Sedang Membaca
Surat Cinta Kiai Sahal Mahfudh untuk Adiknya di Banyuwangi
Ayung Notonegoro
Penulis Kolom

Penggerak di Komunitas Pegon untuk mendokumentasi, meneliti, dan mempublikasi khazanah pesantren di Banyuwangi. Bisa ditemui di akun Facebook Ayunk Notonegoro

Surat Cinta Kiai Sahal Mahfudh untuk Adiknya di Banyuwangi

Whatsapp Image 2020 05 14 At 12.48.37 Pm

KH. Ahmad Sahal Mahfudh, Rais Aam PBNU masa khidmat 1999-2009, ternyata memiliki seorang adik yang tinggal di Banyuwangi. Bukan adik kandung. Namun, adik sepupu. Ia adalah KH. Imam Moehtadi Thohir yang tinggal di Dusun Langring, Desa Jambesari, Kecamatan Giri, Kabupaten Banyuwangi.

Sebenarnya, secara usia Kiai Moehtadi lebih tua dua tahun. Ia lahir pada 13 Maret 1935 sebagaimana tercantum di ijazah PGA beliau (ada pula yang menyebut beliau lahir 1923 sebagaimana tertulis di batu nisannya). Sedangkan Kiai Sahal sendiri lahir pada 17 Desember 1937. Akan tetapi, secara nasab lebih tua Kiai Sahal.

Kiai Sahal dan Kiai Moehtadi adalah keturunan dari Kiai Ahmad Mutamakkin dari Kajen, Pati. Keduanya bertemu nasab pada KH. Abdullah. Nama terakhir ini memiliki garis keturunan langsung kepafa Kiai Mutamakkin. Kiai Abdullah memiliki sejumlah anak, dua di antaranya adalah adik kakak bernama KH. Abdus Salam dan KH. Nawawi.

KH. Abdus Salam memiliki anak di antaranya KH. Mahfudz Salam. Dari sinilah kemudian lahir Kiai Sahal Mahfudz. Sedangkan Kiai Nawawi yang merupakan adik dari Kiai Abdus Salam juga punya sejumlah keturunan. Satu di antaranya adalah KH. Thohir Nawawi. Kelak Kiai Thohir ini memiliki putra bernama KH. Imam Moehtadi Thohir.

Meski sebatas saudara sepupu, usia keduanya yang relatif seumuran membuat hubungan kakak beradik ini begitu erat. Masa kecil mereka dihabiskan bersama di Pesantren Kulon Banon yang dirintis oleh Kiai Nawawi. Keduanya juga sama-sama mendapat bimbingan dari KH. Abdullah Salam.

Pada perkembangan selanjutnya, keduanya memiliki jalur perjuangan yang berbeda. Kiai Sahal memilih berkecimpung dalam dunia keilmuan, sedangkan Kiai Moehtadi memilih untuk berkelana mensyiarkan Islam di tengah masyarakat awam.

Baca juga:  Fikih, Majdub, Seni, dan Pesantren

Jika Kiai Sahal melanglang ke berbagai pesantren, mulai dari Pesantren Bendo, Pare, Kediri di bawah asuhan Kiai Muhajir, di Pesantren Sarang di bawah asuhan Kiai Zubair hingga ke Mekkah di bawah bimbingan Syekh Yasin al-Fadani. Maka, Kiai Moehtadi memilih berpetualang. Mendirikan madrasah, masjid atau sekadar musala. Mulai dari Demak, Cerme (Gresik) hingga ke Banyuwangi.

Pada awal dekade 60-an, Kiai Moehtadi datang ke Banyuwangi. Ia menuju ke sekitar Pasar Sritanjung, Banyuwangi. Di sana ia bertempat tinggal di musala yang berada di Kelurahan Kepatihan. Yang terletak di sisi selatan pasar.

Setelah beberapa waktu di Kepatihan, ia diminta untuk membantu mengajar di Desa Pesucen. Namun, rencana tersebut gagal karena sudah ada gurunya di sana. Akhirnya, atas inisiatif seseorang, Moehtadi muda itu diboyong ke Dusun Langring. Di daerah yang cukup terpencil ini, ia merintis Madrasah Ibtidaiyah. Ia memberinya nama Matholiul Falah, sama persis dengan pesantren kakeknya di Kajen.

Dengan bekal ilmu keguruan dari Pendidikan Guru Agama (PGA) yang ia miliki, MI Matholiul Falah tersebut berkembang pesat. Madrasah tersebut diminati banyak murid. Tak hanya dari Langring saja, namun juga desa-desa lain di sekitarnya. Konon, atas ramainya madrasah itu, membuat Sekolah Dasar di dekat situ, kehabisan murid.

