Sedang Membaca
Mengapa Syekh Nawawi al-Bantani Tak Jadi Pahlawan?
Hamidulloh Ibda
Penulis Kolom

Dosen dan Ketua Program Studi Pendidikan Guru MI (PGMI) STAINU Temanggung, Alumnus Pondok Pesantren Mamba’ul Huda Pati. Tinggal di Semang, Jawa Tengah

Mengapa Syekh Nawawi al-Bantani Tak Jadi Pahlawan?

Syekh Nawawi al-Bantani merupakan salah satu ulama kondang di negeri ini. Selain karena ilmunya yang luas dan mendalam, peran serta pengaruh Syekh Nawawi dalam menjaga Nusantara sudah diakui dunia.

Tidak hanya dikenal secara ilmu agamanya, ulama yang lahir pada 1230 H atau 1814 M ini berperan dalam mengawal berdirinya NKRI bahkan hingga ini karena banyak santri-santri yang juga tercatat sebagai pahlawan dan ulama besar.

Ulama pemilik nama asli Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar ini berpengaruh di kancah dunia. Akan tetapi, mengapa ulama yang lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten ini tidak menjadi pahlawan nasional? Tampaknya, sangat sedikit yang peduli dengan gagasan ini namun sangat penting diwacanakan.

Guru Syekh Nawawi bukan ulama-ulama biasa. Sangat wajar jika Nawawi memiliki kecerdasan, dan keulatan yang sangat hebat.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (1999: 24) mencatat, guru-guru Syekh Nawawi selama belajar di Indonesia dan Arab, yaitu Kiai Sahal, Kiai Yusuf, Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dahlan, Syekh Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Muhammad Khatib al-Hanbali, Syekh Abdul Hamid Dagastani, Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Ghani Bima, Syekh Yusuf Samulaweni, dan lainnya.

Dari guru-guru hebat itu, Nawawi melahirkan puluhan bahkan santri atau murid yang kondang pula, baik di Nusantara maupun di Timur Tengah. Muhammad (2001: 172) mencatat murid-murid Syekh Nawawi yang berasal dari Indonesia, yaitu Hadratussyekh K.H. Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah, K.H. Khalil Bangkalan Madura, K.H. Asyri Bawean yang menikah dengan putrinya, Nyai Maryam, K.H. Nahjun dari Kampong Gunung yang menikah dengan cucu Syekh Nawawi, Nyai Salmah binti Ruqayyah binti Nawawi.

Kemudian K.H. Asnawi Carigin Labuan Pandeglang Benten, K.H. Ilyas Kampong Teras Tanjung Keragilan Serang, Banten, K.H. Abdul Ghaffar dari kampong Lamung Tirtayasa Serang, K.H. Arsyad Tawil Banten, K.H. Tubagus Bakri dari Sempur Purwakarta, Kiai Mahfuz Termas dari Pondok Pesantren Termas Pacitan, K.H. R. Asnawi Kudus, K.H. Wasit ulama dan pemimpin pemberontakan Ciregon tahun 1888, K.H. Tubagus Ismail, Kiai Abdus al-Sattar al-Dahlawi dari Delhi India dan sebagainya.

Penjaga Nusantara

Peran dan jasa Nawawi memang tidak pernah selesai dituliskan. Dari beberapa aspek, Nawawi sangat berperan menjaga Nusantara secara utuh. Pertama, dalam sejarahnya, Nawawi meskipun secara fisik tidak di Nusantara, namun ruhnya “bergentayangan” menjaga Nusantara. Amin (2009: 36-37) mencatat, Syekh Nawawi memang tak berperan langsung merebut kemerdekaan Indonesia, namun usahanya mendidik kader-kader antipenjajahan patut mendapatkan penghargaan.

Nawawi dan sahabat-sahabatnya menanamkan semangat juang melawan penjajahan dalam diri para murid yang pulang ke pelosok Nusantara. Usaha mereka memancing kedatangan Christiaan Snouck Hurgronje penasihat pemerintah Hindia Belanda ke Makkah untuk menyelidiki cara kerja mereka. Tujuan Snouck tentu bukan tanpa alasan, namun karena Nawawi merupakan sosok berbahaya dan mengancam agenda Belanda untuk menguasai Nusantara kala itu.

Baca juga:  Secangkir Teh dan Harga Diri

Kedua, Nawawi memiliki banyak murid baik yang berguru langsung atau secara ideologis saja. Apakah murid-muridnya di atas hanya nama? Tentu tidak. Deratan nama-nama di atas bukan ulama sembarangan. Seperti contoh Mbah Hasyim dan Mbah Dahlan yang mendirikan dua organisasi besar hingga ini komitmen menjaga dan menjadi Islam serta Indonesia tanpa membenturkannya menjadi “negara Islam”.

