Sedang Membaca
Menari Bersama Kekasih (3): Laku Thariqah

Penulis Buku Penjara Perempuan (2020). Tuan Rumah Pondok Filsafat Solo dan alumnus MASTERA ESAI 2019

Menari Bersama Kekasih (3): Laku Thariqah

Whatsapp Image 2021 05 25 At 8.38.23 Pm

Tidak akan sampai orang pada hakikat, sebelum mengalami laku thariqah. Dalam bahasa kita, thariqah biasa diucapkan tarekat, atau suluk. Candra Malik memaknai tarekat adalah cara berjalan, sedangkan syariat adalah jalan. Tujuan dari tarekat ialah untuk mempertebal iman dalam hati pengikut-pengikutnya, demikian rupa sehingga tidak ada yang lebih indah dan dicintai selain dari pada Tuhan, dan kecintaan itu melupakan dirinya dan dunia ini seluruhnya (Atjeh, Abu bakar, 1987). 

Thariqah atau tarekat sering lekat dengan sosok pemimpin atau sufi yang dipandang mencapai maqam yang tinggi. Di Indonesia tarekat yang cukup berpengaruh diantaranya adalah tarekat qadiriyah. Tarekat ini meneladani laku dari Syekh Abdul Qadir Jaelani.

Apa yang menjadi tujuan dari tarekat ini juga ditulis oleh Dr. Muzafaruddin Nadvi dalam bukunya Pemikiran Muslim dan Sumbernya (1984) : “Dalam hal seorang sufi yang benar, alat dan tujuannya dicurahkan hanya pada satu hal, yaitu Tuhan. Dia meleburkan dalam Tuhan dan hanya untuk hidup dalam Tuhan.”  Seperti sajak Rumi “kalau Kau tak temukan Aku dalam dirimu, maka takkan pernah Kau temukan Aku.” Haidar bagir menafsirkan sajak ini dalam bukunya Belajar Hidup dari Rumi (2015) bahwa kita tidak akan pernah menemukan Tuhan bila kita tidak mengenali diri kita sendiri.

Nicholson dalam bukunya Tasawuf  Menguak Cinta Ilahi(1987) menuliskan “tujuan yang sesungguhnya dari sufisme yaitu jalan yang ditempuh oleh para Darwish, adalah membebaskannya dari penjara yang mengungkungnya yang memberi tahu (tentang) adanya tujuh puluh ribu tudung, guna kembali bersatu dengan Yang Esa, yang sebenarnya juga masih bersemayam (?) di dalam jasmani tersebut.  Hubungan dengan jasmani memang tak hendak diputuskan, melainkan hanya diperhalus dan diberi makna rohani. Layaknya ia bagaikan logam, yang harus dimurnikan dengan api, dan kemudian ditempa. Dan para syaikh akan memberi tahu kepada para pengikutnya tentang rahasia penempaan.” (W.H.T. Gairdner, “The Way of A Mohammedan Mystic”).

Baca juga:  Sabilus Salikin (131): Sepuluh Ajaran Tarekat Dasuqiyah

Para sufi dalam tradisi islam sebenarnya sama dengan tradisi islam dalam menempuh jalan ilmu. Islam menuntunkan bahwa seorang pencari ilmu memerlukan guru sebagai pembimbing. Dan dalam tradisi skolastik Islam masa lampau, guru-murid memiliki hubungan yang amat dekat layaknya keluarga. Itulah mengapa dalam tarekat, memang dimaknai sebagai bentuk sistem kekeluargaan dalam sufi.

Dalam menempuh tarekat, manusia harus ikhlas, muraqabah (selalu diawasi gerak geriknya oleh Tuhan), muhasabah (memperhitungkan laba rugi amalnya), tajarrud (melepaskan segala ikatan yang menghalangi dirinya agar menempuh jalan itu), isyq (rindu yang tak terbatas kepada Tuhan) dan hubb ( cinta kepada Tuhan melebihi segala alam sekitar (Atjeh, Abu Bakar, 1987 :64).

Sufi sering dianggap sebagai orang yang asing. Melakukan tapa, atau mengasingkan diri. Mereka biasanya melakukan perjalanan, menyelusuri kesunyian untuk menemukan Tuhan. Laku ini dulu pernah juga dilakukan oleh Nabi Muhammad saat hendak mendapatkan wahyu. Muhammad menghindari dari keramaian, merenungkan kerusakan-kerusakan yang telah diperbuat umatnya dan memikirkan bagaimana agar ia memperoleh petunjuk Tuhan dengan bertapa, menyepi dan mencari keheningan. Laku tarekat ditempuh untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Sang Khaliq.

