Mukhammad Zamzami
Penulis Kolom

Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel. Menuntaskan pendidikan agama di Pesantren Mambaus Sholihin, Gresik. S1 di Universitas Al Azhar, dan menyelesaikan S2 serta S3 di UIN UIN Sunan Ampel, Surabaya

Ibnu Taimiyah dan Afiliasi Tarekat Qadiriyah

Ibnu Taimiyah

Sebagian besar pengagum Ibn Taimiyah selalu menempatkan figurnya sebagai tokoh utama gerakan Salafi sekaligus musuh para sufi. Tentu saja hal ini tak pelak seperti menyimpan ketakjujuran para pengagumnya yang terkesan menutupi ihwal sufisme Ibn Taimiyah sembari mempertahankan citranya sebagai antisufi. Alih-alih menempatkannya sebagai antisufi, banyak rujukan yang justru dapat menyangkalnya. Carl W. Ernst dalam The Shambala Guide to Sufism merespons polemik ini, bahwa para reformis abad modern yang antisufi tidak [ingin] menyadari bahwa Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jawziyah termasuk dalam lingkaran keanggotaan ordo sufi Qadiriyah. Adalah keliru anggapan bahwa keduanya menentang sufisme, karena bagi keduanya, sufisme harus berperan dalam praktik keagamaan sepanjang sesuai dengan koridor al-Qur’an dan Sunnah.

Argumen ini tentu tidak dapat disepakati oleh sebagian besar akademisi dan kelompok Salafi, karena bagi mereka Ibn Taimiyah justru dianggap sukses membongkar aib-aib sufisme dalam banyak karyanya sebagaimana yang diungkapkan Fritz Meier, ‘Abd al-Rahman ‘Abd al-Khaliq, Muhammad b. Shanab, Louis Massignon, D. B. MacDonald, dan lain-lain.

Berbeda dengan Fritz Meier dkk, nama-nama berikut ini justru mempunyai pandangan berbeda, seperti George Makdisi, Thomas Michel, Muhammad Mustafa Hilmi, Thomas Michel, Fazlur Rahman, M. Abdul Haq Ansari, dan lain-lain. Kesemuanya mengakui sufisme yang dikonstruknya dalam beberapa karya-karya Ibn Taimiyah.

George Makdisi, misalnya, dalam artikelnya “Ibn Taymiyya: A Sufi of The Qadiriyya Order”, the American Journal of Arabic Studies, Vol. 1 (1973)” berkesimpulan bahwa Ibn Taimiyah berafiliasi kuat dengan tarekat Qadiriyah, dengan bukti kesukaannya menggunakan mantel kewalian (donning the cloak) dalam tradisi Tarekat Qadiriah. Sedangkan Michel mengamini posisi sufisme Ibn Taimiyah, tetapi menolaknya terafiliasi dengan tarekat Qadiriyah. Adapun M. Abdul Haq Ansari [“Ibn Taymiyya and Sufism”, Islamic Studies, Vol. 24, No. 1 (Spring, 1985)] mengapresiasi posisi Ibn Taimiyah sebagai sufi, tapi tidak pada afiliasinya dengan tarekat Qadiriyah yang dianggap kurang valid dan karenanya dianggap lemah.

Adapun Fazlur Rahman menglasifikasi Ibn Taimiyah dalam kelompok neosufisme. Neosufisme adalah sufisme yang sudah direformasi (reformed sufism), di mana doktrin-doktrin metafisis dipurifikasi dengan ragam postulat Islam era generasi al-salaf al-salih. Neosufisme ini jika dibaca dalam kategori Muhammad Mustafa Hilmi disebut dengan tasawuf Salafi—di luar klasifikasi Tasawuf Sunni dan Falsafi. Untuk nomenklatur Tasawuf Salafi—bagi penulis—lebih cocok disematkan pada posisi sufisme Ibn Taimiyah, karena titik pijak generasi salaf yang jadi patokan sufismenya.

