Sedang Membaca
Tiga Kekhilafan Soekarno (?)
Zaimul Asroor
Penulis Kolom

Pencinta literasi Islam dan santri di Pascasarjana UIN Jakarta.

Tiga Kekhilafan Soekarno (?)

Yang penulis maksud dengan makna ‘khilaf’ tidak lain ialah kekurangan, kesalahan, dan kelemahan sosok Soekarno. Tulisan ini juga tidak bermaksud menegasikan perjuangan Soekarno sebagai salah satu orang yang paling berjasa dalam memerdekakan Indonesia.

Sebaliknya, sebagai manusia biasa Soekarno juga pernah khilaf dalam posisinya sebagai kepala negara maupun sebagai kepala rumah tangga. Oleh karena itu, Istilah al-Insan mahallul khoto’ wa al-Nisyan juga sah saja bila diselipkan kepada Soekarno. Alasannya satu, karena ia juga manusia.

Sikap kritis terhadap kekurangan maupun kesalahan masa lalu merupakan bagian dari penghargaan kita terhadap sejarah. Hal ini pun didengungkan Soekarno sendiri dalam ungkapannya yang terkenal, “Jas Merah” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Inilah yang kiranya patut untuk dijadikan sebagai perspektif lain ketika melihat sebuah sosok yang—bagi saya dan kebanyakan orang—dianggap sosok “idaman” seperti Soekarno. Lumrahnya manusia kadang terlalu di saat mengidolakan seorang tokoh, kita lupa untuk mengkritisi kekhilafannya. Sebaliknya, kita membenci tokoh tertentu seolah ia tidak memiliki kebaikan sama sekali.

Apa saja kekhilafan Soekarno? Setidaknya menurut saya. Pertama, Soekarno juga otoriter—untuk tidak mengatakan diktator.

Soekarno sendiri memimpin Indonesia mulai tanggal 18 Agustus sampai 12 Maret 1967. Cukup lama bukan? Dari fenomena yang serupa seperti ini kemudian muncul pendapat yang menyatakan bahwa kekuasaan itu enak. Karenanya, banyak yang tidak mau turun dari kekuasaan. Akibatnya, idealisme-idealisme yang diperjuangkan di masa lalu pada akhirnya terkubur dalam karena nikmatnya kekuasaan.

Baca juga:  Membangun Relasi Sehat, Cara Mendidik Anak Berakhlak Mulia

Kediktatoran Soekarno terlihat jelas ketika ia mulai menggunakan sistem pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Demokrasi Terpimpin ini sangat rentan akan penyalah gunaan kekuasaan, karena kekuasaan tertinggi hanya berada di tangan Soekarno. Hatta sendiri sebagai wakil setia Soekarno, pada tahun 1956 akhirnya memilih angkat kaki dari istana dan menjadi orang biasa.

Ketidak sepahaman dengan rencana Soekarno untuk menerapkan sistem Demokrasi Terpimpinnya menjadi penyebab utamanya. Akhirnya pada 1959 Soekarno benar-benar mengganti sistem Demokrasi Liberal dengan Demokrasi Terpimpin.

Lalu, apa yang dimaksud dengan Demokrasi Terpimpin itu? Secara sederhana kita dapat memahaminya sebagai upaya seorang presiden untuk menjadi “penguasa tunggal”. Jadi misalnya dalam pemilihan anggota DPR, semuanya dipilih oleh keinginan Soekarno dan tidak lagi melalui pemilu seperti sebelumnya. Inilah yang kemudian menurut berbagai pengamat politik sebagai benih kediktatoran Soekarno. Hal ini pula yang menyebabkan “kemesraan” (dalam hal kenegaraan) Hatta dan Soekarno akhirnya kandas.

Dari sistem Demokrasi Terpimpin di atas kita juga mengenal usaha Soekarno untuk menyatukan kelompok Agama (Islam), Nasionalis dan Komunis (NASAKOM). Banyak yang mengkritik langkah Soekarno ini, karena ia dianggap telah mencoba untuk menyatukan kelompok yang tidak akan bisa menyatu, terutama antara Komunis dan Islam. Salah satu yang berpendapat demikitan adalah Bahtiar Efendi (Professor Politik Islam UIN Syarif) dalam salah satu mata kuliahnya.

