Sedang Membaca
Sejarah Ulama dalam Dunia Politik
Kholili Kholil
Penulis Kolom

Alumni Pesantren Lirboyo-Kediri. Saat ini mengajar di Pesantren Cangaan Pasuruan, Jawa Timur.

Sejarah Ulama dalam Dunia Politik

Kecuali Umar II, secara praktis hampir tidak ada ulama yang diakui keilmuannya yang terjun ke dalam politik secara struktural setelah al-Khulafaur Rasyidun (empat sahabat pengganti Nabi Muhammad). Al-Jabiri dalam al-‘Aqlus Siyasi al-‘Arabi menyebutkan bahwa di masa empat khalifah klasifikasi masyarakat terbagi menjadi dua: ulama dan umara sebagai satu kelompok dan rakyat serta tentara sebagai kelompok yang lain.

Maka di masa ini antara ulama dan pejabat pemerintah sangat erat kaitannya. Hampir tidak ditemui seorang pejabat kecuali ia juga ahli dalam bidang agama.

Namun setelah masa empat khalifah, klasifikasi masyarakat mulai berubah. Al-Jabiri menyebutkan bahwa di masa ini masyarakat kembali terbagi menjadi dua, tapi dalam bentuk yang berbeda: al-mujtama’ al-siyasi (komunitas politik) yang terdiri dari pejabat dan tentara serta al-quwa al-mu’aridhah (oposisi) yang terdiri dari rakyat dan ulama.

Periode yang bermula di masa Dinasti Umayah tersebut menciptakan sedikit kecanggungan relasi antara ulama dan umara yang dimasa empat khalifah pengganti Nabi Muhammad saw pernah harmonis.

Beberapa hadis tentang larangan mendekati pejabat, menerima pemberian mereka, dan sekaligus juga larangan untuk memberontak kepada mereka menciptakan hubungan yang membuat satu kaki melangkah maju dan kaki lain melangkah mundur. Relasi dilematis mewarnai kontak keduanya.

Namun, Umar II putra Abdul Aziz dari klan Umayah telah lama menjadi prototype bagi harmonisasi hubungan kedua kelompok masyarakat ini. Dia adalah raja bijaksana yang mampu mengawinkan kelihaian politik dan intelektualitas agama. Opininya (Qaul) yang bertebaran di kitab fikih antar-mazhab serta predikatnya sebagai seorang mujtahid mutlak (sebuah predikat puncak ahli fikih, lihat misalnya di al-Dzahabi, Al-Siyar 5/122) rasanya cukup untuk menyebut kapasitasnya sebagai ulama.

Baca juga:  Katanya Gus Dur Wali? Kok Kalah dalam Pertarungan Terbesarnya?

Kelihaiannya dalam masalah politik mencapai puncaknya ketika Sulaiman menunjuk ia sebagai pengganti khalifah. Ia membuat beberapa perubahan penting dalam tubuh pemerintah. Salah satunya adalah digantinya cacian atas Sayidina Ali bin Abi Thalib dalam khaotbah Jumat dan pemantapan administrasi jizyah (pajak), yang seringkali dikritik oleh sejarawan Barat.

Sebelumnya Dinasti Umayah selalu mengisi khotbahnya dengan cacian kepada Sayidina Ali dan mewajibkan hal itu di segala penjuru masjid.

Namun setelah Umar II datang, kebijakan itu berhasil dihapus dan diganti dengan pembacaan ayat tentang keadilan yakni Surat al-Nahl ayat 90 (Ibnu al-Atsir, Al-Kamil 4/314-315). Hal ini terus berlangsung hingga sekarang.

Setelah beliau meninggal, praktis tidak ada lagi seorang yang masyhur sebagai ulama menduduki jabatan politik secara struktural. Hal ini, seperti sudah dijelaskan oleh al-Jabiri di atas, karena ulama dan umara sudah tidak menempati satu barisan yang sama. Bahkan berhadap-hadapan.

Namun ulama tetap mendapatkan peran politis, sebagai “kadi”, orang dekat raja, atau sebagai oposisi. Dengan peran ini ulama bisa memilki pengaruh lebih luas karena ia bisa bebas bergerak tanpa perlu takut menjadi sasaran demonstrasi masa.

Meskipun demikian, beberapa ulama tercatat pernah menduduki jabatan sebagai wazir, seperti Yahya bin
Aktham—namun beliau juga qadhi al-qudhat. Jabatan kadi, tidak seperti penasihat raja atau oposisi, adalah jabatan yang selalu diisi oleh para ulama.

