Sedang Membaca
Tak Cukup Pendekatan Politik dan Teologis untuk Atasi Banjir
Hasna Azmi Fadhilah
Penulis Kolom

Peneliti dan pemerhati politik yang tinggal di Jatinangor Sumedang. Bisa dijumpai di akun Twitter @sidhila

Tak Cukup Pendekatan Politik dan Teologis untuk Atasi Banjir

Screenshot 20210221 193051 Instagram

Banjir kembali melanda Jakarta dan kawasan sekitarnya minggu ini. Tapi orang-orang kita tak lagi kaget. Banjir bisa dikatakan semacam “tradisi”.

Bukan hanya Jakarta yang dihampiri, sebagian besar wilayah di Indonesia kini seperti menunggu undian untuk mendapat jatah luapan air bah. Ia datang dan surut tanpa permisi.

Dan, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tenda-tenda pengungsian akan didirikan, kran sumbangan akan dibuka. Semua orang berduka, satu sama lain saling menguatkan. Katanya, kita harus senantiasa bersyukur.

Sepanjang tahun atau sekitar 365 hari tak selamanya banjir. Hanya beberapa minggu saja. Kalau banjir, toh nanti hanya pindah sementara, sembari menunggu kiriman mi instan dan menanti giliran kunjungan pejabat untuk bisa swafoto, siapa tahu masuk TV swasta atau minimal bisa dibagikan di status Facebook dan WhatsApp.

Tak boleh mengeluh, harus lebih banyak mengingat kenikmatan Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh, mudah sekali diucapkan dalam kata-kata bagi orang berpunya.

Di pinggiran Jakarta Timur, seorang ibu bernama Elly bahkan sudah lupa kapan kampungnya pernah aman dari banjir. Bencana itu telah akrab dengan dirinya bertahun-tahun.

Namun di saat yang sama, ia tak memiliki pilihan lain untuk berpindah dan menetap. Sudah berkali-kali ganti pemerintahan dan kepala wilayah pun, tak banyak yang berubah.

Baca juga:  Menelusuri Pola Rekrutmen Teroris Perempuan: Berawal dari Ajakan Hijrah hingga Diminta Pindah ke Suriah

Sebagai orang biasa, yang ia bisa  lakukan tiap kali bencana itu terjadi: hanya mengharapkan bantuan pemerintah. Janji-janji mencegah banjir sudah tak lagi ia ingat-ingat kembali karena nyatanya itu hanya akan menambah sakit hati.

“Ya karena keseringan banjir jadi lupa kapan enggak banjirnya. Tapi yang terparah mah, yang gua rasain dari 2014 sampai sekarang pas tahun 2020 kemarin. Pas banget pergantian tahun bener-bener yang paling parah, sampe seleher orang dewasa.”

Keluhan Bu Elly mungkin terdengar seperti angin sepoi-sepoi yang sekilas lewat bagi para elit di atas sana. Bagaimana tidak, semakin mendekati tahun politik nasional 2024, banjir bukan menjadi permasalahan utama yang perlu segera diatasi, tapi hanya menjadi bulan-bulanan politik yang tak ada habisnya.

Alih-alih segera menekan rem darurat atau memilih solusi jangka panjang, banyak kepala daerah menjadikan banjir sebagai komoditas politik belaka. Kalau tidak menyalahkan oposisi, ya menebar janji-janji.

“Nanti banjir akan lebih mudah diatasi jika saya naik jadi gubernur, esok-esoknya lagi menjanjikan hal yang sama, tapi kali ini kalau saya sudah jadi presiden… di waktu berikutnya… satu periode saja tak cukup mengatasi banjir.”

Begitulah. Wacana dengan nada sama tiap kali bencana. Entah aktor politik atau selebritas agama, sebagian besar justru tidak menyoroti penyebab utamanya. Lagi-lagi yang digunakan pendekatan teologis dan politik semata.

Baca juga:  Di Negeri Koruptor, Nyawa Wartawan dalam Incaran

Tak heran ‘penyebab utama’ banjir tak beranjak jauh-jauh dari terlalu banyak penduduk Indonesia yang mendekati zina dan perbandingan pemerintahan mana yang lebih baik mengatasi banjir. Padahal di lapangan, jumlah korban dan kerugian finansial kelompok bawah terus bertambah tanpa ada jaminan ganti rugi.

Walhasil, wacana penanggulangan banjir mentok di garis finish orasi. Meminjam pernyataan MH Thamrin bertahun-tahun lalu dan masih relevan, “Banjir dibicarakan hanya saat musim hujan tiba, lantas dilupakan saat air surut dan musim hujan berlalu, kemudian dibicarakan lagi saat musim hujan datang dengan terkejut karena banjirnya lebih besar lagi.”

Padahal dengan semakin parahnya efek perubahan iklim dan berkurangnya wilayah serapan air di seantero negeri, risiko banjir akan semakin besar dari hari ke hari. Dengan realita bahwa temperatur bumi semakin panas, bencana banjir diperkirakan akan semakin ekstrem dan intensitasnya lebih sering.

Oleh karenanya, keseriusan pemerintah untuk benar-benar membangun, menyesuaikan, dan melindungi rumah, komunitas, bisnis, serta infrastruktur kita sangatlah diperlukan. Selain juga turut berpartisipasi menurunkan emisi gas rumah kaca dengan negara-negara lainnya, sehingga kenaikan suhu global dapat dikendalikan selama masih memungkinkan.

Kemudian, di tiap wilayah, pemerintah daerah perlu ditekan untuk segera mengambil solusi kebijakan iklim berbasis lingkungan, seperti reboisasi dan restorasi lahan skala besar. Sebab, keduanya dapat mengurangi dampak peristiwa cuaca ekstrim dan menyerap CO2.

Baca juga:  Wisata Kuliner: Mengangkat Keistimewaan Becek

Pertanyaannya sekarang, “Kapan pemerintah mau menjalankannya?”
Apa tak malu, sudah tahun 2021 kok solusinya hanya sebatas rakyat diminta terus bersyukur melalui doa bersama. Juga saling klaim bahwa periode pemerintahannya jauh lebih baik mengatasi banjir dibandingkan sebelumnya.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top