Sedang Membaca
Kepahlawanan Mahathir dan Buku
Ahmad Suaedy
Penulis Kolom

Dekan Fakultas Islam Nusantara UNUSIA. Peneliti Islam Asia Tengara, menyelesaikan S3 di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Menulis beberapa buku.

Kepahlawanan Mahathir dan Buku

Mahathir Mohamad akhirnya dilantik menjadi Perdana Menteri baru Malaysia setelah 15 tahun pensiun dari posisi yang sama yang dipegangnya selama 22 tahun sebelumnya. Dalam sejarah Malaysia tercatat, jika Tunku Abdul Rahman, PM Pertama Malaya-Malaysia, dianggap sebagi Bapak Pendiri Bangsa Malaysia maka Mahathir tidak lain adalah Pahlawan Pembanguan Malaysia. Mahathirlah yang membawa Malaysia melesat dalam pembangunan ekonomi bersaing dengan Singapura di bawah Lee Kuan Yew yang sudah memulainya sejak 1965.

Namun yang lebih menarik dari kiprah Mahathir adalah bahwa hal itu dilakukannya berangkat dari menulis buku. Mahathir di tahun 1970-an adalah generasi muda UMNO yang menonjol dan cerdas. Sedangkan UMNO adalah partai berkuasa yang kuat, namun di bawah kepemimpinan yang dianggap lemah. Kritik Mahathir dalam The Malay Dilemma, Abdul Rahman dianggap lembek dalam menghadapi kemauan elit, termasuk sisa-sisa penjajah Inggris yang membiarkan kesenjangan dan ketidakadilan terus berlangsung. Mahathir juga mengkritik pembiaran dominasi Cina yang, sebelum masuknya Sabwah Sarawak pada 1963 dan keluarnya Singapur 1965, komposisi antara Cina dan Melayu nyaris sama. Namun setelah perubahan tersebut komposisi menjadi 65:45.

Mahathir, sebagai politikus muda yang menjadi bagian dari penguasa, tidak hanya koar-koar namun menulis buku yang fenomenal ketika itu dengan kritik tajam situasi ketidakadilan yang nyata. Ketikadilan itu misalnya menimbulkan terjadinya kerusuahn rasial yang cukup besar pada 1969.

Kerusuhan itulah yang dipakai oleh Mahathir sebagai salah satu argumen perlunya perubahan radikal di Malaysia. Dalam bukunya itu, Mahathir menunjukkan data bahwa penguasaan atas ekonomi Malaysia, etnis Melayu hanya 1,7 persen atas Cina. Maka Mahathir ingin agar kueh ekonomi diubah secara radikal melalui kebijakan UMNO sebagai partai penguasa.

Baca juga:  Hamzah Fansuri dan Tradisi Sastra Esoterik di Nusantara

Kebakaran Jenggot

Namun para elit partai dan pemerintah kebakaran jenggot sehingga Mahathir disingkirkan dari percaturan elit partai, dikeluarkan dari MP (member of Parliament)  dan bukunya diberangus. Namun, beberapa saat kemudian karena situasi politik dan alasan kesehatan Abdul Rahman mengundurkan diri dan digantikan oleh Timbalan PM, Hussein Onn. Di sinilah Mahathir mulai on (hidup) lagi dalam percatuan partai. Onn mengangkatnya sebagai Menteri Pendidikan dan kemudian Wakil Perdana Menteri sebelum terpilih sebagai Presiden UMNO yang mengantarkannya sebagai PM menggantikan Onn pada 1981.

Meski demikian, Mahathir tidak segera merehabilitasi bukunya untuk bisa segera diedarkan melainkan konsentrasi dengan menerapkannya. Dalam kebijakan NEP (New Economic Policy) yang didasarkan pada bukunya itu, PM Mahathir menargetkan 30 persen penguasaan  ekonomi oleh Melayu, 30 persen Cina dan sisanya untuk yang lain misalnya BUMN, dalam waktu 20 tahun. Mahathir tampaknya konsisten. Dia mengundurkan diri setelah 22 tahun pada 2003, namun sisa agendanya belum selesai karena ketika dia mundur penguasaan ekonomi Melayu baru sekitar 20 persen.