Kedua, kepemimpinan Soekarno hanya cocok dan pas untuk menggelorakan dan mempengaruhi rakyat Indonesia—sebagaimana di masa-masa penjajahan. Dia adalah sosok solidarity maker atau orang yang sangat pintar dalam mengumpulkan solidaritas rakyat Indonesia yang waktu itu masih dijajah.

Sedangkan setelah Soekarno menjabat sebagai presiden—masih menurut Bahtiar Efendi—seharusnya ia meninggalkan ciri khasnya sebagai solidarity maker untuk lebih menjadi negarawan sejati yang mendahulukan kebutuhan dan kepentingan rakyat.

Baca juga:  Soekarno, Peci Hitam, dan Sunan Giri

Namun sayang, ciri-ciri yang diharapkan tidak muncul ke permukaan. Akhirnya, Soekarno dalam kepemimpinannya pun telah gagal menstabilkan ekonomi, hal ini dibuktikan dengan adanya hiper inflasi yang mencapai angka 500%. Begitu juga dalam hal pembangunan, masih banyak sekali daerah-daerah kecil yang tidak tersentuh oleh kebijakannya.

Ketiga, Soekarno adalah sosok yang woman sentris atau ketertarikannya pada perempuan sangatlah besar. Hal inilah yang kemudian menjadi kelebihan sekaligus kelemahan Soekarno. Soekarno dan perempuan memang tidak pernah bisa dipisahkan, apalagi ia termasuk laki-laki yang tampan, pandai merayu dan memiliki kharisma tinggi sebagai proklamator negeri.

Tercatat, Sembilan perempuan cantik pernah takluk dalam rayuan Soekarno. Mulai dari istri pertamanya; Siti Utari (anak Cokroaminoto) yang ia nikahi di masa sebelum kemerdekaan, sampai dengan Heldy yang ia nikahi di akhir masa kepemimpinannya.

Dari jumlah kesembilan istri Soekarno di atas sekilas bisa membuktikan betapa Soekarno adalah sosok yang gagal dalam membina keharmonisan rumah tangga. Logikanya, kalau ia berhasil menjadi kepala rumah tangga, tidak mungkin ia berulang kali kawin dan berulang kali pula ia cerai. Dari sisi ini kita bisa melihat, Soekarno telah “ketagihan” untuk menikahi perempuan. Semua tidak lain karena ia memiliki kesempatan dan kekuasaan. Perempuan mana yang tidak mau dinikahi oleh seorang Soekarno?

Baca juga:  Al Makin dan “Research University”

Namun dari perspektif lain, kita tentu harus melihat bagaimana gejolak yang ada dalam bingkai rumah tangga Soekarno. Sebagai contoh kecil, dari sembilan istri Soekarno, enam di antaranya berakhir dalam perceraian. Dari beberapa alasan istri yang mencerainya dikarenakan tidak mau dimadu. Tapi Soeakarno tetaplah Soekarno, pencinta perempuan sejati. Sikap Soekarno ini tentu sudah sangat tidak relevan bila ditiru oleh masyarakat Indonesia, terlebih presiden kita.

Kembali ke pernyataan saya di awal tulisan, apa yang menurut saya sebagai bentuk kekhilafan Soekarno belum tentu sesuai dengan pandangan para pembaca. Yang terpenting saya menyajikan data disertai argumen dan bukti yang ada. Selebihnya diserahkan kepada kita semua.

Terlepas dari itu semua, sebagai bangsa yang cerdas kita harus mempu belajar dari kekhilafan para pendahulu kita, dalam hal ini Presiden Soekarno. Setelah belajar dari kesalahan kita selanjutnya dituntut untuk menghadirkan sesuatu yang baik atau bahkan lebih baik dari yang sebelumnya. Bukan sebaliknya, kita mengkritik tapi kesalahan yang pernah ada tetapi kita malah melakukan kesalahan yang lebih besar.

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
4
Terkejut
6
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top