Sedang Membaca
Wabah, Maulana Ishak hingga Ulama Ahli Medis
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Wabah, Maulana Ishak hingga Ulama Ahli Medis

1 A Kuda

Wabah Covid-19 yang kini melanda Indonesia dan seluruh belahan dunia lainnya, bukanlah yang perdana. Dalam bentang sejarah Nusantara, wabah terjadi berulang kali. Bahkan, terjangkitnya wabah tersebut terekam dalam berbagai kisah dan legenda. Yang mana, sebagian terekam dalam naskah-naskah kuna. Seperti halnya wabah yang melanda kerajaan yang berada di ujung timur pulau Jawa, Kerajaan Blambangan.

Salah satu naskah yang merekam kisah terjadinya wabah di Blambangan tersebut ada dalam Babad Tanah Jawi versi Drajat yang tersimpan di PP. Tarbiyatuth Tholabah, Keranji, Lamongan. Naskah tersebut dapat diakses secara online melalui www.eap.bl.uk dengan nomor EAP 061/2/54.

Blambangan akeh gegering

Isuk lara sore pejah

Sore lara isuk nan sami mati

Langkung sungkawa Sang Prabu

Wediyanira katah pejah

Tinulakan gegering nan saya seru

Sang nata ing Blambangan

Tanpa dahar tanpa guling

Terjemah bebasnya kurang lebih demikian:

Blambangan dilanda wabah penyakit

Pagi sakit, sore meninggal

Sore sakit, paginya dipastikan mati

Teramat sedih sang prabu

Ketakutan karena banyak yang meninggal

Menolak wabah penyakit itu pun semakin sulit

Sang Raja Blambangan itu,

tak bisa makan dan tidur

Gegering atau wabah penyakit dalam teks tersebut tak dijelaskan secara mendetail. Namun, dari penggambarannya wabah tersebut amat ganas. Hanya butuh kisaran waktu 12 jam bagi orang yang terjangkit hingga sampai tiba ajalnya. Pagi sakit, sore meninggal. Begitupula sebaliknya.

Peristiwa yang terjadi sekitar abad 15 tersebut, berkaitan erat dengan dakwah yang dilakukan oleh Maulana Ishak. Ia adalah seorang pendakwah Islam di tanah Jawa yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Sunan Ampel. Meski kemudian menetap di Malaka hingga akhir hayatnya, tokoh tersebut di kemudian hari memeliki seorang anak yang menjadi pendakwah terkemuka di Nusantara, yakni Sunan Giri.

Baca juga:  Orientalis Muda Mengunggah Bibliografi tentang Penyakit dan Wabah dalam Peradaban Islam Pra Modern

Dalam naskah Babad Tanah Jawi sebagaimana disebutkan di atas, Maulana Ishak datang ke Blambangan yang kini dikenal dengan Banyuwangi, untuk mengobati Sekardadu. Ia adalah putri dari Raja Blambangan Prabu Menak Sembuyu. Sebelumnya, telah banyak tabib yang mencoba untuk mengobatinya. Namun, sang putri tak kunjung mendapat kesembuhan.

Sang prabu pun menggelar sayembara. Barangsiapa yang bisa menyembuhkan, maka akan dinikahkan dengan putrinya tersebut. Jika perempuan, akan dijadikan anak angkat. Singkat cerita, Maulana Ishak mampu menuntaskan tantangan tersebut. Akhirnya, keduanya pun dinikahkan.

Di Blambangan, Maulana Ishak mendakwahkan Islam di tengah kerajaan yang masih memeluk agama Hindu. Banyak rakyatnya yang kemudian menjadi mualaf. Hingga akhirnya tiba saatnya untuk mengajak sang prabu memeluk ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad tersebut. Namun, bukan penerimaan yang didapatkan oleh Maulana Ishak. Sang raja marah dan mengusir menantunya tersebut.