Diakui atau tidak, sampai detik ini hanya NU dan Muhammadiyah yang komitmen menjaga Islam dan Indonesia tanpa berniat menggantikannya menjadi negara Islam. Secara ideologis, NU dan Muhammadiyah mewarisi pemikiran Syekh Nawawi karena pendiri kedua ormas ini adalah murid beliau.

Ketiga, melalui lebih dari 115 kitab mulai ilmu fiqih, tauhid, tafsir, tasawuf, retorika, dan hadis, Nawawi mewarikan Islam moderat, tidak terlalu mainstream kanan dan kiri. Mengapa ini disebut jasa besar? Sebab, saat ini banyak pemeluk Islam cenderung ke kanan dan ke kiri yang cenderung mengimpor faham atau ideologi transnasional. Aliran kanan terlalu kaku, aliran kiri terlalu liberal.

Bahaya laten saat ini tidak hanya korupsi, namun juga radikalisme yang memunculkan sifat inferoris terhadap nasionalisme. Mereka melakukan gerakan takfiri (mengafirkan), tabdi’ (membidahkan), tasyri’ (menyirikkan), dan lainnya. Hal ini sangat paradoks, padahal Syekh Nawawi yang mendapat dididikan dari guru-guru dari Timur Tengah pun sangat nasional dan tidak terlalu konservatif dalam beragama serta bernegara. Nawawi mengajarkan murid-muridnya untuk moderat dan menjaga prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (proporsional), dan taadul (adil).

Keempat, Syekh Nawawi mengajarkan untuk memegang teguh dua kebenaran yang harus dimiliki semua umat Islam di Indonesia, yaitu kebenaran beragama sesuai keyakinan masing-masing dan kebenaran bernegara dengan menjaga Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.

Corak kehidupan seperti ini harus dikampanyekan secara konsisten agar Indonesia aman dan radikalisme yang diinisiasi kelompok Islam puritan, kaku, linier, dan konservatif dalam memahami agama. Mengapa? Mereka hanya memaknai jihad secara kerdil seperti mengebom atau bom bunuh diri. Warisan Syekh Nawawi seperti inilah yang jarang diketahui publik, terutama kaum muda yang tidak pernah mondok atau mendapat didikan dari kiai, ustaz, atau dosen yang moderat.

Kelima, Syekh Nawawi mengajarkan umat Islam di dunia untuk menjadi muslim yang taat dan menghargai tradisi, kearifan lokal dan kebudayaan. Mulai dari aspek fikrah (pemikiran), aqidah (keyakinan), amaliyah (traidisi/ritual), dan harakan (gerakan). Apalagi, Nawawi merupakan satu ikatan generasi dengan raja pertama Kesultanan Banten, yakni Sultan Maulana Hasanuddin, putra salah satu Walisongo yaitu Sunan Gunung Jati. Sangat wajar meskipun Syekh Nawawi pernah didaulat menjadi Imam Besar di Masjidil Haram, namun beliau tetap mengajarkan nasionalisme kepada murid-muridnya.

Apakah hanya itu? Tentu tidak. Jasa Syekh Nawawi bak lautan, terutama dalam perkembangan ajaran Islam melalui aktivitas dakwah dan pemikirannya yang mendunia. Nawawi merupakan salah ulama fikih bermazhab Syafii yang sangat masyhur pada abad ke-19 M. Berkat karya tulis dan kemasyhurannya mengantarkan Nawawi menjadi orang sangat berpengaruh di dunia Islam, khususnya dalam bidang pendidikan (Wahid dan Ahza, 2003: 87).

Baca juga:  Tren Meme dan Ideologi yang Terslogankan

Pemikirannya sangat berpengaruh hingga kini, terutama bagi pemeluk Islam yang komitmen menjaga prinsip rahmat bagi semua alam, baik NU maupun Muhammadiyah. Warisan itu juga kini diteruskan K.H. Ma’ruf Amin Ketua MUI dan Rais Am PBNU karena status Syekh Nawawi al-Bantani merupakan kakek buyut K.H Ma’ruf Amin. Apakah hanya Kiai Ma’ruf? Banyak anak cucu ideologi Syekh Nawawi yang terus menetas di pondok pesantren atau kampus-kampus moderat lainnya yang komitmen menjadi Islam dan Indonesia.

Pahlawan Nasional

Pada tahun 2017, ada empat pahlawan nasional yang dikukuhkan pemerintah. Melalui Keputusan Presiden Nomor 115 TK Tahun 2017 tanggal 6 November 2017 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional, Presiden Jokowi memberi gelar Pahlawan Nasional pada empat tokoh. Mereka terdiri atas TGKH Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, Laksamana Malahayati, Sultan Mahmud Riayat Syah dan Lafran Pane.