Setelah tinggal beberapa tahun di Langring, Kiai Moehtadi jatuh hati pada salah satu anak didiknya yang bernama Siti Mistani. Gadis asal Langring tersebut kemudian disuntingnya pada 22 April 1965.

Baca juga:  Makam Imam al-Ghazali yang Tersembunyi

Pada momentum pernikahan ini, Kiai Sahal tak bisa hadir. Ia begitu sedih karena tak dapat turut menyaksikan hari bahagia adiknya tersebut. Sebagai penggantinya, Kiai Sahal mengirimkan sebuah surat yang begitu lirih. Surat yang diketik dalam selembar folio itu, masih tersimpan hingga saat ini di Pesantren Al-Mutamakkin, Langring – peninggalan Kiai Moehtadi. Anaknya yang nomor dua – Gus Ainul Yaqin – yang merawatnya.

Demikian bunyi surat tersebut:

Kadjen, tg. 22 April 1965

Kepada jth:
Anda jang djauh: Muhtadi Thohir
di Banjuwangi

Assalamu’alaikum W.W.

Adikku jang selalu ku ingat!
Tepat pada tg. 21/22 April 1965 malam Chamis, surat ini kuketik dengan suatu perasaan jang sangat tertekan antara suka dan duka. Memang sengaja aku mengetik surat ini, tepat pada malam hari perkawinan adik. Djusteru tepat itu pula ada permenungan apa jang terdjadi disini agar lebih meresap aku merestui hari jang bersedjarah bagi adik itu.

Dik! Sungguh, ketika itu aku tak kuasa menahan rasa sedih ketika tergores di lubuk hatiku, bahwa aku mempunjai saudara jang sedang dirantau, djauh sanak-saudara, seakan2 hidup sebatang kara, ibunja telah bersemajam di bawah pusara. Bagaimana tidak sedih, toh aku tak dapat ikut hadir untuk memberikan atau menambah kegembiraan adik di kala adik sedang berada di tengah2 suasana jang sangat memerlukan sambutan sanak famili. Keinginan besar sekali apa daja tangan tak sampai. Itulah jang mendjadikan aku sedih.

Jah maklum dik, bahwa manusia hanja merentjanakan, tetapi pelaksanaan penuh di tangan qudrat Ilahi Rabbih. Dus, kita manusia hanja tinggal menerima dengan ichlas apa jang disuratkan oleh Allah dan ditaqdirkan-Nja. Setinggi2nja manusia bertjita2, tak akan melampaui qudrat Allah, kata Ibnu ‘Athoillah.

Nah, sesudah aku djuga menerima qudrat Ilahi itu, tinggal aku, dengan surat ini ikut serta merestui hari pernikahan adik jang sedang kubajangkan dengan aneka ragam bajangan. Semoga pernikahan adik ini tetap mendapatkan keridlaan Allah dan selalu akan membawa manfaat di dunia dan achirat bagi adik sekalian beserta sanak keluarga kelak untuk selama2-nja. Dan semoga membawa kelantjaran adik di dalam bidang perdjuangan, sesuai dengan tjita2 adik jg. pernah adik utjapkan di tepi kolam (belumbang) di muka langgar Pondok Kulon Balon ketika adik masih ketjil bersama2 aku.

Achirnja, aku hanya minta maaf sebanjak2nja dan du’a jang tak kundjung berhenti. Kemudian sampai bertemu pada hari 10 Asyura jang akan datang.

Wassalam
Kandamu jang djauh disana

(A. Sahal Mahfudh)

***

Baca juga:  Kepahlawanan Mahathir dan Buku
Whatsapp Image 2020 05 14 At 12.48.26 Pm
Kiai Moehtadi wafat 13 Ramadan 1418 (1998)

Meski berjauhan, kedua saudara ini memang karib. Tiap haul Mbah Mutamakkin (10 Asyura), keduanya selalu bertemu. Kiai Sahal sendiri pernah ke Banyuwangi pada awal 1998 untuk menjenguk adiknya yang sedang sakit. Saat itu, Kiai Moehtadi sedang tetirah di Kampung Ujung. Ia sedang terapi atas kelumpuhan yang menderitanya. Tak berapa dari kunjungan tersebut, Kiai Moehtadi lantas berpulang ke Rahmatullah. Tepatnya pada 12 Januari 1998 M yang bersamaan dengan 13 Ramadan 1418 H. Sedangkan sang kakanda menyusulnya sepuluh tahun kemudian.

Kepada Kiai Sahal dan Kiai Moehtadi, al-fatihah…

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top