Ahmad Dahri
Penulis Kolom

Peneliti di IAI al-Qolam Malang. Founder Gubuklawas.com

Mbah Setya Setuhu dan Islam Jawa

Photo 2021 01 22 12 46 58

Islam jawa, ragam budaya tutur, manuskrip dan warisan tradisi yang ditinggalkan oleh para sepuh menunjukkan bahwa peradaban manusia, khususnya jawa adalah peradaban luhur. Islam memang datang kemudian, tetapi islam sebagai nilai menegaskan bahwa kehidupan manusia jawa adalah proses peradaban yang patut untuk ditelisik dan kenal – pahami.

Wana atau hutan menjadi tempat untuk menyepikan diri, menjadi sebuah tempat pindah (uzlah) untuk mencari jati diri. Seperti halnya legenda tentang Aji Saka dan dua muridnya; Setya dan Setuhu. Legenda ini berkembang semerbak di Malang, tepatnya di desa Patokpicis Kec. Wajak Kabupaten Malang. Dusun Kramat adalah lokasi di mana Mbah Setya dan Mbah Setuhu dipusarakan. Tepat di sebelah barat lereng Gunung Meru (Sêmeru).

Walaupun legenda lain mengatakan bahwa Aji Saka sebenarnya memiliki dua murid yaitu Dhura dan Sambadda, yang – juga sama-sama dikenal sebagai sebab di mana muncul dan ditemukannya aksara jawa. Tetapi jauh dari pada itu, legenda tetaplah legenda. Hal yang patut digaris bawahi adalah “budaya mikul duwur mêndêm jêru” agaknya menjadi hal yang paling penting.

Dusun Keramat adalah saksi di mana dua tokoh pengikut Aji Saka yang belajar tentang agama baik agama sebagai pengetahuan, tradisi atau sebagai nilai. Tutur tinular yang berkembang sampai dewasa ini adalah bentuk upaya menjaga sebuah peradaban kemanusiaan yang dibangun jauh-jauh di masa silam. Sikap peka terhadap alam, peka terhadap kondisi sosial, peka terhadap zaman dan kahanan adalah warisan penting yang tampak di dusun tersebut, secara umum warga Malang.

Baca juga:  Film Islam: Potret Anak-anak Penghafal Alquran dari Tiga Negara

Artinya, diyakini atau tidak, mbah-mbah kita dulu berupaya untuk menjaga dan melestarikan sikap sadar dan dewasa dalam menghadapi wolak-walik ê jaman. Mental demikianlah yang patut diwarisi oleh generasi milenial pun generasi selanjutnya.

Jika cerita Aji Saka dulu berakar pada sorang anak yang bernama Aji dari sang Ayah bernama Bambang dan cucu dari Mbah Qurais, yang belajar di Mekkah. Saking nakalnya Aji, sampai akhirnya ia sering keluar terlebih dahulu dari masjid atau tempat ibadah (saka) yang akhirnya ia dikenal dengan Aji Saka. Sampai akhirnya ia kembali ke jawa, karena sejak kecil sudah sakti mandraguna, bahkan sudah memiliki puasa yang membuatnya weruh sak durungi winarah. Sayang pusaka itu ketinggalan di mekkah, sampai akhirnya ia memerintahkan kepada Setya untuk mengambilkan pusaka tersebut, ia berpesan agar tidak memberikannya kepada siapapun kecuali kepada Aji Saka.

Di lain pihak, karena saking lamanya Setya menuju jawa, Aji Saka memerintahkan Setuhu untuk menjemput Setya, dan siapapun yang membawa pusakanya maka, Setuhu harus merebutnya dari tangan siapapun.  Sampai akhirnya di tengah perjalanan keduanya; Setuhu dan Setya saling bertemu. Karena kukuh terhadap perintah Aji Saka, mereka akhirya saling berebut pusaka. Karena sama-sama merasa mengemban amanah. Mereka berdua sama-sama sakti. Nahasnya, mereka berdua meninggal dalam perebutan pusaka tersebut. Singkat cerita, sang Aji Saka mendengar dan mendatangi keduanya. Kemudian tersirat istilah hana caraka, data sawala, pada jayanya, magabathanga, yang akhirnya kita kenal sampai hari ini sebagai aksara jawa.

Baca juga:  Gaya Hidup Santri (3): Nderek Kiai

Ragam legenda tentang Aji Saka adalah wujud keberpihakan bangsa Nusantara yang tentu menjunung tinggi peradaban dan budayanya. Jika Makam Mbah Setuhu dan Mbah Setya: biasa disebut Seco, adalah warisan peradaban, maka yang paling penting adalah berterima kasih karena turut serta dalam membangun peradaban kemanusiaan jawa, khususnya di daerah sekitar makam, lebih luas lagi Malang, Jawa dan Nusantara.

Budaya Tandur

Tandur, atau menanam adalah upaya untuk berkomunikasi dengan alam. Baik alam kecil (Jagad Cilik) atau alam luas (Jagad Gêdde). Masyarakat di sekitar Dusun Keramat Desa Patokpicis mayoritas adalah petani sayur. Budaya tandur, jika ditarik pada sikap sosial berarti kesadaran untuk berbagi.

Sistem nilai dalam budaya jawa selalu mengisyaratkan keluhuran tata krama, tentu hal ini juga tergambar di setiap ajaran kemanusiaan dari berbagai bangsa. Kontek kejawaan pasti memiliki karakternya sendiri.  Hal ini dapat dilacak dengan munculnya istilah seje deso mawa cara, setiap desa berbeda karakternya. Karakter yang dimaksud tentu tidak hanya dalam konteks komunikasi sosial, tetapi juga pada aspek tradisi, etika, budaya dan agamanya.

Seperti halnya pada istilah “Mikul duwur mendhem jero”, artinya adalah menghargai dan menghormati sipapun, khususnya yang berkaitan dengan dirinya. Orang tua misalnya, para leluhur. Di daerah dusun Keramat di mana Mbah Setya dan Mbah Setuhu dimakamkan, masyarakat sekitar memiliki karakteristik tertentu. Semisal yang paling Nampak adalah perihal cara berkomunikasi dan budaya sosial masyarakatnya.

Baca juga:  Humor Pesantren: Buku "Ulama Bercanda" Mengajak Kita Berkelana

Di samping budaya tandur yang sangat lekat, keramahan masyarakat dusun tersebut, dari anak kecil sampai yang sepuh menunjukkan bahwa ada dampak ajaran kinasih dari Mbah Setya dan Mbah Setuhu. Bagi yang percaya “Barokah” tentu akan melihat dengan cara pandang dan sudut pandang yang luas terhadap situasi sosial budaya di dusun tersebut. Keunikan inilah yang perlu dikenal dan pahami oleh generasi millennial. Oleh karenanya semangat menjaga dan melestarikan warisan para leluhur perlu ditumbuh kembangkan dalam sanubari generasi penerus.[]

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top