Christian Saputro
Penulis Kolom

Nama lengkapnya Christian Heru Cahyo Saputro. Mantan Kontributor indochinatown.com, Penggiat Heritage di Jung Foundation Lampung Heritage dan Pan Sumatera Network (Pansumnet)

Sekuraan, Ritual Bid’ah Pesta Topeng Sambut Idul Fitri yang Menghibur

Dok. Novan Saliwa

Di Lampung Barat ada yang unik, masyarakat di kawasan ini menyambut hari raya idul fitri dengan menggelar pesta topeng.Ritual yang biasanya ditaja pada awal bulan syawal ini yang lazim disebut pesta sekura atau sekuraan. 

Sekura dalam ejaan bahasa Lampung sekukha memiliki makna penutup wajah atau wajah yang tertutup. Kalau disigi tradisi ini memiliki sejarah panjang dan filosofi yang mendalam berkaitan dengan adab dan budaya Lampung.

Menurut budayawan Lampung asal Liwa Udo Z Karzi, pesta sekura merupakan salah satu bentuk ekspresi masyarakat Lampung ini mempunyai nilai simbolik perwatakan manusia sesuai dengan ajaran moral, dan etika sosial, dan  budaya dalam masyarakat pedesaan Lampung pada zamannya. 

Sekuraan, pesta ini merupakan pesta rakyat yang diselenggarakan dalam rangkaian Idul Fitri untuk mengungkapkan rasa syukur, sukacita dan perenungan terhadap sikap dan tingkah laku manusia

Di wilayah Lampung Barat yang hingga kini masih menggelar tradisi Sekuraan antara lain di Belalau, Balik Bukit, Batubrak, Sukau, Kenali, dan Liwa. Tradisi Sekura dan Sekuraan, juga dikenal di daerah kabupaten Tanggamus khususnya  yang wilayahnya berbatasan dengan Lampung Barat. Karena, konon  penduduknya dulu sebagian besar berasal dari Lampung Barat.  

Pesta Sekuraan ditampilkan dalam rangkaian  parade dan tarian topeng.  Pesta Sekuraan ini biasanya waktunya berlangsung sehari selepas Idul Fitri hingga seminggu sesudahnya, digelar secara bergantian dari pekon (kampung) ke pekon,” terang Udo yang juga pendiri penerbit Pustaka Labrak Bandar Lampung.

Peraih penghargaan Anugerah Budaya Rancage ini,  lebih lanjut memaparkan, parade Topeng atau  arak-arakan para tupping dan sekuraan akan menyusuri rute keliling desa dengan aneka atraksi.  Pada parade ini para penari tupping melukiskan kewaspadaan untuk menjaga keselamatan kedua mempelai dan rombongannya pada saat menuju tempat perkawinan. Sedangkan para pesekura sambil berparade mereka mendatangi rumah penduduk meminta konsumsi bersukacita menuju arena pesta.

Sedangkan kalau dilihat dari segi penokohannya topeng dalam sekura terdiri dari , sekura anak, sekura tuha, sekura kesatria, sekura cacat, sakura raksasa, dan sekura binatang.

Namun dari enam jenis penokohan tersebut, lanjut Udo,  sekura dapat dibagi menjadi dua jenis. Yang pertama disebut sekura kecah yang artinya sekura bersih. Sekura ini sering disebut juga sekura betik atau sekura helau. 

Yang kedua disebut sekura kamak yang artinya sekura kotor atau sekura jahat. Sesuai dengan namanya, sekura kecah mengenakan kostum yang bersih dan rapi. 

Sekura kecah khusus diperankan oleh mengkhanai (laki-laki yang belum beristri). Sekura ini berfungsi sebagai pemeriah dan peramai peserta. Mereka berkeliling pekon (dusun) untuk melihat-lihat dan berjumpa dengan gadis pujaan. 

Baca juga:  Cerita Kecil Tentang Toleransi di Kampung 100% Muhammadiyah dan 100% NU

Selain itu sekura ini juga berfungsi sebagai pengawal sanak saudara yang menyaksikan atraksi topeng. ”Mereka membawa senjata pusaka-kini simbolis saja , sebagai simbol menjaga gadis atau muli bathin (anak pangeran) yang menyaksikan pesta topeng agar terhindar dari sekura kamak yang jahat,” terang Udo. 

Mereka juga menunjukkan kemewahan dan kekayaan materi yang dapat terlihat dari selendang yang dikenakannya. Secara simbolis banyaknya selendang mengartikan sekura itu adalah meghanai yang baik. ”Sekura kamak berarti sekura kotor atau sekura jahat dikarenakan mereka mengenakan pakaian dan topeng kotor,” imbuh Udo. 

Udo lebih lanjut, memaparkan, busana yang dikenakan tidak hanya pakaian sehari-hari yang digunakan dalam menggarap kebun, tetapi dapat juga dari segala jenis tumbuhan yang diikatkan di tubuh. Tingkahnya mengundang tawa penonton. Sekura kamak tidak terbatas mekhanai , tetapi bisa juga dibawakan oleh pria yang sudah beristri.

