Sedang Membaca
Pansus Buloggate dan Bruneigate, Langkah Riil Pertama DPR untuk Jatuhkan Gus Dur
Avatar
Penulis Kolom

Menyelesaikan pendidikan S1 di Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Pendidikan Sejarah. Penulis lepas.

Pansus Buloggate dan Bruneigate, Langkah Riil Pertama DPR untuk Jatuhkan Gus Dur

Setelah pihak Gus Dur merilis daftar nama musuh-musuh politiknya, Gus Dur memenuhi panggilan DPR pada akhir Juli 2000.

Pada saat itu, Gus Dur dipaksa untuk meminta maaf atas ucapannya yang menyebut Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla diduga terlibat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Kendati Gus Dur sudah hadir dan meminta maaf, ternyata tak menyurutkan langkah DPR untuk melengserkan Gus Dur. Berdasarkan dokumen perencanaan penjatuhan Gus Dur di buku Menjerat Gus Dur, langkah selanjutnya adalah DPR membentuk panitia khusus (pansus) kasus Buloggate dan Bruneigate. Dua kasus itu merupakan alat yang paling ampuh untuk mengadili Gus Dur secara politik.

Pada Januari 2000, Gus Dur ingin memberikan bantuan program kesejahteraan untuk rakyat Aceh. Gus Dur ingin meredakan konflik pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sayangnya, Gus Dur tidak memiliki sekecil apapun. Ia berinisiatif untk meminta Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk memberikan keterangan mengenai dana cadangan tunai yang ada pada bulog.

Sebenarnya, itu bukan cara baru. Soeharto dan Habibie pun melakukan hal serupa. Hanya saja, ketika Gus Dur diberitahu untuk melapor rencananya ke DPR, tidak dia lakukan. Gus Dur berpendapat bahwa jika melalui prosedur DPR, maka memerlukan waktu lama dan juga sulit secara politis.

Baca juga:  Fakta dan Khayal Tuanku Rao

Mei 2000, Gus Dur mendapat informasi bahwa uang sebesar 4 Juta USD telah hilang dari rekening dana cadangan. Gus Dur juga mendengar bahwa orang yang diserahi uang tersebut adalah Suwondo, tukang pijitnya. Suwondo mengaku, ia diperintahkan presiden sebagai utusan khusus. Padahal, kenyataannya tak ada indikasi hubungan antara Gus Dur dan Suwondo. Atas dasar itu, DPR menuduh Gus Dur terlibat dalam manipulasi uang itu.

Sedangkan Bruneigate terjadi pada akhir Februari 2000, saat Gus Dur ke Brunei. Ia mendapatkan dana sumbangan pribadi dari Sultan  Brunei sebesar 2 juta USD untuk membantu rakyat Aceh. Sultan meminta Gus Dur untuk tidak mempublikasikannya, karena menurut Sultan jumlahnya sangat kecil. Selain itu, Sultan tidak memercayai rekening-rekening pemerintah. Akan tetapi, hal itu bocor dan Gus Dur dituduh melakukan penggelapan uang.

DPR langsung membentuk pansus yang diketuai oleh Bachtiar Chamsyah untuk menyelidiki dan mengadili Gus Dur melalui Surat Keputusan DPR RI Nomor: 05/DPR RI/2000-2001. Terdapat 50 puluh anggota pansus yang mayoritas diisi oleh PDI-P (diantaranya ada Zulfan Lindan dan Julius Usman), Partai Golkar (diantaranya ada Enggartiasto Lukita dan Ade Komarudin), dan PPP (diantaranya ada Bachtiar Chamsyah dan Suryadharma Ali). 

Gus Dur merasa pansus ini sangat aneh. Pertama, dasar hukum membuat pansus adalah aturan yang dibuat pada masa demokrasi parlementer. Sedangkan, sejak 1959 Indonesia menerapkan sistem demokrasi presidensial. Kedua, tugas mengadili kasus adalah ranah Mahkamah Agung (MA), bukan DPR. Benny K. Harman yang saat itu masih menjadi pengamat hukum, menyebut cara itu merupakan arogansi dan tirani DPR.

Baca juga:  ​Donald Trump dan Humor Dua Orang Israel

Meski, Mahkamah Agung sudah mengeluarkan putusan bahwa Gus Dur terbukti tidak bersalah. DPR tetap melakukan penghakiman secara politik terhadap Gus Dur. Dalam surat Keputusan DPR RI Nomor:31/PIMP/I/2000-2001 disebut bahwa Gus Dur terindikasi terlibat dua kasus itu.

Berdasarkan dokumen yang ada di buku Menjerat Gus Dur, angkah DPR ini tak lain ingin membangun persepsi dan ketidakpercayaan publik terhadap Gus Dur. Lebih jauh, para anggota DPR juga menjatuhkan moral Gus Dur sebagai presiden dan seorang kiai yang dianggap suci malah melakukan tindakan korupsi.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top