya ia belajar tasawuf kepada Syekh Muhammad Baba as-Samasi, namun secara penahbisan ia mengambil tarekat kepada Amir Kulal, khalifah (wakil) dari Baba Samas. Sehingga, jika dirunut mata rantai keilmuan (tarekat) Naqsyabandi bisa dijajarkan ke atas seperti ini:

Syekh Bahauddin Naqsyabandi > Syekh Amir Kulal > Syekh Baba Samas > Syekh Ali Ramitani > Syekh Mahmud Faghnawi > Syekh Arif Riwakari > Syekh Abdul Khaliq Ghujdwani > Syekh Yusuf Hamadani > Syekh Abu Ali Farmadhi> Syekh Abul Hasan Kharqani > Abu Yazid Bustami > Imam Ja’far Shadiq > Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr > Salman al-Farisi > Abu Bakr Shiddiq > Rasululllah Muhammad Saw.

Baca juga:  Sabilus Salikin (62): Tarekat Sa'diyyah

Syekh Bahauddin pernah mengabdi kepada penguasa Samarkand, Sultan Khalil, selama 12 tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748 H/ 1347 M, ia mengungsi ke Ziwartun. 

Di sana ia menjadi penggembala ternak selama tujuh tahun, dan kemudian bekerja dalam proyek perbaikan jalan selama tujuh tahun lagi. Pengabdian semacam ini merupakan bagian dari pelatihan rohaninya, sebelum memasuki lingkungan mistis secara lebih intens.

Meski dikenal dekat dengan penguasa dan memiliki pengaruh yang besar terhadap mereka, ia tetap mengambil jarak terhadap pergaulan kalangan bangsawan. Syekh hidup secara sederhana dari hasil kepemilikan sepetak tanah yang dikerjakan orang lain. 

Suatu ketika ia ditanya, mengapa tidak memiliki hamba, laki-laki atau perempuan, ia menjawab, “Rasa memiliki tidak mungkin bersatu dengan kewalian.” 

Ia dikenal sangat disiplin dan memerhatikan latihan moral dan spiritual murid-muridnya. Terkait hal ini, Syah Waliyullah pernah menyatakan bahwa disiplin yang tinggi, yang diterapkan Syekh Bahauddin kepada murid-muridnya, didasarkan pada karakter bangsa Turki yang menjadi induk kebudayaan yang membesarkannya. 

Namun begitu, menurut Jami’, Syekh biasa mengatakan bahwa jalan mistis yang ditempuhnya adalah al-urwah al-wutsqa, seperti yang ditempuh Nabi dan para Sahabatnya.

Syekh juga mengatakan, “Sangatlah mudah mencapai pengetahuan tertinggi dalam hal tauhid, tapi sangat sulit mencapi makrifat.” Ini menunjukkan prinsip yang sangat halus terkait perbedaan antara (sekadar) pengetahuan yang dipelajari dengan pengalaman spiritual yang didapatkan secara langsung melalui pelatihan diri (rohani).

Baca juga:  Menari Bersama Kekasih (1): Tasawuf, Jalan Para Pecinta

Tarekat Naqsyabandiyah termasuk tarekat yang menganjurkan keterlibatan dalam pembangunan spiritual, kaitannya dengan pembangunan mental bernegara. Banyak guru-guru mereka, seperti diteladankan Syekh Naqsyabandi sendiri, yang dikenal dekat, hingga memberi pengaruh yang besar, terhadap para penguasa. Seperti cerita Timur Lenk (1336-1405 M) di atas, misalnya.

Penguasa besar Asia Tengah—yang pada masanya kekuasaannya meliputi Asia Tengah, Eropa Timur, Persia hingga Baghdad, bahkan sampai ke sebagian wilayah India—itu sejak kecilnya dikenal saleh, ramah dan mudah bersimpati. Ini agak bertolak belakang dengan karakternya kemudian, yang sering dinyatakan sebagai penjajah yang kejam dan bengis. 

Terlepas dari gambaran dirinya yang “jahat”, Timur juga dikenal sebagai pengayom seni peradaban Islam, melalui karya arsitektural yang megah dan hiasan kaligrafi serta iluminasi Alquran yang monumental dan indah. Dan ini, tak terelakkan, bagian dari pengaruh besar Syekh Naqsyabandi yang menjadi guru spiritual bangsa Turki dan Mongol.

Begitu pula ketika Babur (w. 1530 M) sang pendiri kekuasaan Mughal melakukan invasi besar-besaran ke dataran India, salah seorang Syekh Naqsyabandiyah, Ubaidillah Ahrar, mengirimkan murid-muridnya ikut dalam ekspedisi militer itu. Syekh Ahrar (1403-1490 M) sendiri adalah guru spiritual ayah Babur, Umar Syekh Mirza. Dan, ketika Umar Syekh berkonflik dengan pangeran-pangeran Timuriyah lainnya, biasanya mereka meminta penyelesaiannya di hadapan Syaikh Ahrar. Pangeran-pangeran itu selalu tunduk dan patuh kepada sang syekh.

Akibat dari banyaknya murid Naqsyabandiyah yang ikut ekspedisi, hingga berdirinya kesultanan Mughal di India, tarekat ini berkembang dan maju pesat di India. 

Baca juga:  Sa’idah binti Zaid

Hingga masa kepemimpinan tarekat Syekh Ahmad Sirhindi (w. 1033 H/ 1624 M), yang bergelar Mujaddid Alf-i Tsani (pembaharu milenium kedua), tarekat ini tetap dikenal sebagai pelindung spiritual para penguasa muslim India.

Posisi para syekh Naqsyabandiyah terhadap penguasa selalu dekat namun berjarak. Para syekh tidak hidup dari pemberian mereka, sebaliknya para penguasalah yang selalu meminta dari mereka.

Kebanyakan mereka hidup sederhana dan mandiri dari hasil usaha sendiri. Syekh Ahrar bahkan dikatakan sebagai Syekh terkaya dalam sejarah Naqsyabandiyah, sumbangan pajak dari usaha pertanian yang dikelola atas namanya mencapai 80.000 maund gandum, jumlah yang terbilang banyak pada masanya. Padahal, itu hanya sepuluh persen dari hasil usahanya. 

Meski demikian, penyair Jami’ mengatakan dalam syairnya, ketika ingin muncul dalam pakaian seorang raja, kemiskinan datang dalam sosok Ubaidillah Ahrar. Ketika datang orang miskin yang sakit kepadanya, ia sendiri yang merawat dan membersihkan tempat tidur mereka yang kotor. Baginya berkhidmat pada kemanusiaan adalah pintu menuju tingkatan spiritualitas yang tinggi. Dan, tidak hanya kepada yang miskin, ia juga berkhidmat kepada raja-raja dengan berdiri di sisi mereka dan menasihatinya.

Kesultanan Mughal tumbuh besar dan berkembang karena pengaruh Syekh Ahrar dan para penerusnya. Bagi mereka, para sultan itu adalah anak kecil yang harus selalu didampingi dan dinasihati, agar tidak menjadi tiran bagi orang-orang yang lemah. Demikianlah paradoks spiritualitas dan kekuasaan, bagi orang-orang yang tak pernah berharap apa-apa dari kehidupan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top