Sedang Membaca
Ingin Kuberi Nama Cucuku: Hypatia
Achmad Ubaidillah
Penulis Kolom

Penyair, tinggal di Bogor Jawa Barat.

Ingin Kuberi Nama Cucuku: Hypatia

Ingin Kuberi Nama Cucuku: Hypatia

Tiga hari lalu, anakku menyampaikan kabar gembira tentang isterinya yang sudah mengandung. Aku dan isteriku begitu bahagia mendengarnya.

Aku jadi terpikir untuk memberikan sebuah nama pada cucuku kelak. Hypatia, nama yang kembali aku ingat dan aku peroleh pertama kali justeru bukan dari literatur filsafat maupun sains melainkan dari sebuah film sejarah berjudul Agora yang mengambil latar Mesir di akhir abad 4.

Nanti aku ingin menyematkan nama itu apabila menantuku melahirkan anak perempuan. Aku kagum pada kecerdasannya dan aku kagum pada kekuatan dan keteguhan pendiriannya mempertahankan keyakinan dan pemikirannya meski harus dibayar dengan kematian.

Tentu kalau mereka berdua setuju karena bagaimanapun mereka lebih punya hak memberikan nama bagi putra-putrinya. Tidak ada salahnya aku sampaikan keinginanku pada Lingga, yang kebetulan ada di hadapanku saat ini.

Dia bersama isterinya sedang mengunjungi kami. Aku dan Lingga memilih ruang tamu depan sebagai tempat berbincang, Sementara menantuku bersama isteriku sedang menikmati taman bunga yang belum lama kami buat.

Mereka duduk di saung kecil yang terletak di halaman belakang rumah ditemani merdunya suara burung yang sarangnya tak jauh dari tempat mereka duduk dan bercengkrama. Seperti biasa sebelum obrolan dimulai aku sudah menyiapkan makanan ringan dan bandrek susu, minuman kesukaan kami semua.

“Anakku, engkau pernah mendengar nama Hypatia berikut kisahnya?

Itulah pertanyaan pembuka yang sepertinya akan mengawali obrolan panjang kami seperti biasanya. “Belum pernah” ujar anakku kepadaku. Jika belum, dengan senang hati aku akan bercerita tentangnya. Sekali lagi aku ingin katakan, sungguh aku ingin memberikan nama itu pada anakmu nanti jika isterimu melahirkan anak perempuan.

Hypatia, nama ini memang jarang disebut. Mungkin ia tidak lebih dikenal dibandingkan Simone de Beauvoir, Maurice Merleu-Ponty, kedua filosof ternama Perancis, Alexandra Kollontai, filsuf Rusia terkemuka atau Rosa Luxemburg, Hannah Arendt dan sejumlah nama filsuf perempuan lainnya yang telah ramai dikaji dan diperbincangkan.

Selain dikenal sebagai filsuf, Hypatia yang lahir sekitar tahun 370 dan meninggal pada 415 dianggap sebagai perempuan terkemuka pertama di bidang matematika.

Selain mengajar matematika, ia juga mengajar filsafat dan astronomi di provinsi Mesir pada zaman Kekaisaran Romawi. Hypatia juga memiliki ketertarikan besar pada mekanika dan teknologi. Ia berhasil mendesain sebuah alat yang disebut Plane Astrolabe, yang berfungsi untuk mengukur posisi bintang, planet dan matahari.

Nama Hypatia bermakna ”tertinggi” sesuai dengan kecerdasan dan ketekunannya mencapai pengetahuan yang tertinggi hingga teorinya tentang peredaran planet-planet yang berpusat pada matahari, kemudian hari bahkan hingga saat ini terbukti sebagai yang benar.

Pada zamannya, pemikiran Hypatia bertentangan dengan pemikiran Aristoteles dan Claudius Ptolomeus yang mengatakan dalam teorinya bahwa bumi adalah pusat tata surya sehingga seluruh planet dan matahari mengelilingi bumi.

