Sedang Membaca
Jika Aku Pegawai dan Segera Masuk Kerja Lagi
Alois Wisnuhardana
Penulis Kolom

Suka menulis, menulis suka-suka. Tinggal di Jakarta

Jika Aku Pegawai dan Segera Masuk Kerja Lagi

Img 20200528 Wa0008

Jika aku pegawai, karyawan, dengan jabatan atau tidak dengan jabatan, dengan anak buah atau tanpa anak buah, pekan depan adalah pekan yang bikin dagdigdug. Bikin gelisah tak enak makan.

Orang-orang akan mulai diizinkan beraktivitas di luar secara terbatas. Meskipun virus Covid Sembilan Belas belum benar-benar bebas tuntas. Orang-orang akan kembali lalu lalang. Bekerja dan berjuang. Untuk orang-orang tersayang.

Aku paham, virus tidak akan benar-benar hilang. Yang akan ada adalah obat mujarabnya. Antivaksinnya. Sekarang semua pihak, banyak negara, tengah berjuang keras untuk punya vaksin untuk antivirus tersebut. Termasuk Indonesia.

Dengan kondisi virus tidak akan benar-benar hilang, aku butuh mengantisipasi. Situasi pasti tidak sama seperti ketika orang-orang seperti sebelum ada virus. Ketika virus menyerang, kami diminta bekerja dari rumah. Anak-anak disuruh belajar dari rumah.

Ketika aktivitas di tengah masyarakat akan dipulihkan, aku tahu, ada yang harus diubah merespons kondisi yang sudah berubah. Mungkin cara bekerjaku akan sama sekali berbeda. Mungkin juga sedikit berbeda. Yang jelas tidak akan sama seperti sebelum ada virus.

Orang-orang di luar sana mungkin juga berbeda-beda menanggapinya. Ada yang menganggapnya sama sehingga perilaku dan gayanya ketika berada di ruang publik tetap sama. Kelakuannya sama. Joroknya sama. Tapi itu bukan urusanku. Dan aku tak punya hak, apalagi kewajiban, mengatur atau mengubah mereka. Biar saja itu menjadi urusan yang berwenang. Dengan denda atau kurungan, yang jelas aku tak mau didenda atau dikurung. Yang bisa kuubah adalah caraku memandang kondisi normal baru ini. Juga caraku berpikir. Lalu cara bersikap mereaksi yang ada di tempat kerja atau ruang publik nantinya.

Baca juga:  Benarkah Pluralisme di Tubuh NU Hanya Mitos?

Yang perlu kupastikan tiap detik tiap waktu, aku harus selalu ingat bahwa virus tidak hilang. Atau belum hilang. Virus itu masih ada. Entah menempel atau dibawa siapa saja yang kutemui. Orang-orang yang tak kukenal di jalan. Kawan-kawan di kantor atau relasi yang selama ini berhubungan. Atasan atau teman kerja. Bawahan atau tamu kantor. Mereka semua, harus kupandang sebagai yang punya potensi menularkan.

Maka aku harus selalu waspada. Membawa masker ke mana-mana. Cuci tangan sesering mungkin. Selalu sadar jari tangan memegang apa dan segera cuci tangan. Cuci tangan lebih efektif ketimbang pakai semprotan sucihama. Aku juga harus menghindari kontak dengan orang seminim mungkin. Tidak salaman. Tidak cipika-cipiki.

Jika aku pegawai, aku akan bertanya pada pembuat aturan di kantor atau HRD. Bisakah saya bekerja dari rumah, minimal sehari atau dua hari? Semua konsekuensi yang timbul, enak atau nggak enak, aku harus terima. Disetujui syukur, tidak pun tetap butuh kewaspadaan dan kesiapsiagaan. Aku sudah siap. Jika boleh bekerja dari rumah, pasti pulsa makin boros. Listrik makin besar tagihannya. Hasil pekerjaan juga harus diserahkan kapan saja tak kenal waktu seperti kalau bekerja dari kantor.

Jika aku pegawai, aku akan bertanya lagi, bisakah jam kerjaku juga berubah. Lebih pagi, atau lebih siang. Mau pakai kendaraan pribadi atau angkutan umum, pagi dan sore hari itu pasti lebih padat. Jika aku boleh bekerja lebih pagi, misalnya jam 6 atau jam 7, atau lebih siang misalnya jam 10 atau 11, pasti aku bakal mengurangi singgungan dengan orang di jalan. Jika bekerja lebih pagi, aku bisa pulang lebih cepat. Lebih siang bekerja, ya konsekuensinya lebih malam. Tapi tidak dalam arus besar jam-jam sibuk 07 atau 09 pagi dan jam 17 atau 18 di sore hari.

Baca juga:  Sejarah Pesantren hingga Menjadi Simbol Moderasi Islam di Indonesia

Jika aku pegawai, mungkin aku akan lebih banyak bawa bekal makan sendiri. Memang tidak ada laporan penularan virus lewat makanan selama ini. Tapi makan di tempat umum, memperbesar risiko bersinggungan dengan orang tak dikenal. Pegang ini itu yang tak kuketahui siapa yang memegang sebelumnya. Artinya, itu memperbesar risiko untuk tertular.

Tapi ada temanku yang bertanya, “Susah bener hidupmu sebagai pegawai setelah New Normal itu.”

Aku akan menjawab, “Untungnya aku bukan pegawai. Itu kulakukan hanya jika aku pegawai.”

Lalu ada teman lain yang juga setengah iri, “Enak bener kamu sebagai pegawai. Bisa minta ini itu.”

Akupun menjawab, “Sayangnya, aku bukan pegawai.”

Hidup di situasi yang baru atau lama, sebenarnya ya sama saja. Ya siaga. Ya waspada. Tapi dalam normal baru ini, semua harus dijalani dengan asik-asik saja.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top