Sedang Membaca
Tradisi Spiritualitas dalam Islam
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa Pasca Sarjana UIN SUNAN KALIJAGA.

Tradisi Spiritualitas dalam Islam

Menarik memang, kalau berbicara tentang tradisi spiritualitas yang diasumsikan akan tergerus oleh zaman. Namun, Ali Allawi menyanggah pandangan yang meminggirkan peran sentral tradisi spiritualitas dalam karakterisasi peradaban Islam pada masa keemasannya (abad ke-8 sampai 14 M). Ali Allawi menemukan bahwa aspek moralitas dan spiritualitas merupakan poros utama kebangkitan peradaban Islam dan syarat kemungkinan umat Islam kembali menentukan sejarah dunia. Ali Allawi mengkritik tajam Wahhabi/Salafi yang telah berdampak sangat buruk dalam dunia Islam Sunni karena menyempitkan kepekaan agama dan memadamkan spiritual Islam.

Karya risetnya berjudul The Crisis of Islamic Civilization, 2009, Ali Allawi mengatakan bahwa kegagalan dipahami oleh revivalis dan reformis termasuk juga modernis, liberalis, fundamentalis dan Islam politik, yang mana dimensi spiritual Islam mengilhami peradaban tersebut secara menyeluruh. Oleh sebab itu, hampir pasti bahwa revitalisasi Islam harus dimulai dari titik awal berupa koneksi umat Muslim dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjadi inti ajaran Islam (Heriyanto, 2018, p. 147).

Pernyataan Ali Allawi di atas merupakan anti-tesis dan salah satu aspek penting peran tradisi spiritualitas dalam merawat karakter inti masyarakat dan peradaban Islam, yang selama ini telah dilupakan atau gagal dipahami oleh banyak pemikir/sarjana baik dari dunia Barat maupun kalangan Islam sendiri. Banyak aspek penting lain dari spiritualitas Islam yang perannya dibutuhkan oleh kaum Muslim dan umat manusia kontemporer pada umumnya.

Baca juga:  Gus Ulil: Cara Melihat Nabi di Zaman Akhir

Seyyed Hossein Nasr, salah seorang pionir yang menghidupkan tradisi dan warisan spiritual Islam dan gigih memperkenalkannya kepada dunia modern, menulis banyak buku tentang tasawuf dan relevansinya untuk merespons krisis spiritualitas dan eksistensial manusia modern. Salah satu karyanya, Man and the Plight of Modern Man (2001), Nasr menuliskan bahwa manusia modern telah membakar tangannya dalam api yang dia nyalakan sendiri ketika dia melupakan siapa dirinya. Nasr juga menulis sejumlah karya yang mengaitkan kerusakan lingkungan alam dan krisis ekologis dengan pandangan mainstream modernisme yang telah kehilangan visi dan imajinasi spiritualitas dalam memahami dan memperlakukan alam semesta (Heriyanto, 2018, p. 148).

Berdasarkan pandangan al-Ghazâlî, aspek pendidikan spiritual diwakili oleh term al-ruh (ruh), al-qalb (hati), al-nafs (jiwa), dan al-‘aql (akal) yang semuanya merupakan sinonim. Kata al-‘aql termasuk ke dalam makna spirit, yang merupakan padanan kata dari istilah al-nafs yang kebanyakan didefinisikan oleh para filsuf.

Demikian pula rumusan Said Hawwa. Menurutnya, pendidikan spiritual dalam Islam ditopang oleh empat hal; yaitu al-qalb (hati), al-ruh (ruh), al-nafs (jiwa), dan al-‘aql (akal). Keempatnya adalah istilah-istilah yang seringkali dipertukarkan karena esensinya adalah sama. Kalbu (al-qalb) adalah sepotong daging bagian dalam yang tidak bisa diukur dan dinilai karena merupakan wilayah alam malakut yang tidak bisa dideteksi oleh mata telanjang. Pengertian kedua (kalbu), adalah suatu rahasia yang halus (al-lathifah) yang bersifat al-rabbaniyah dan al-ruhaniyah yang memilki keterkaitan kalbu yang bersifat jasmani (Sagala, 2018, p. 21).