Teori Hypatia bertentangan pula dengan pandangan dan keyakinan tokoh tokoh agama Kristen yang memiliki pandangan sama dengan Aristoteles dan Ptolomeus. Perbedaan pandangan inilah yang menjadi awal terjadinya kecaman demi kecaman yang berujung pada kematian Hypatia yang dilakukan oleh penganut kristen fanatik dan radikal yang dimobilisasi pemimpin kristen bernama Peter.

Baca juga:  Jaga Jarak; Antara Sindrom dan Kompetensi Budaya

Dalam sejarah, peristiwa semacam ini kemudian berulang sebagaimana dialami Galileo yang ditangkap dan dihukum pada tahun 1663.

Pada saat itu Galileo mengajukan teori Copernicus bahwa bumi dan planet-planet berputar dalam orbit mengelilingi matahari dan menolak teori Ptolemaeus bahwa matahari dan planet-planet berputar mengelilingi bumi. Teori Galileo bertentangan dengan otoritas ilmiah Aristoteles yang mendukung astronomi Ptolemaeus yang telah diterima secara luas di Eropa sejak abad ke-12.

Teori Galileo juga bertentangan dengan otoritas kitab suci yang meyakini bumi sebagai pusat alam semesta.

Anakku, demikianlah sejarah Hypatia, sejarah yang memberikan gambaran kepada kita tentang ketegangan sains dan agama yang mengakibatkan dikotomi antara sains dan agama. Hingga saat ini pun masih banyak orang yang beranggapan bahwa sains dan agama adalah dua entitas yang berbeda dan tidak mungkin untuk dipertemukan.

Kedua kelompok tersebut seolah tak pernah berhenti untuk saling klaim bahwa merekalah yang berhak menentukan kehidupan. Keduanya memiliki wilayah masing-masing, terpisah antara satu dan lainnya padahal keduanya adalah penting dalam sejarah kehidupan umat manusia.

Oleh karena itu semoga engkau bisa mengambil hikmah dari kisah yang baru saja aku ceritakan. Agama dan sains tidak mesti saling meniadakan, saling dihadap-hadapkan dan dipertentangkan secara diametral.

Karena bagiku, dalam hubungan dialogis, sains dan agama mempunyai persinggungan yang bisa didialogkan bahkan diintegrasikan satu sama lain. Model integrasi sebagai tahapan lanjut dari model dialog inilah relasi ideal antara sains dan agama.

Kedua elemen ini harus kita yakini sebagai sarana untuk menemukan anugerah dan keagungan Allah yang telah menciptakan alam semesta raya. Motivasi teologis semacam ini tentu berdasarkan pada suatu keyakinan bahwa agama kita, Islam, sangat menganjurkan penggunaan akal.

Teori Hypatia tentang peredaran planet-planet mengelilingi matahari bertentangan dengan pandangan dan keyakinan tokoh tokoh agama Kristen yang memiliki pandangan sama dengan Aristoteles dan Ptolomeus.

Mungkin engkau masih ingat keberhasilan sejumlah ilmuwan besar Islam yang kita kagumi seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Farabi, al-Khawarizmi, al-Jabar, al-Kindi, al-Biruni dan Ibnu Hayyan yang terkenal tidak hanya pada bidang agama tetapi juga mencakup bidang-bidang pengetahuan seperti ilmu kedokteran, ilmu astronomi, matametika dan ilmu umum lainnya.

Anakku, masih tentang Hypatia, menyoal kisah yang aku ceritakan berdasarkan kisah yang selama ini berkembang, kita perlu kritis membaca sejarah. Hypatia harus kita dudukan sebagai representasi kisah yang kompleks agar kita tidak terjebak pada penilaian sempit yang cenderung menyederhanakan persoalan, agar kita tidak menjadi manusia yang senang berucap dan bertindak membabi buta.

Pendekatan semacam itu tentu harus kita berlakukan pada saat kita menyimak ragam peristiwa yang terjadi termasuk persoalan di internal agama kita, Islam, yang telah mengajarkan kepada kita semua tentang pentingnya keluasan ilmu dan kebijaksanaan, tentang pentingnya memiliki dan memelihara kerendahan hati, kejernihan hati dan pikiran dalam memandang persoalan.