Mereka berfungsi sebagai penghibur dalam sekuraan. Kadang mereka mengganggu pengunjung yang menonton sekuraan. Sekuraan ini berkeliling kampung untuk kemudian singgah ke rumah-rumah penduduk. 

Masyarakat yang dikunjungi wajib menyediakan makanan dan minuman yang diperuntukkan sekura yang datang ke rumahnya. “Dalam pesta sekuraan ini, kadang ditampilkan atraksi hiburan berupa; pencak silat (silek), nyambai ( menyanyikan bait-bait pantun yang diiringi dengan tetabuhan terbangan (rebana) satu. Pantun ini biasanya ditujukan pada muli (gadis),” terang Udo.

Tradisi Sekuraan dan Penyebaran Islam di Lampung

Menurut tokoh Lampung Brigadir Jenderal Polisi (Purn.) Edward Syah Pernong  yang bergelar SPDB Pangeran Edward Syah Pernong, Sultan Sekalabrak Yang Dipertuan Ke 23, kebudayaan Lampung tidak bisa dipisahkan dari dua hal; keberadaan suku Tumi dan , kedatangan penyebar agama Islam di Lampung yang dipandegani Ratu Ngrgalang Paksi bersama empat putranya, yaitu; Umpu Belenguh, Umpu Bejalan Diway, Umpu Pernong dan Umpu Nyerupa.

Pada waktu itu hidup suku Tumi yang beragama Hindu Birawa dengan adat budayanya. Kemudiaan kedatangan para umpu yang membawa adat dan budaya yang bersumber pada ajaran islam berhasil mengalahkan suku Tumi.

Keempat Umpu berhasil mengalahkan pemimpin terakhir suku Tumi Ratu Sekekhumong, yang kemudia membumihanguskan jejak peradaban dan tradisi suku Tumi. 

Di daerah Lampung sama seperti di Jawa juga,penyebaran agama Islam yang dilakukan para umpu juga dilakukan dengan cara mengakulturasikan degan budaya yang sudah ada sebelumnya.”Ekspresi kebudayaannya tetap dipertahankan, namun nilai-nilainya disesuaikan  degan ajaran Islam. Demikian juga dengan seni tradisi Sekuraan, ” terang mantan Kapolda Lampung ini.

Dalam budaya suku Tumi, lanjut Edwar, sekura atau topeng merupakan sarana pemujaan sebagai bentuk ritual mengharap berkah dan perlindungan dari dewa. Tetapi kemudian, oleh para mujahid Islam di Lampung yang dikomandani Ratu Ngegalang Paksi, ritual ini nilai magisnya secara filosofis diubah. Topeng pada sku Tumi sama seperti topeng pada kebudayaan animisme. Topeng suku Tumi merupakan ekspresi hasil imaji atas ekspresi dari roh halus.

Baca juga:  Pandangan Para Filsuf Muslim tentang Hukum Musik

”Ekspresi pada topeng suku Tumi roh halus digambarkan dengan wajah yang menyeramkan, kasar dan menakutkan.Untuk mengungdang roh-roh halus merasuki topeng perlu sesaji. Harapannya supaya para roh tak mengganggu panen, tak membuat kekacauan, membuat wabah atau hal buruk lainnya,” terang Edwar Syah Pernong.

Para Umpu, lanjut Edwar Syah, tidak menghapus imaji suku Tumi itu, tetapi mengubah imaji itu sesuai dengan ajaran islam. ”Wajah-wajah yang menakutkan itu dijadikan simbol karakter buruk manusia yang yang dipenuhi oleh nafsu amarah, jahat, sombong, dan rakus. Maka dalam tradisi para umpu ada dua jenis Sekura, yaitu; Sekura Kamak dan Sekura Betik,”  Sultan Sekalabrak Yang Dipertuan Ke 23 ini.

Topeng Sekura (1)
Dok. Novan Saliwa

Spiritualisme dalam Sekuraan

SPDB Pangeran Edward Syah Pernong menambahkan ada tiga makna  dan nilai kearifan yang bisa dipetik dari gelaran Sekuraan. Pertama, nilai humanism, manusia pada dasarnya memiliki sifat baik dan buruk. Dan yang menjadi tugas sebagai manusia untuk mengendalikan keburukan dan kebaikan.

 “ Sekura kamak merupakan  simbol keburukan. Sedangkan sekura betik merupakan symbol kebaikan. Bila dikaitkan dengan pelaksanaannya, yang dimulai pada 1 Syawal, Sekuraan punya makna, digantikannya kebiasaan buruk yang dilakukan sebelum ramadhan, oleh amal kebaikan buah dari tempaan berpuasa sebulan penuh. Hal ini selaras dengan makna Idulfitri yang berarti kembali pada kesucian, setelah berpuasa sebulan penuh yang diyakini melebur dosa-dosa dan kesalahan yang dilakukan sebelumnya,” imbuh Edwar.

