Sedang Membaca
Ketika Non Muslim Ikut Mudik Lebaran: Cerita Warga Kampung Harapan Jaya dalam Merawat Keberagaman (2)
Adrian
Penulis Kolom

Mahasiswa Prodi Hubungan Internasional, Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur.

Ketika Non Muslim Ikut Mudik Lebaran: Cerita Warga Kampung Harapan Jaya dalam Merawat Keberagaman (2)

Kantor

Para transmigran dari beberapa daerah datang ke Kampung Harapan Jaya secara bertahap. Ahmad Sukaji, Penanggung Jawab Pembentukan Kampung dan Transmigrasi, mengatakan bahwa proses transmigrasi di Kampung Harapan Jaya dibagi menjadi empat gelombang.

Gelombang pertama, dimulai pada tahun 1997 datang 100 KK transmigran dari Pulau Jawa. Kemudian gelombang kedua, pada tahun 1998 dengan jumlah 75 KK yang berasal dari Pulau Nusa Tenggara Barat (NTB). Selanjutnya gelombang ketiga, pada tahun 1999 dengan jumlah 75 KK yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Terakhir gelombang keempat, pada tahun 2000 dengan jumlah 25 KK yang berasal dari warga lokal (Dayak) dan pekerja eks PT Sumalindo yang telah dirumahkan.

Seiring dengan berjalannya waktu syarat-syarat pembentukan suatu kampung telah dapat terpenuhi, sehingga pada tanggal 1 April 2001 Kampung Harapan Jaya resmi terbentuk dengan jumlah 376 KK.

Lebih lanjut Sukaji menjelaskan, masyarakat transmigrasi yang didatangkan dari berbagai pulau tersebut ditempatkan oleh pemerintah secara terpisah, sesuai dengan latar belakang sukunya. Di mana satu tempat dikhususkan untuk masyarakat dari Pulau Jawa, dan satu tempat lagi dikhususkan untuk masyarakat dari Lombok NTB dan seterusnya. Hal ini kemudian memunculkan sebutan Trans Jawa, Trans Lombok dan Trans Timur di Kampung Harapan Jaya.

Baca juga:  Pameran Toleransi di Bandung, Surabaya, dan Makassar

“Di awal pembentukan kampung, setiap suku saling mengedepankan nilai-nilai kesukuannya masing-masing, agar dapat diterapkan menjadi sebuah aturan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, hal itu tidak terjadi lagi, karena interaksi sosial dan ekonomi lintas suku dan agama semakin aktif dan erat,” ucapnya.

Di tempat terpisah, Baiq Sulistiani, warga transmigrasi asal NTB mengatakan, di awal proses transmigrasi interaksi sosial masyarakat lintas suku atau agama terbatas. Kebanyakan masyarakat berinteraksi dengan sesama suku atau seagamanya saja, dikarenakan jarak antar tempat yang satu dengan yang lain cukup jauh dan akses jalan belum memadai. Sehingga hal ini membuat banyak orang tidak banyak mengenal masyarakat dari suku atau agama yang lain.

“Dulu jangankan kenal dengan warga dari suku dan agama yang lain. Dengan warga yang sesama suku dan agama saja kita tidak banyak saling mengenal, karena jarak rumah itu jauh dan sekeliling kita hutan semua,” katanya.

Komunikasi Hilangkan Prasangka

Dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan Timur, Syaikhu Nuris, M.I.Kom, mengatakan tidak semua daerah yang memiliki keberagaman agama dan suku bisa harmonis. Hal ini disebabkan buruknya komunikasi antar individu/kelompok lintas suku dan agama.

Menurut dia secara umum terdapat tiga faktor yang menjadi hambatan, dalam proses komunikasi antar-budaya dan antar-agama. Pertama, adanya prasangka yang tidak baik terhadap individu/kelompok dari suku atau agama yang lain. Kedua, stereotipe, yakni penilaian buruk dan tidak seimbang terhadap suatu kelompok tertentu. Ketiga, etnosentris, yakni adanya perasaan suatu kelompok lebih superior dibandingkan dengan kelompok yang lain.

Baca juga:  Pandangan Habib Luthfi tentang Tasawuf dan Penyakit Hati yang Mengerikan

“Ketiga hambatan tersebut apabila tidak diantisipasi, dapat memicu terjadinya konflik dalam masyarakat yang beragam,” ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, ketiga hambatan itu bisa dihilangkan apabila terjalin komunikasi yang efektif. Beberapa ciri komunikasi efektif adalah keterbukaan, empati, dukungan, berpikir positif, dan kesetaraan.

“Jika kita melihat masyarakat di Kampung Harapan Jaya, beberapa ciri dari komunikasi yang efektif itu dapat kita temukan. Misalnya saling tolong menolong dalam menanam padi, melakukan gotong royong bersama, berkebun bersama, membentuk kelompok tani, berpikiran positif terhadap suku atau agama yang lain dan lain-lain. Sehingga hal ini mampu menjadikan masyarakat di kampung itu dapat hidup secara berdampingan, di tengah keberagaman,” tandasnya.

Sementara itu Kepala Kampung Harapan Jaya, Ali Sasmirul, menilai bahwa pemuka agama dan pimpinan suku berperan penting dalam membangun kesadaran masyarakat tentang keberagaman dan toleransi. “Jadi tokoh agama dan kepala suku inilah, yang membawa sukunya dalam berinteraksi dan menjalin relasi harmonis dengan agama dan suku lainnya,” ujar dia saat ditemui di kantornya, (12/3/2022) lalu.

Menurut dia tokoh agama dan pimpinan suku di Kampung Harapan Jaya menginternalisasikan nilai-nilai universal, sehingga menciptakan kerukunan. Pendekatan dialogis antar tokoh dilaksanakan melalui berbagai forum, satu di antaranya adalah Musyawarah Pimpinan Kecamatan (Muspika). Nilai-nilai keberagaman dan toleransi diinternalisasikan melalui berbagai saluran dakwah, seperti pengajian, majelis ilmu dan khotbah Jumat, serta peribadatan mingguan umat Nasrani dan lainnya.

Baca juga:  Tujuh Catatan Penting Terkait Perdebatan Kata Kafir dan Non-Muslim

“Melalui Muspika kita cukup sering mengadakan pertemuan dan diskusi, dengan berbagai tokoh agama dan suku. Selain bertujuan untuk membahas situasi dan kondisi Kampung, juga bertujuan untuk mempererat jalinan silaturrahmi antar-suku dan agama di sini,” ucapnya. (DD/YL).

***

Liputan ini menjadi bagian dari program Pelatihan dan Hibah Story Grant: Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top