Baca juga:  Pengembangan Minyak Atsiri oleh Ilmuwan-Ilmuwan Muslim 

Anakku, kecaman dan hukuman yang dialamatkan kepada Hypatia bukan sekadar pemikirannya yang bersebrangan dengan doktrin gereja juga bukan hanya konflik sains dan agama yang ditandai dengan perbedaan tafsir teks suci dan pemikiran filsafat.

Hypatia adalah cerminan soal hegemoni dan relasi kekuasaan yang tidak seimbang terkait relasi mayoritas-minoritas. Jelas adanya, ada kontestasi simbolik yang terjadi disana, ada tendensi politik kekuasaan yang mengemuka disana.

Simak saja dengan seksama film Agora yang aku maksud di awal. Jika film itu memang berbasis riset sejarah yang utuh, engkau bisa lihat bagaimana tempat pertemuan terbuka yang disebut Agora dibiarkan menjadi tempat saling menghujat antara kedua pemeluk agama hingga berlanjut pada pertikaian agama, ada simbol-simbol disana yang merepresentasikan keyakinan mereka.

Engkau juga bisa lihat bagaimana upaya Cyrill pemegang otoritas gereja berupaya keras memanipulasi teks suci untuk membangkitkan emosi para penganut Kristiani sehingga mencelakakan Hypatia dan banyak manusia yang kebetulan hidup ditengah menguatnya pertikaian berdarah antara penganut Kristen dan kaum pagan yang menganut polyteisme Yunani. Padahal aku yakin kedua ajaran tersebut tidak mengajarkan kekerasan apalagi pembunuhan. Anakku, engkau juga bisa lihat bagaimana upaya perlindungan Orestes, salah seorang murid Hypatia yang juga mencintainya tidak membuahkan hasil meskipun dia menjadi wakil kekuasaan Romawi di Alexandria. Usaha Orestes mendapat perlawanan keras dari penganut kristen yang fanatik yang terhimpun dalam milisi kristen bernama Parabaloni. Ini tentu saja soal absennya keberanian dan ketegasan pemimpin dan otoritas negara yang semestinya hadir menjadi penyelesai.

Anakku, engkau juga bisa membaca ulang latar historis kisah Hypatia yang terjadi seiring munculnya Kristen secara dominan setelah Raja Konstantinus Agung melegalisir agama kristen sebagai agama negara di seluruh kekaisaran Romawi sekitar tahun 313. Engkau juga bisa lihat bagaimana sosok Cyrill, sebagai pemimpin agama, tidak lagi berbicara tentang Tuhan melainkan berbicara “atas nama Tuhan”. Ketika peng”aku”an absolut ini berkelindan dengan tangan kekuasaan despotik, maka kita menemukan perselingkuhan agama dengan kekuasaan yang sangat berbahaya telah berhasil memberangus pemikiran filsafat yang dipandang sebagai ideologi kaum pagan, menghukum Hypatia, memberangus kaum pagan dan membakar tempat persembunyian para penganut paganisme yakni perpustakaan Alexandria yang berisi koleksi berbagai pengetahuan yang seharusnya dipelihara bukan dibumihanguskan.

Anakku, padahal aku pun yakin, model pemimpin semacam itu bukan yang dikehendaki oleh ajaran Kristen yang aku dengar sering menyuarakan cinta-kasih.Anakku, kisah Hypatia dan Galileo sebetulnya hanya dua peristiwa dari berbagai peristiwa lainnya terkait pertentangan keyakinan dan pandangan serta relasi agama dan kekuasaan yang terjadi di masa lalu dan akhir-akhir ini.

Anakku, di era dinasti Abbasiyah, peristiwa serupa terjadi dengan kisah yang berbeda ketika kemarahan luar biasa dan demonstrasi besar-besaran berlangsung di mana-mana, di seluruh negeri. Puluhan otoritas agama menghimpun tandatangan dan berebut membubuhkannya, menuntut kematian seorang sufi bernama Husain Manshur al-Hallaj yang lahir di perkampungan Tur, wilayah Baidha, Fars, Persia, 244 H/858.