Dr. Ishom Muhammad dalam Qadhil Qudhat fil Islam menyebutkan bahwa struktur tertinggi jabatan qadhi adalah qadhi al-qudhat (secara harfiah berarti hakimnya para hakim), diciptakan pertama kali oleh Harun al-Rasyid dan diserahkan kepada Abu Yusuf, seorang santri Abu Hanifah. Sebelum masa al-Manshur, jabatan ini adalah jabatan yang statusnya belum begitu jelas. Ia bukan bagian pemerintahan namun juga bersinggungan erat dengan pemerintahan. Di masa-masa ini, jabatan kadi diperjelas dengan diberi predikat baru: sulthah qadha’iyah (kekuasaan yudikatif) yang terpisah dari sulthoh tanfidziyyah (kekuasaan eksekutif).

Baca juga:  Wabah Pes Terjadi Saat Perang Salib: Tuhan pun Disalahkan

Marshall Hodgson dalam The Venture of Islam menyebutkan bahwa pemberian jabatan kadi ini adalah upaya meredam oposisi ortodoks (Piety-minded) agar tidak melakukan perlawanan.

Pendekatan semacam ini secara natural akan meredam rakyat yang secara klasifikasi mereka beridiri dalam satu barisan dengan ulama. Qadi al-qudhat ini juga sangat berpengaruh kepada orientasi mazhab kerajaan.

Abu Yusuf adalah orang pertama yang meminang jabatan ini. Beliau adalah pemuda miskin yang pergi ke Baghdad (pusat keilmuan saat itu) setelah gurunya, Imam Abu Hanifah, meninggal.

Perjumpaannya dengan Raja Harun bermula ketika Harun menyaksikan putranya berzina, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Tanukhi dalam Nisywarul Muhadharah. Harun yang bijaksana itu khawatir putranya harus dihukum hadd (hukuman sesuai syariat) dan meminta punggawa kerajaan agar didatangkan seorang faqih. Dipanggillah Abu Yusuf untuk menghadap Harun.

“Apa pendapatmu jika seorang pemimpin melihat putranya berzina? Apakah putranya harus di-
hadd?” Harun bertanya.

“Tidak,” Jawab Abu Yusuf, “Karena pemimpin adalah pelaksana hadd, sedangkan kesaksian pelaksana hadd tidak bisa dijadikan dasar menetapkan hadd. Maka ada syubhat.”

Harun langsung bersujud syukur dengan keputusan itu. Setelah itu Harun semakin akrab dengan Abu Yusuf dan mengangkat beliau sebagai qadhil qudhat.

Meskipun bukan politisi secara langsung, namun pengaruh-pengaruh Abu Yusuf bisa dilihat dalam orientasi kerajaan. Mazhab Hanafi langsung menjadi mazhab resmi negara ketika itu (Dr. Ishom). Begitu juga kebijakan pajak negara didasarkan pada kitab Abu Yusuf yang berjudul al-Kharaj. Padahal di masa kakek Harun (Al-Manshur), mazhab resmi negara nyaris saja dipegang mazhab Maliki karena kedekatan al-Manshur dengan Imam Malik.

Baca juga:  Menggugat Namenklatur Label Syariah

Saat itu Imam Malik dimintai tolong oleh al-Manshur agar membuat kitab panduan fikih hadis yang berada di antara “rigiditas Ibnu Umar” dan “fleksibilitas Ibn Abbas” lalu akan digantung di Kakbah dan seluruh penjuru kota garnisun Islam. Imam Malik mau menulis kitab itu namun beliau enggan jika kitab itu dijadikan pemahaman yang seragam dan menjadi panduan resmi negara. Kontak ulama dan raja, meskipun sudah tidak satu barisan namun masih harmonis di masa-masa ini.

Di masa al-Ma’mun pengaruh politis ulama nampak sangat jelas. Basyar al-Marisi adalah seorang mu’tazilah yang zuhud. Al-Dzahabi bahkan mencatat ia tak mau bergaul dengan istrinya di malam hari karena takut salah bukan istrinya.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa salah satu orang yang paling berjasa membuat al-Ma’mun memaksakan ideologi ‘Alquran makhluk’ adalah Basyar (Ibnu Katsir: 10/275; Ibnu Jauzi: 416). Namun sumber lain juga menyebut nama Qadhi Ibn Abi Du’ad sebagai dalangnya (Dr. Ishom: 239).

Pemaksaan ideologi ini lazim dikenal dengan nama mihnah. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah satu tokoh yang menjadi korban. Pengaruh para ulama di masa ini masih sangat ketara dalam beberapa kebijakan politis.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top