Baca juga:  Mengenal Baharthah: Sang Saudagar Kitab

Sesungguhnya, Ibn Taimiyah adalah sosok yang sangat mengagumi ‘Abd al-Qadir al-Jilani, orang yang secara khusus disebut “guru sufiku” (shaykhuna) dan “tuanku” (sayyidi) dalam kitab Fatawa-nya. Kecenderungan sufistik dan ketakziman Ibn Taimiyah kepada al-Jilani juga dapat dilihat dalam komentar Ibn Taimiyah terhadap Futuh al-Ghayb, karya al-Jilani. Futuh al-Ghayb memuat 78 khotbah, dan lima khotbah di antaranya dikomentari Ibn Taimiyah. Pada karya ini tergambar pandangan Ibn Taimiyah bahwa tasawuf adalah kebutuhan utama umat Islam. Sufisme al-Jilani, bagi Ibn Taimiyah—sebagaimana disebut oleh Arjan Post, “A Glimpse of Sufism from the Circle of Ibn Taymiyya: An Edition and Translation of al-Ba‘labakki’s (d. 734/1333) Epistle on the Spiritual Way (Risalat al-Suluk)”,—selalu berpedoman pada akidah yang benar; keyakinan tradisionalis para ahli hadith atau Ahl al-Sunnah wa al-Hadith sebagaimana anjuran mazhab Hanbali.

Dalam sebuah manuskrip karya Jamal al-Din Yūsuf b. Badr al-Din Hasan b. ‘Abd al-Hadi al-Hanbali (w. 909 H./1503 M) yang berjudul Bad’ al-‘Ulqah bi Labs al-Khirqah, disebutkan bahwa Ibn Taimiyah menyatakan: qad kuntu labistu khirqat al-tasawwuf min taraf jama‘ah min al-shuyūkh min jumlatihim al-shaykh ‘Abd al-Qadir al-Jili, wa hiya ajallu al-turuq al-mashhurah (saya sudah mengenakan jubah ketasawufan dari sekelompok shaykh sufi, di antaranya Shaykh ‘Abd al-Qadir al-Jilani, tarekat [Qadiriyah] ini adalah tarekat yang mashur). Diriwayatkan ungkapan tersebut diperjelas oleh Ibn Taimiyah dengan menambahkan kalimat: fa ajallu al-turuq tariq sayyidi ‘Abd al-Qadir al-Jilani (tarekat paling agung adalah tarekat tuanku ‘Abd al-Qadir al-Jilani)

Dalam genealogi sanad ketarekatan di atas Abu ‘Umar b. Qudamah dan Muwaffaq al-Din b. Qudamah menerima khirqah secara langsung dari ‘Abd al-Qadir al-Jilani. Dalam ulasannya, ‘Abd al-Hadi mengutip ucapan Ibn Taimiyah yang menegaskan afiliasi sufinya pada tarekat Qadiriyah dan ragam tarekat lainnya. Ketiga syekh Ibn Qudamah—Abū ‘Umar, Muwaffaq al-Din, dan Ibn Abi ‘Umar—merupakan sumber rujukan yang diakui dalam mazhab Hanbali.

Baca juga:  Obituari: Kenangan Kecil dengan Arief Budiman

Ibn Taimiyah selalu menegaskan kewajiban mengutamakan syariah dalam mentradisikan praktik sufistik. Untuk mendukung penjelasannya ia menyebut ulama salaf dan syekh sufi ideal. Di beberapa karyanya, Ibn Taimiyah juga membela para sufi sebagai pengikut Sunnah Nabi Muhammad sebagaimana tampak dari ajaran dan tulisan mereka. Para sufi yang sering dipujinya antara lain: ‘Umar b. Usman al-Makki (w. 291 H/903 M), Abu al-Bayan (w. 551 H/1156 M), Abu Sulaiman al-Darani (w. 203 H/844 M), al-Fudayl b. ‘Iyad (107-187 H), Ibrahim b. Adham (718-777 M), Ma‘ruf al-Karkhi (w. 220 H/835 M), al-Junayd al-Baghdadi (830-910 M), Sari al-Saqati (762-867 M), Sahl b. ‘Abd Allah al-Tustari (815-896 M), al-Ansari al-Harawi (1006-1089 M), Hammad al-Dabbas (w. 525 H/1130 M), ‘Abd al-Qadir al-Jilani (1077-1166 M).

