Sedang Membaca
Kiai Ageng Imam Puro dan Syiar Islam di Desa Sukosari Ponorogo
Akmal Khafifudin
Penulis Kolom

Menempuh pendidikan di UIN KH. Achmad Shiddiq Jember prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah. Kini ia mengajar di Ponpes Darul Amien Gambiran, Banyuwangi. Penulis bisa disapa di akun Instagram @akmalkh_313

Kiai Ageng Imam Puro dan Syiar Islam di Desa Sukosari Ponorogo

Kiai Ageng Imam Puro dan Syiar Islam di Desa Sukosari Ponorogo

Proses islamisasi di Ponorogo memasuki babak kesuksesan semenjak Bathoro Katong diutus oleh saudaranya, Raden Fatah (pendiri Kasultanan Demak Bintoro) guna membantu dakwah Kiai Ageng Mirah atau Kiai Siddiq Muslim yang mana beliau sudah mendiami terlebih dahulu tlatah yang dikuasai oleh kerajaan Wengker atau sebelum kadipaten Ponorogo berdiri.

Selain itu Bathoro Katong yang memiliki nama asli Lembu Kanigoro datang ke tlatah Wengker guna memadamkan api pemberontakan yang dilakukan oleh Ki Ageng Kutu Suryo Alam.[1]

Strategi dakwah yang dilakukan oleh para penyebar agama Islam di Ponorogo dilakukan dengan pendekatan di bidang kesenian, sosial – kemasyarakatan, pertanian dan perdagangan. Begitupun dengan desa Sukosari, yang masuk kecamatan Babadan, Ponorogo.

Sebelum kedatangan Bathoro Katong, terdapat penyebar Islam di daerah ini yang bernama Syekh Mohammed Al Farisi atau Kiai Mojo Lintang, murid dari Syekh Subakir. Namun karena masih kuatnya pengaruh Hindu – Budha menyebabkan dakwah beliau di daerah ini belum dikatakan sukses.[2] Memasuki abad XVII tepatnya pada tahun 1760, salah satu murid Kiai Mohammad Besari yang bernama Kiai Ageng Imam Puro mulai melaksanakan misinya guna menyebarkan agama Islam di desa ini.

Setelah sukses menyelamatkan Kasunanan Surakarta yang kala itu dipimpin oleh Pakubuwono II bersama Hasan Besari (cucu Kiai Ageng Mohammad Besari) dan Bagus Harun Basyariah dari pemberontakan yang dikenal dengan “Geger Pecinan”. Kiai Imam Puro pun mensyiarkan agama Islam di desa Sukosari dengan nama samaran “Suryopati”, sebuah nama pemberian dari Kasunanan Surakarta sebagaimana yang dituturkan oleh Imam Fatokhah.[3]

Baca juga:  Peradaban Islam, dari Tengah ke Pinggir

Adapun strategi yang dilakukan Kiai Imam Puro yakni dengan melakukan pendekatan dengan para petani sekitar yang sedang bercocok tanam, selain itu beliau bersama beberapa santrinya kerap melakukan transaksi jual beli di Pasar Demung. Selama melakukan transaksi jual beli dengan masyarakat sekitar, beliau kerap kali menyisipkan ajakan dakwah kepada masyarakat yang beliau jumpai di Pasar Demung.

Di bidang kebudayaan dapat dilihat bahwa dahulu di sekitar makam dan masjid Kiai Ageng Imam Puro ditemukan arca peninggalan Hindu – Buddha, hal ini menunjukkan bahwa beliau menghargai keyakinan masyarakat setempat yang belum menerima ajakannya untuk masuk ke agama Islam. Di bidang pendidikan, beliau dahulu sukses mendirikan masjid dan pesantren dengan jumlah santri ribuan yang berasal dari berbagai pelosok daerah.

Murid dari Kiai Mohammad Besari yang masih memiliki trah dengan Kesultanan Banten ini kemudian menghembuskan nafas terakhir pada tanggal tanggal 12 Rabiul Awwal 1223 berdasarkan penanggalan Hijriah, atau 12 Mulud berdasarkan penanggalan Saka, atau 08 Mei 1808 berdasarkan penanggalan Masehi.

Kiai Ageng Imam Puro meninggalkan dua orang istri yang mana istri pertamanya masih belum diketahui riwayatnya dan istri kedua beliau yang bernama Galuh Purbasari atau Nyai Jamilatin, seorang puteri dari Kasunanan Surakarta. Beliau meninggalkan dua keturunan, yakni Kiai Ageng Imam Puro II (penerus pesantren Sukosari) dan Kiai Ageng Imam Besari yang berdakwah dan bermukim di daerah Danyang.

Baca juga:  Mengenal Gaya Ageng Tirtayasa, Sultan Banten yang Saleh Itu

Selain meninggalkan pesantren, sebenarnya Kiai Ageng Imam Puro memiliki banyak karya tulis yang berada di masjidnya. Berhubung dahulu tidak ada pihak yang merawatnya, banyak dari manuskrip – manuskrip kuno peninggalan beliau yang raib dicuri orang. Akhirnya hanya ada dua manuskrip tulisan beliau yang dapat terselamatkan.

Pertama adalah Kitab Muharrar, kitab milik santri kinasih beliau yang bernama Sumodipuro ini kini disimpan oleh KH. Moch. Maksum, seorang tokoh sesepuh masjid Imam Puro dan dzurriyah dari Kiai Ageng Imam Puro. Kedua, Kitab Japa Mantra yang disimpan oleh Bapak Sumarwan. Sebuah kitab yang berisi do’a penyembuhan dan do’a untuk menangkan bayi yang rewel. Sayangnya beberapa bagian kitab ini digunting oleh orang yang tidak bertanggung jawab ketika kitab tersebut dipinjamkan oleh Bapak Sumarwan. Kini kitab Japa Mantra tersebut hanya boleh diakses di kediaman beliau dan tidak diperbolehkan dibawa pulang. Wallahu ‘Alam Bisshowab.

[1] Krisdianto dkk, Jejak Sejarah NU Ponorogo, LTNU Ponorogo, 2021, hal. 54 – 55.

[2] Wawancara dengan Emka Nujhan Farhani (Aktivis PCNU Ponorogo dan cucu KH. Imam Sayuthi Farid), Maret – 2022.

[3] Muhammad Ansori dkk, Kiai Ageng Imam Puro : Babad Islam di Desa Sukosari, Bantul : Terakata, 2021, hal. 6

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top