Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

Niat Zakat Fitrah dan Kebudayaan Kita Beragama

1 Kendi

Niat melakukan sesuatu dalam ajaran Islam menempati posisi yang penting ibadah. Hampir semua ibadah, seperti salat, zakat, puasa, haji, menyembelih hewan, ada niatnya. Bukan cuma ada, tapi menjadi bagian dari “rukun”.

Fikih menyebutkan “ruknun min arkani ibadat”, salah satu rukun dari rukun-rukun ibadah. Rukun itu pilar, yang iika tidak tinggalkan, suatu ibadah yang akan tidak sah dengan sendirinya.

إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis di atas sangat populer dan banyak dikaji untuk bab niat. Dan yang penting lagi, hadis itu pula yang menjadi sandaran salah satu pokok kaidah fikih “al-umuru bi maqashidiha,” segala sesuatu karena niatnya. Kaidah ini sangat populer. Salah satu fungsi niat ini adalah membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lain. Namun, ada juga ibadah penting tak perlu niat. Apa contohnya?

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (8): Allahabad-India, yang Tetap dan yang Berubah

Membaca Al-Qur’an. Membaca atau mengaji kitab suci ini, tanpa niat sudah termasuk ibadah, ini sekaligus menjadi keistimewaan wahyu terbesar Nabi Muhammad saw.

Niat Dilafakan atau Cukup di Hati?

Nah, di sini ulama mulai perbeda pendapat, khususnya terkait pelafalan secara lisan tentang niat ini. Apa niat perlu dilafalkan atau diucapkan? Atau cukup di dalam hati? Boleh tidak memakai bahasa selain Arab (jika  dalam salat tentu tidak boleh)?

Sampai di sini, kita mungkin bisa menarik, mana sisi budaya dari sebuah ibadah. Zakat itu sakral, zakat fitrah itu sakral, salat itu sakral, haji itu sakral. Namun ternyata di dalamnya terselip “hasil karsa” manusia, yakni terkait niat: bahasa, di hati atau dilafalkan. Apakah hilang sisi sakralitasnya karena ada budaya di dalam ibadah?

Sama sekali tidak. Justru ini menjadi satu isyarat, bahwa agama segala kesuciannya dan manusia dengan segala kebudayaannya itu adalah satu kesatuan. Kesakralan sebuah niat tidak longsor dengan perbedaan NU dan Muhammadiyah tentang pelafalan niat, misalnya.

Bagaimana dengan Zakat Fitrah?

Bagi saya, niat zakat fitrah bukan saja “kudu”, tapi bahkan ada dua “kewajiaban”: satu, niat kewajiban ibadah dan dua niat kewajiban budaya.

Yang pertama sudah banya dibahas dalam tulisan-tulisan atau kitab-kitab. Yang kedua yang mungkin perlu sedikit dikemukakan. Kewajiban budaya ini yang banyak orang lupa, karena banyak sekali ulama tidak “menempelkan” kebudayaan itu dengan agama, padahal keduanya adalah satu kesatuan, seperti keterangan di atas.

Baca juga:  Mengapa Ada Phobia Agama?

Sering lupa juga bahwa agama tidak memakai sisi budaya dalam menilai kemaslahatan ajaran agama. Ulama biasanya, sudah puas jika satu ajaran telah dilaksanakan secara syariat.

Zakat fitrah itu di dalam harus disertakan niat atau ikrar manusia saling menjaga. Tiap individu itu punya mandat menjaga individu lain. Oleh karena itu, bayi yang yang lahir sebelum di tempat kelahirannya belum menjalankan  salat Idul Fitri, maka orangrtua si bayi itu wajib mengeluarkan zakat fitrah untuk si bayi. Ini adalah pendidikan kemanusiaan tingkat tinggi dalam Islam. Begitu pula makna seorang “majikan” yang wajib membayarkan zakat fitrah terhadap asisten rumah tangganya.

Dari sisi “angka”, zakat fitrah itu tidak hanyak, hanya sekitar 2,5-3 kilogram makanan pokok. Silakan diganti dengan uang, karena uang itu adalah pokok. Diganti dengan kelapa muda boleh? Tidak boleh, karena bukan pokok.

Dari situlah niat zakat fitrah itu, harus dilafalkan, karena tidak saja terkait ibadah dengan Allah, namun juga ikrar kemanusiaan, ikrar bahwa manusia harus saling menjaga. Di sinilah kewajiban itu. Ini namanya kewajiban kultural. Dosa tidak jika tidak niat? Jangan tanya dosa di sini. Lagian, kenapa terus-terusan tanya dosa dan pahala? Apa hanya karena itu kita beragama?

Baca juga:  Kiai Kita, Islam, dan Postmo

Oleh karen itu, mari lafal niat zakat fitrah di bawah ini disertai niat atau ikrar kebudayaan bahwa manusia wajib saling menjaga, menghormati, dan menjunjung tiap martabanya dan kebudayaannya, sekecil apapun:

ﻧَﻮَﻳْﺖُ أَﻥْ أُﺧْﺮِﺝَ ﺯَﻛَﺎﺓَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮِ ﻋَﻦْ ﻧَﻔْسيْ ﻓَﺮْﺿًﺎ ِﻟﻠﻪِ ﺗَﻌَﺎﻟَﻰ

“Aku niat mengeluarkan zakat fitrah untuk diriku sendiri, fardu karena Allah Ta‘ala.”

 

Selamat Idul Fitri 1441 H, semoga kita bisa menjalankan amanat kemanusiaan dan kebudayaan zakat fitrah.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top