Seorang yang menempuh laku tarekat ia akan merasakan jatuh cinta. Cinta ini digambarkan indah dalam sajak Rumi berjudul Cinta adalah Pembuktian Diri : Jika kau jatuh cinta/ cintamu adalah buktimu dan itu cukuplah/ Jika kau tak jatuh cinta/ apa yang baik untuk bukti?. Seseorang yang merasakan kerinduan tidak hanya berhenti pada rasa semata. Ia akan terus menerus menyebut namanya, melakukan upaya yang membuat ia disukai oleh yang dirindu. Itulah yang dirasakan oleh seorang yang merindu Tuhan. Andrew Harvey (2018) dalam bukunya Seribu Ilham Kearifan Sufi menulis, “Kerinduan adalah derita yang membakar tabir pemisah antara jiwa dan Tuhan, sekaligus adalah tali yang menuntun kita lebih jauh memasuki relung terdalam diri kita di mana cinta menanti, selalu, untuk membawa kita masuk lebih jauh ke inti misterinya.”

Baca juga:  Sabilus Salikin (52): Tarekat Ghazaliyah

Hakim at-Tirmidzi menuliskan perihal tahapan ini dengan indah, “ketika hati mengkilap dan berkilau, ia melihat Kerajaan Keagungan Ilahiah dan Keagungan Ilahiah menjadi telanjang baginya.”

Tahapan tarekat sering digambarkan sebagai sebuah upaya pencapaian. Orang bisa membersihkan hati dari keterikatan dunia dan juga membersihkan ruhani dengan ibadah. Menghidupkan ibadah ritual tentu menjadi hal yang tidak ditinggalkan, namun membersihkan hati dari keterikatan apapun sering menjadi hal yang sulit dilakukan.

Tuhan akan membimbing seseorang yang berada pada jalan tarekat melalui para guru sufi agar seorang salik agar hatinya senantiasa berada pada jalan cinta. Selain dzikir, dan shalat, ibadah yang sering disebut para pengikut sufi terdahulu adalah beramal dengan harta benda.

Ketertautan seorang dengan harta akan menjadi penghalang seorang sufi untuk mencapai pada hakikat Tuhan. Karena itulah, seorang sufi bukan hanya sering identik dengan laku hidup sederhana, tapi memang ia hanya mengambil dari hidup itu yang ia butuhkan, selebihnya ia akan memenuhi dengan Tuhan.

Sebagai sebuah metode, atau cara untuk menempuh jalan tasawuf ia bukanlah kebenaran tunggal. Karena begitu banyak sufi agung yang telah merintis jalan tarekat ini. Meski kita tahu ada yang lebih dapat kita ikuti lebih terang yakni sufi yang teragung tak lain adalah Muhammad, Saw.

Baca juga:  Ketika Abu Yazid Al-Bustomi Sibuk Beribadah

Thariqah dan syariah bukanlah hal yang terpisah dalam ilmu tasawuf. Imam Malik mengatakan “ Yang mempelajari tariqah dan menolak syariah menjadi orang yang munkar; dan yang mempelajari keduanya akan mendapat kesadaran akan kebenaran.” (Nasr, Sayyed Hossein, 2015:104).

Sumber tariqah yang dipraktekkan oleh para guru sufi itu tidak lain adalah qur’an dan hadist. Sayyed Hossein Nasr menyebut bahwa ada tiga unsur penting thariqah yaitu : doktrin, kebajikan batin, dan spiritual yang berasal dari nabi.

Orang yang telah menapaki tangga thariqah/tarekat, akan merasakan pancaran cahaya Tuhan. Ini seperti hadist nabi “Kapanpun  Allah menghendaki untuk membimbing seorang manusia, Ia meluaskan dadanya untuk berserah diri pada Allah”, Nabi menjelaskan “Itu adalah cahaya yang dilontarkan Allah ke dalam hati.” Ketika ditanya apa tandanya? “Keluar dari rumah tipu daya dan kembali ke rumah Keabadian.”  Seperti itulah kiranya orang yang telah melakoni thariqah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top