Bagaimana dengan Syekh Nawawi? Sebagai ulama multidisipliner yang menguasai  semua bidang keilmuan Islam, Syekh Nawawi laik menjadi pahlawan nasional bahkan pahlawan dunia. Mengapa? Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan ada beberapa syarat seorang menjadi pahlawan nasional sesuai Pasal 26 Syarat Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf b untuk Gelar diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang semasa hidupnya (Dpr.go.id, 2009: 11).

Pertama, pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan. Ketiga, melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya.

Keempat, pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara. Kelima, pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Keenam, memiliki konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi. Ketujuh, melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak nasional.

Dari syarat-syarat di atas, Syekh Nawawi sangat memenuhi di lihat dengan beberapa aspek. Pertama, Syekh Nawawi meskipun tidak secara langsung mengangkat senjata, namun secara spiritual ia menggerakkan para murid-muridnya dalam perjuangan bersenjata, politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kedua, Syekh Nawawi melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara dengan bukti 115 lebih karya besar. Skalanya tidak hanya di Nusantara, namun di dunia.

Karya-karya Syekh Nawawi sangat bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa, baik dari aspek keagamaan, kenegaraan, dan kebudayaan.

Buktinya, Syekh Nawawi mendapat beberapa gelar dunia. Mulai dari al-Sayyid al-Ulama al-Hijaz (tokoh ulama Hijaz) atau Sayyidul Hijaz (penjaga Hijaz), al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq atau tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam, A’yan Ulama al-Qarn ar-Ram ‘Asyar Li al-Hijrah atau tokoh ulama abad 14 Hijriyah, Nawawi at-Tsani atau Nawawi kedua. Sedangkan orang pertama yang memberi gelar ini pada Syekh Nawawi adalah Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani.

Baca juga:  Ulil, Somad dan Jiran Kita

Selain itu, Syekh Nawawi juga mendapat julukan Asy-Syekh al-Fakih yang diberikan para kiai, ulama, dan kalangan pesantren, Imam ‘Ulama Al-Haramain atau Imam Ulama Dua Kota Suci, Christiaan Snouck Hurgronje memberi gelar Doktor Ketuhanan, dan Bapak Kitab Kuning Indonesia yang berikan oleh para ulama Indonesia. Gelar-gelar ini menjadi bukti ilmiah bahwa Syekh Nawawi bukan ulama sembarangan.

Ketiga, Syekh Nawawi menelurkan konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi kepada murid-muridnya khususnya di Nusantara. Keempat, perjuangan Syekh Nawawi di bidang keagamaan yang mempunyai jangkauan luas, berdampak nasional bahkan internasional.

Dua murid beliau, yaitu K.H Hasyim Asyari dan K.H Ahmad Dahlan pun sudah dinonatkan menjadi pahlawan nasional. Sangat logis dan rasional jika Syekh Nawawi mendapat gelar pahlawan nasional. Atau, memang beliau “makamnya” di atas pahlawan nasional? Apakah gelar pahlawan nasional justru “merendahkan” kaliber Syekh Nawawi? Atau karena kuburannya di Ma’la, Makkah, bukan di Nusantara? Entahlah.

Perlu langkah strategis, diskusi ilmiah, dan dialog akbar para akademisi terutama di Jawa Barat untuk mengkaji enigma ini. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia  Nomor  1 Tahun 2010 tentang Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada Pasal 6 disebutkan pengusulan gelar pahlawan nasional dapat diusulkan dari pemerintah daerah. Maka pemerintah provinsi Jabar bisa menimbang hal ini sebagai rencana masa depan agar Syekh Nawawi membumi.

KBBI (2018) versi V menyebut pahlawan merupakan orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, dan pejuang yang gagah berani. Syekh Nawawi sudah memenuhi unsur itu, dan secara regulasi sudah melampaui dari ketentuan pemerintah untuk menjadi pahlawan nasional.

Wacana ini sangat strategis untuk ditindaklanjuti mendekati Hari Pahlawan Nasional yang jatuh pada 10 November 2018. Tugas kita saat ini adalah melakukan semua warisan Syekh Nawawi dari aspek keagamaan, kebangsaan, dan kebudayaan serta lainnya.

Lebih urgen lagi mengkaji Syekh Nawawi menjadi pahlawan nasional. Syekh Nawawi berjuang untuk bangsa, agama, dan dunia. Kini siapa yang berjuang untuk beliau? Lalu, mengapa Syekh Nawawi tidak menjadi pahlawan nasional?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (2)

Komentari

Scroll To Top