Nama-nama sufi di atas tidak pernah sekalipun dihujat atau setidaknya dikritik oleh Ibn Taimiyah. Setidaknya para sufi tersebut di atas sangat memedomani prinsip dan standar syariah dalam beribadah. Kategori sufi yang “selamat” dari kritik Ibn Taimiyah masuk dalam tipologi sufi mazhab Sunni. Klasifikasi para sufi di atas adalah mereka yang dianggap memedomani ajaran autentik Islam. Sesungguhnya Ibn Taimiyah memberikan persetujuannya untuk beberapa elemen moral dan etika dalam tradisi ini. Namun, ia masih tidak sepakat dengan sebagian besar sufi terkait sarana untuk mencapai standar etis dan moral.

Ibn Taimiyah mengakui beberapa praktik sufi yang mendorong moral dan etika yang baik yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah, namun ia masih mengecam keras beberapa dari doktrin mereka yang dianggap keluar dari mainstream Islam. Karenanya, ia membagi sufi menjadi tiga kategori. Kategori pertama Masyayikh al-Islam, Masyayikh al-Kitab wa al-Sunnah, wa A’immat al-Huda (Syekh Islam, Syekh al-Qur’an dan Sunnah, dan para pemimpin yang mendapatkan petunjuk). Mereka yang termasuk dalam kelompok ini senantiasa menjaga praktik-praktik ritualnya dari aspek yang keluar dari mainstream Islam.

Baca juga:  Meniru Habib Husein Ja'far Alhadar, Memanfaatkan Teknologi untuk Berdakwah

Bagi Ibn Taimiyah, sufi kelompok ini tidak pernah “mabuk” dan tidak pernah mengatakan apapun yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Kelompok sufi kedua adalah para sufi yang mengalami fana’ (meninggalkan diri dari dunia) dan sukr (mabuk). Dia percaya bahwa sufi ini kalah oleh perasaannya. Pada kelompok ini Ibn Taimiyah memaafkan kondisinya. Sedangkan sufi model ketiga adalah mereka yang banyak mendapatkan kritik keras dari Ibn Taimiyah. Kelompok ini adalah para sufi yang percaya pada ide dan doktrin yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.

Menurut Ibn Taimiyah, dalam ajaran ‘Abd al-Qadir, seorang salik harus melepaskan diri dari ragam keinginan yang dibolehkan. Maksudnya, salik mesti menghindari berbagai hal yang diperbolehkan, karena ditakutkan mengandung bahaya. Jika Islam didasarkan pada upaya mengetahui dan mengemban perintah Allah, maka harus ada cara bagi para hambanya di jalan itu untk mengetahui seluruh kehendak Allah pada segenap situasi. Ibn Taimiyah mengakui bahwa al-Qur’an dan Sunnah tidak mencakup seluruh peristiwa yang terjadi dalam kehidupan seorang Muslim. Meskipun demikian, jika ketundukan pada kehendak dan keputusan Allah harus dicapai oleh para hamba-Nya, maka harus ada cara untuk memastikan dan mengetahui perintah Allah itu yang mewujud dalam ragam bentuk khususnya.

Kesimpulan

Ibn Taimiyah menerima dasar dan doktrin tasawuf. Ia tidak menyerang secara membabi buta tasawuf, tetapi ia hanya mempurifikasi tasawuf yang menyimpang sekaligus membuat standar tasawuf yang lebih berpijak pada sumber autentik Islam, al-Qur’an dan Sunnah. Kekagumannya pada ‘Abd al-Qadir al-Jilani yang secara khusus disebutnya “guru sufiku” (shaykhuna) dan beberapa bukti keterikatannya pada ordo sufi Qadiriyah adalah bukti keberpihakan-nya pada sufisme. Dalam sufisme yang diwartakannya, ia selalu berpedoman pada akidah yang benar; keyakinan tradisionalis para ahli hadis atau Ahl al-Sunnah wa al-Hadīth sebagaimana anjuran mazhab Hanbali. Dimensi tasawuf inilah yang pada perkembangannya dikategorikan sebagai tasawuf Salafī; sebuah format tasawuf awal dari para generasi al-salaf al-sālih dengan tujuan memperkuat akidah dan membantu dalam pemurnian moral jiwa. (RM)

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
4
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top