Dalam kemeriahan tradisi Sekuraan, warga bisa mengungkapkan perasaannya tanpa rasa takut. Ini merupakan penanda kebebasan. “Tiap orang punya hak untuk mengekspresikan potensi dirinya, tanpa rasa takut ada ancaman,” tandas Sultan Sekalabrak Yang Dipertuan Ke 23 ini.

Kedua, Egalitarianisme, tradisi Sekuraan ini dilakukan oleh seluruh kalngan, baik tua, mudatanpa memandang status sosial. Tak ada sekat, peserta Sekura bisa berekspresi sesuai dengan peran yang dijalaninya. “Siapa pun yang jadi tuan rumah, saat tradisi ini digelar, akan menyambut dan menyediakan makanan bagi sekura yang ngejalang (datang)tanpa pandang bulu.”Jadi tardisi Sekuraan ini menyatukan. Hilangnya sekat-sekat setiap orang mengambil peran  untuk kemeriahan dan sukacita pesta. Ini menyiratkan semangat egalitarian pada masyarakat Lampung,” tandas Edwar Syah. Pernong.

Ketiga, nilai Spiritualisme,  dalam tradisi Sekuraan. Peserta menggunakan kain warna-warni sebagai penanda ekspresi kegembiraan sekaligus menggambarkan aneka rupa manusia dalam menjalani takdir kehidupannya. Dalam menjalani takdir kehidupannya manusia memiliki dorongan untuk memilih berperilakuk baik atau berperilaku buruk. Hanya dirinya dan Tuhan yang mengetahui kebaikan dan keburukan yang dilakoninya.

Baca juga:  Obituari: Ajip Rosidi, Membaca dan Menulis Tanpa Akhir

“Tersebab itu seseorang tidak dapat menilai orang lain dari apa yang Nampak (simbolisasi topeng). Ada kalanya orang baik tapi berpenampilan buruk. Sebaliknya, ada pula orang jahat yang menampakkan dirinya sebagai orang alim,” ujar Edwar Syah. Pernong.

Sekura Cakak Buah

Menurut Sultan Sekalabrak Yang Dipertuan Ke-23, Spiritualitas manusia tidak tergantung pada sandang yang ditampakkan, namun pada kemampuannya untuk menapaki jalan menuju Tuhan. Hal ini disimbolkan dengan puncak acara Sekuraan berupa acara panjat pinang (Cakak Buah). Nilai transendental yang ada pada puncak pesta Sekuraan dngan symbol para sekura menaiki batang pinang ini hingga  ke puncak ini, punya makna keberhasilan seseorang untuk mencapai yang Maha Rahim haruslah dilakukan dengan usaha, kegigihan, kebersamaan, saling tolong menolong , pengorbanan juga kesetian,” tandas SPDB Pangeran Edward Syah Pernong

Untuk itu, tambah, Edwar Syah Pernong, dalam tradisi Sekuraan ini, agar manusia dapat menapaki jalan Tuhan, maka petuah agama dalam tradisi ini juga dilakukan dengan diikuti pembacaan sastra klasik Bubandung, Sindekhan yang berisi  ajaran Islam dan juga barzanji. Sekuraan juga diyakini bisa menjadi filter agar manusia dapat menekan dorongan untuk berbuta hal buruk tetapi justru menapaki jalan kebaikan.

Lebih lanjut, Edwar Syah Pernong,  bisa menjadi penanda bahwa Paksi Pak Skala Brak, merupakan salah satu peradaban tertua di Indonesia, mengingat budaya topeng merupakan salah satu peradaban tertua yang pernah diciptakan manusia. “trdaisi Sekura menunjukkan kalau Skala Brak juga sama dengan peradaban-peradaban lain dibelahan dunia, yang telah memiliki perangkat budaya sebagai hasil pemikiran dan ekspresi kehendak. Dan budaya ini terus dirawat, dijaga dan terus diprtahankan dan dilestarikan  sebagai indentitas warga Sekala Brak hingga saat ini,” pungkas Sultan Sekalabrak Yang Dipertuan Ke 23.

Hal yang sama juga diungkapkan, Udo Z Karsi yang juga pemulia bahasa  Lampung, semangat dan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam tradisi sekuraan perlu terus dirawat,ditumbuhkembangkan, dilestarikan dan diwariskan kepada para generasi muda Lampung. Sehingga diharapkan  di masa depan kita memiliki generasi muda yang tangguh dan selalu mensyukuri nikmat dari Sang Pencipta.Tradisi Sekuraan merupakan salah satu  jalan masyarakat Lampung mengungkapkan rasa syukur kepada sang pencipta. Tradisi ini perlu terus dirawat bahkan ditumbuhkembangkan menjadi salah satu ikon atraksi pariwisata budaya yang khas dan otentik kabupaten Lampung Barat, ” pungkas budayawan Udo Z Karsi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top