Maulana Ishak pun meninggalkan Blambangan. Termasuk juga sang istri yang kala itu sedang hamil. Ia menyepi di suatu tempat yang rahasia. Tak seorang pun yang tahu. Di persembunyiannya tersebut ia memohon kepada Allah SWT agar ditunjukkan kekuasaan-Nya di ujung timur pulau Jawa itu. Permohonan Maulana Ishak pun terkabul. Blambangan dilanda musibah berupa wabah penyakit mematikan.

Baca juga:  Panjer dan Gerhana Matahari Total di awal Kesultanan Demak

Di tengah keputusasaannya, Menak Sembuyu menganggap jabang bayi yang dikandung putrinya tersebut sebagai biang keladi terjadinya wabah. Akhirnya, si jabang bayi itu dibuang ke laut. Atas kehendak Allah, bayi tersebut diselamatkan oleh pedagang dari Gresik yang sedang berlayar. Kelak, bayi tersebut kita kenal sebagai Raden Paku atau Sunan Giri.

Sebagaimana diungkapkan oleh Mashuri dan Jauharoti Alfin dalam Genealogi Wabah dalam Cerita-Cerita Dewi Sekardadu: Kajian Sastra Pandemi yang terbit dalam Jurnal Suluk, Volume 2 Nomor 2, September 2020, ternyata narasi tentang wabah dalam kisah tersebut tidak tunggal. Ada beberapa versi yang terungkap dalam sejumlah naskah. Ada yang menyebutkan jika wabah terjadi setelah terusirnya Maulana Ishak sebagaimana diungkapkan di atas.

Ada pula naskah yang menyebutkan jika wabah juga telah terjadi sebelumnya sebelum kedatangan Maulana Ishak. Sebagaimana terungkap dalam Serat Centhini. Saat itu banyak rakyat Blambangan yang sakit, tak terkecuali putri sang raja sendiri. Sehingga akhirnya Maulana Ishak berhasil menyelesaikan epidemi tersebut. Namun, saat ia terusir, wabah tersebut kembali melanda.

Tak mudah untuk memverifikasi validitas dari kisah-kisah tersebut. Apalagi hingga mendetail tentang bagaimana wabah itu menjangkiti dan dapat terselesaikan. Bahkan, tak sedikit peneliti yang menyebut jika peristiwa tersebut tak lebih hanyalah kiasan (pasemon). Sri Margana dalam Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (2012), mengartikan kiasan wabah tersebut sebagai suatu permasalahan yang melanda. Tak harus berupa wabah penyakit, namun bermakna luas. Termasuk juga diartikan sebagai konversi agama dari Hindu menjadi Islam. Pandangan tersebut lahir dari sedikitnya sumber-sumber primer yang bisa menjelaskan tentang hal tersebut.

Baca juga:  Hikayat Pulau Penyengat sebagai Warisan Indonesia sekaligus Warisan Dunia

Akan tetapi, terlepas dari beragam versi kisah dan validitas dari peristiwa dakwah Syekh Maulana Ishak di Blambangan tersebut, ada satu hikmah penting yang patut direnungi oleh umat Islam dewasa ini. Yakni, kemampuan di luar pengetahuan agama yang dapat dipergunakan sebagai media dakwah. Seperti halnya Maulana Ishak yang menggunakan ilmu medis sebagai media untuk berdakwah di Blambangan.

Hingga hari ini, saat pandemi Covid-19 nyaris dua tahun membekap dunia, belum ada ulama kita yang menghasilkan solusi medis terkait penanganan wabah tersebut. Di Indonesia, umpamanya, kalangan agamawan masih belum beranjak dari diskursus tentang halal-haram vaksin belaka. Belum ada ijtihad medis yang dicetuskan. Padahal, jika kita menengok masa lalu, tak sedikit ulama yang juga seorang saintis. Sebut saja Al-Zahrawi (936-1013) yang menemukan jarum suntik dan sejumlah teknis medis lainnya. Ada juga Ibnu Al-Nafis yang menulis tentang sirkulasi darah pada abad 13 atau 300 tahun sebelum ilmuwan-ilmuwan Barat meneliti hal yang sama. Catatan gemilang para ulama yang juga seorang ahli medis tersebut, patut untuk diwujudkan kembali, bukan? (*)

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top