Itulah sebabnya sebelum lengser, Mahathir mencanangkan progam dengan nama New Vision Policy (NVP) atau Vision 2020. Bedanya jika NEP lebih menekankan pada penguasaan domenstik maka NVP masuk dalam percaturan regional dan internasional. Kini 2018, maka bukan tidak mungkin Mahathir akan kerja keras untuk merealisasikan target NVP pada 2020 dengan komposisi ekonomi tersebut.

Baca juga:  Lie Kim Hok: Tokoh Pers Tionghoa Peranakan

Pahlawan Perubahan

Faktor kemenangan oposisi pimpinan Mahathir tampaknya bukan hanya karena—dalam paparan Mahathir sendiri—korupsi yang sudah sangat transparan yang dilakukan bukan hanya oleh Najib Razak sebagai PM melainkan dicontoh para pejabat Malaysia kini. Kemenangan itu juga karena faktor kepercayaan Yang Di Pertuan Agong atau Raja atas integritas Mahathir untuk perubahan. Pada puncak perolehan suara oposisi 2008 dan 2013 pimpinan Anwar Ibrahim, misalnya, terdapat rumor di masyarakat bahwa, Raja belum cukup percaya sepenuhnya terhadap Anwar, meskipun kerinduan perubahan sebagian masyarakat sudah begitu tinggi.

Rumor itu memengaruhi opini baik masyarakat maupun para aparat pemerintahan dan juga partai-partai politik. Dengan demikian, integritas Mahathir tampaknya menjadi jaminan  restu Raja Malaysia tersebut. Mahathir juga menjadi faktor penting dalam kalkulasi Anwar semula untuk kemenangan oposisi. Pada 20013, Pakatan Rakyat (PR) pimpinan Anwar sebenarnya memenangkan suara pemilih, namun kalah perolah kursi sehingga gagal mengantarkan Anwar menjadi PM.

Ketika itu, Anwar membuat berkalkulasi bahwa oposisi akan menang dan aman bisa mencapai kemenangan melawan BN jika setidaknya mampu menarik separuh pengundi atau pemilih Melayu secara nasional memilih koalisi oposisi.

Dengan berdirinya Partai Melayu Bersatu Malaysia atau Bersatu dan ketokoan Mahathir tercapailah kemenangan tersebut. Dengan kata lain, posisi politik Mahathir sangat kuat dalam perubahan dan pemerintahan kini. Masuk akal, meskipun partai Kedailan Rakyat pimpnan Anwaar paling banyak perolehan pengundi (PKR 45,DAP 42, Bersatu 13, Amanah 11, sedangkan UMNO 54 dan PAS 18) Mahathir sebagai pimpinan Bersatu ditunjuk sebagai PM.

Baca juga:  Humor Gus Dur: Lomba Mancing Antar Presiden

Tantangan kini

Di samping korupsi dan target komposisi baru ekonomi Malaysia 2020, Mahathir juga menghadapi tuntutan perubahan kedudukan imigran terutama Cina di samping India yang sudah lama mengendap di bawah kesadaran banyak orang Malaysia. Perolehan suara oposisi yang meroket pimpinan Anwar Ibrahim pada Pemilu 2008 dan 2013 disebabkan karena tuntutan ini. Anwar ketika itu menawarkan penghapusan afirmatif berdasarakan etenis digantikan dengan dengan afirmatif berdasarkan kebutuhan (affirmative base on need).

Dalam buku The Chines Dilemma, Yen Lin-Sheng mengungkap tentang dilema Cina Malaysia keturunan di era Mahathir, yaitu ketika di luar negeri harus mengaku Malaysia dulu baru Cina, sedangkan ketika di negeri sendiri, justru harus mengaku Cina dulu baru bangsa Malaysia.

‘When we are abroad, we are Malaysians first and Chinese second, but at home. we are Chinese fist and Malaysians second’. (hlm. 137).

Artinya bahwa perasaan diskriminasi bagi sebagian imigran masih berlangsung.  Yen Lin-Sheng adalah keturunan kedua imigran Cina, orang tuanya datang pada 1930-an.  Lin-Sheng sukses menjadi konglomerat multinasional.

Dalam konteks ini, menarik diikuti kiprah Mahathir lebih lanjut atas realisasi Vision 2020 yang hendak mengangkat Melayu pada level internasional dan dinamika Cina di lain pihak, serta visi Anwar yang hendak menghapus afirmatif atau Ketuanan Melayu di pihak lainnya lagi.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top