Baca juga:  Ngaji Hikam: Manusia Tak Hidup Hanya dari Sepotong Roti

Pendidikan spiritualitas dalam tradisi keagamaan perlu diperkenalkan dan disosialisasikan kepada pengambil kebijakan pendidikan dengan beberapa tujuan antara lain: Pertama, untuk menyelamatkan kemanusiaan dari kebingungan dan kegelisahan yang mereka rasakan sebagai akibat dari hilanganya nilai-nlai spiritual. Kedua, untuk memperkenalkan literatur atau ajaran esoteris Islam, baik terhadap masyarakat Islam sendiri yang mulai melupakannya maupun terhadap masyarakat non-muslim. Ketiga, untuk menegaskan kembali bahwa aspek essoteris Islam (tasawuf) adalah jantung ajaran Islam.

Tarekat atau jalan rohani yang dikenal dalam tasawuf merupakan dimensi kedalaman dan kerahasiaan (esoteris) dalam Islam sebagaimana syari’at bersumber dari al-Quran dan Sunnah. Tradisi spiritualitas dalam keagamaan menjadi jiwa risalah Islam, laksana hati dalam tubuh, yang tersembunyi dari pandangan luar (Sagala, 2018, pp. 132-133).

Tetapi, terdapat pakar yang berusaha memisahkan spiritual dengan agama, seperti pendapat yang diwakili oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene dalam buku Megatrends 2000. Buku ini kedua tokoh psikologi tersebut menegaskan semboyan yang terkenal: Spirituality, Yes; Organized Religion, No.

Walau banyak yang menolak semboyan yang bernada sekuler tersebut, namun harus diakui bahwa ia mampu menandai besarnya perhatian manusia modern terhadap spiritualitas, terutama di Barat, kendati spiritualitas yang dianut masyarakat Barat tidak selalu terpaut dengan agama formal. Inilah yang melandasi lahirnya istilah spiritualitas tanpa agama yang cukup semarak beberapa waktu lalu (Sagala, 2018, p. 29).

Baca juga:  Imam al-Qusyairi, Sufi yang Prihatin atas Penyimpangan Tasawuf

Semangat dari semboyan Naisbitt-Aburdene itu sesungguhnya telah lama dikenal di kalangan masyarakat tertentu, baik di Barat maupun Timur. Mereka menginsafi bahaya dari hidup yang terlampau mengedepankan nalar dan rasio tanpa diimbangi aspek spiritual, sehingga mereka mengusulkan perlunya menghidupkan kembali dimensi spiritual dalam hidup manusia, jika manusia tidak akan mengalami kegersangan dan kehampaan jiwa terus-menerus.

Gerakan spiritualitas modern memang sangat kritis terhadap agama-agama mapan, bahkan ada yang berusaha menolak agama formal sama sekali dengan hanya mengamalkan dan menghayati nilai-nilai spiritual, bisa dengan dalih meditasi, yoga, semadi, atau renungan lewat zikir dan doa. Seyyed Hosein Nasr dengan keras mengkritik semboyan Naisbitt-Aburdene tersebut dengan merumuskan semboyan baru: Organized Religion Yes, Spirituality No. Semboyan ini sangat bertolak belakang dengan jargon Naisbitt-Aburdene tersebut. Dalam kenyataannnya, Nasr memang lebih dikenal sebagai pemikir muslim yang terdepan dalam menyebarkan paham spiritualitas Islam di dunia Islam maupun di Barat (Sagala, 2018, pp. 30-31).

Dengan demikian, eksistensi tradisi spiritualitas dalam lintas agama terutama Islam tidak pernah menjadi skeptisisme. Islam dengan tradisi spiritualitas menjadi bagian penting dalam mengarungi ‘gelombang’ kehidupan era modernisasi yang penuh dengan problematika hingga merusak mental dan kejiwaan manusia. Upaya mereduksi eksistensi tradisi spiritualitas tidak bisa terjadi, bahkan optimisme perkembangan menjadi kebangkitan tradisi spiritualitas akan terus terjadi dalam lingkungan masyarakat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top