Sedang Membaca
Sentimentalitas Ramadan dan Penundaan Konferensi Islam Asia Afrika
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Sentimentalitas Ramadan dan Penundaan Konferensi Islam Asia Afrika

Konferensi Islam Asia-Afrika (KIAA) di Bandung pada 1965. (Foto: dok. Arsip Nasional Republik Indonesia)

Salah satu peristiwa penting dalam sejarah Indonesia namun jarang dibicarakan adalah Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA). Konferensi yang berhasil mempertemukan berbagai delegasi dari puluhan negara di Asia dan Afrika untuk membahas masalah dunia dengan platform semangat solidaritas Islam.

Sejarah mencatat bahwa KIAA terselenggara pada 6 sampai 14 Maret 1965, dibuka dengan meriah di Gedung Merdeka Bandung dan ditutup di Stadion Utama Gelora Bung Karno Jakarta. Di balik cerita KIAA, ada dua keputusan penundaan dari penyelenggaraan konferensi ini.

Penundaan pertama memundurkan jadwal konferensi yang pada mulanya sudah dijadwalkan terselenggara mulai 17 Desember 1964, sesuai dengan keputusan Konferensi Pendahuluan yang dihelat pada bulan Juni 1964. Tanggal 20 Februari 1965 dipilih sebagai tanggal pengganti untuk penyelenggaraan konferensi.

Hal yang menarik dari penundaan konferensi ini adalah alasan yang disampaikan dari pihak panitia. Dalam surat edaran Panitia Konferensi Asia Afrika (KIAA) bertanggal 17 Oktober 1964, disampaikan bahwa terdapat dua alasan yang membuat jadwal konferensi perlu diubah. Alasan pertama terkait dengan kondusivitas situasi dalam negeri yang akan sangat sibuk di bulan Desember tahun itu. Saran itu disampaikan oleh Presiden Sukarno, yang menganggap bulan Desember bukanlah waktu yang tepat. Lagi pula, dengan padatnya aktivitas politik di akhir tahun, gedung MPRS di Bandung yang saat ini bernama Gedung Merdeka itu akan terpakai dan membuatnya tidak bisa menjadi tempat konferensi.

Baca juga:  Hikayat Pulau Penyengat sebagai Warisan Indonesia sekaligus Warisan Dunia

Tapi, alasan kedualah yang nampaknya lebih menarik perhatian. Panitia menyatakan bahwa tanggal 17 Desember 1964 yang bertepatan dengan 13 Sya’ban 1384 H itu bukanlah waktu yang tepat karena sudah mendekati bulan Ramadan. Secara lengkap panitia KIAA menulis poin faktor Ramadan sebagai berikut:

Tanggal 17 Desember 1964 yakni 13 Sya’ban 1384 H jatuh pada hari di mana telah dekat sekali dengan permulaan bulan Puasa Ramadan, di mana kebanyakan umat Islam akan lebih berkeinginan untuk tinggal bersama-sama keluarganya dari pada berada di tempat lain. Menyelenggarakan Main Conference pada waktu tersebut akan tidak bijaksana sekali mengingat bahwa para peserta belum tentu akan sempat datang di rumahnya masing-masing untuk permulaan puasa disebabkan oleh kesulitan-kesulitan transport yang mungkin dihadapi.”

Alasan di atas terkesan sentimental, karena mengutamakan perasaan rindu berkumpul dengan keluarga. Ramadan dalam konteks masyarakat Indonesia memang banyak menyediakan momen kultural khusus yang hanya ada pada bulan ini saja. Menjadikannya sebagai ruang waktu yang spesial dalam ingatan serta perasaan banyak orang.

Mungkin boleh dikatakan bahwa Ramadan adalah puisi yang keindahannya selalu dinanti, dan setiap orang menikmati puisi dengan cara yang naif atau sentimental. Sebagaimana Friedrich Schiller yang menulis sebuah esai tentang penyair naif dan sentimental, setiap orang selalu bisa menyikapi Ramadan dengan cara berbeda sambil merasakan kehangatan yang sama.