Baca juga:  Perempuan-Perempuan Bercadar itu (3)

Al-Hallaj, keluarga dan para pengikutnya ditangkap dan dijebloskan di penjara. Peradilan terhadapnya kemudian digelar. Para jaksa menuduhnya dengan “telah melakukan kejahatan berlapis”. Secara politik dia dia dianggap agen gerakan Qaramit, salah satu sekte Syi’ah Ismaili, sayap garis keras dan brutal. Gerakan Politik di bawah pimpinan Hamdan al Qarmathi ini telah lama menentang kekuasaan dinasti Abbasiah dan berusaha menggulingkannya. Mereka acap melakukan pemberontakan di mana-mana. Secara agama al Hallaj dituduh tukang sihir dan zindiq (Atheis). Pembelaan yang cerdas dan jujur tak mampu melawan tekanan masa emosional dan represi politik pencitraan. Pengadilan akhirnya menjatuhkan vonis mati yang ditandatangani oleh Khalifah Al Muqtadir Billah, Khalifah Dinasti Abbasiyah ke-18 yang dikenal sebagai pemimpin termuda yang memimpin sebuah kerajaan besar. Al Hallaj tak gentar dengan putusan ini. Pada tanggal 27 Maret 922 eksekusi mati dilaksanakan di hadapan ribuan pasang mata merah yang terus meradang dan tak henti berteriak histeris. Yel-yel Allah Akbar, Allah Akbar menggelegar.

Anakku, ada peristiwa lain yang juga lebih tragis dan mengharukan yang dilakukan atas nama pemaksaan faham dan keyakinan oleh kelompok Wahabi yang didirikan oleh Muhammad ibnu Abdul Wahab yang lahir di Uyainah, Najd, Saudi Arabia pada tahun 1703 dan berkolaborasi dengan Dinasti Saud yang berkuasa di Arab Saudi hari ini. Peristiwa ini aku baca dari sebuah buku yang merupakan kajian ilmiah karangan Syeikh Idahram. Pada tahun 1746, mereka tercatat dalam sejarah, telah memploklamirkan Jihad terhadap siapapun yang mempunyai pemahaman tauhid berbeda dari mereka dengan mengampanyekan tuduhan Syirk, murtad dan kafir pada siapapun yang berbeda paham. Mereka menghancurkan kawasan pekuburan di Ma`la termasuk kubah Sayidina Ali bin Abi Tholib, bekas rumah Rasulullah.

Mereka juga telah membakar buku-buku yang terdapat di perpustakaan Maktabah Arabiyah di Mekkah yang sangat bernilai historis bagi umat Islam termasuk hasil diktean Rasulullah kepada para sahabatnya.

Anakku, demikianlah kisah sejarah yang aku bisa ceritakan hari ini. Maafkan ayah karena telah berpanjang lebar menceritakannya bahkan tidak hanya soal Hypatia. Aku sengaja melakukannya agar kita terus tersadarkan bahwa peristiwa penaklukan, pemaksaan kehendak dan nalar kekerasan itu ada pada semua bangsa, terjadi pada banyak penganut agama. Ini penting kita jadikan pelajaran berharga agar kita terjauh dari pengingkaran pada ajaran agama kita yang nyata nyata mengajarkan cinta, agar kita tidak melakukan pengingkaran pada fitrah kemanusiaan kita, agar kita menjalani kehidupan kita sebagai manusia berakal dan berhati nurani, agar nalar kemanusiaan kita tetap hidup sehingga kita selalu mau dan bisa menghargai, menghormati dan merasakan nasib yang sama dengan manusia yang lainnya.

Anakku, hari telah sore, pulanglah tetapi tunggu sebentar, aku akan mengambil oleh-oleh yang aku beli di Bandung kemarin saat aku berkunjung ke rumah pamanmu, makanan ringan yang sangat enak.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
4
Terkejut
1
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top