Baca juga:  Hari Pramuka: Kepanduan Muslim dan Kontribusinya bagi Perjuangan Bangsa

Orhan Pamuk dalam The Naïve and Sentimental Novelist mencoba menjelaskan bahwa pembagian sikap yang dilakukan oleh Schiller bukan hanya berlaku dalam soal puisi, tapi dalam banyak hal yang terjadi di kehidupan manusia. Setiap orang dapat bersikap naif dengan merasa tenang, percaya diri pada ekspresi emosi, dan tanpa kekhawatiran berlebihan tentang konsekuensi apa yang akan terjadi. Sikap yang bebas dan indah yang biasa ada pada anak kecil.

Menjadi naif saat menjalani bulan Ramadan adalah bersikap polos menikmati segala yang ada pada bulan ini, segala kemeriahannya tanpa memedulikan secara berlebihan kompleksitas seperti naiknya harga-harga yang biasa terjadi bulan ini. Kenangan ini, manis atau getirnya membekas dalam cara pandang sebagai seorang anak kecil dalam ingatan banyak orang.

Setelah usia menjadi dewasa dan  tidak bisa lagi menjadi naif dalam melaluinya, memori yang terbangun di atas jarak waktu menjadikan Ramadan bukan hanya sebatas masa pelaksanaan ritual ibadah, namun juga perjalanan menyusuri kenangan. Didukung dengan kekayaan kultural pada masyarakat negeri ini, Ramadan menjadi momentum sakral bukan hanya dari segi agama, Ramadan juga menjadi waktu sakral dari segi aspek sosial, terutama dalam konteks hubungan keluarga.

Mahbub Djunaidi dalam sebuah esainya di majalah Tempo edisi 26 Mei 1979 dengan jenaka menjelaskan bagaimana bulan Ramadan memiliki makna kultural penting bagi muslim Indonesia sehingga membuat pemerintah kolonial Belanda dan Dai Nippon tidak berani mengusik tradisi anak-anak di bulan ini dengan memaksa mereka masuk sekolah. Dalam esai berjudul “Bulan Puasa Anak-Anak Sekolah” itu, Mahbub menjelaskan bahwa percobaan untuk mengusik kebiasaan masyarakat saat bulan Ramadan akan menimbulkan gelombang protes yang kuat.

Baca juga:  Ibnu Khordadbeh, Ahli Geografi Arab Pertama

Dengan menimbang nilai sakral Ramadan yang mengakar dalam kesadaran sosial dan kultural masyarakat Indonesia, maka keputusan untuk menunda sebuah konferensi internasional dengan alasan bulan Ramadan menjadi bisa dipahami. Urusan diplomasi internasional yang bersifat profan, tidak diperkenankan untuk mengusik tradisi keagamaan masyarakat.

Namun, setelah mengalami penundaan karena alasan bulan Ramadan, ternyata KIAA mesti mengalami penundaan untuk kedua kalinya. Pada tanggal 9 Februari 1965, Presiden Sukarno melakukan sebuah konferensi pers terkait KIAA yang sudah dijadwalkan 20 Februari. Kepada wartawan, ia mengatakan bahwa konferensi akan kembali diundur ke awal bulan Maret dengan alasan agar persiapan dan kemeriahan konferensi dapat lebih disempurnakan.

Sejarah KIAA akhirnya tercatat diselenggarakan pada Maret 1965. Tapi cerita di balik penundaan konferensi tersebut sepertinya sayang untuk dilupakan begitu saja. Keputusan panitia untuk menunda sebuah konferensi internasional demi kebutuhan sosial para peserta konferensi agar bisa berkumpul dengan keluarga dapat dibaca sebagai sebuah fenomena yang menggambarkan bagaimana masyarakat muslim Indonesia memandang penting tradisi dan mempertahankan sentimentalitas bulan Ramadan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top