Pada beberapa bagian karyanya, Ibn ‘Arabi menyebutkan secara tersurat maupun tersirat upayanya untuk kembali kepada Allah SWT. Kita dapat secara langsung mencatat pengulangan beberapa istilah kunci, yakni khalwat (penyendirian), fath (pencerahan), mubasysyirah, wâqi’ah (mimpi), tawbah (tobat), rujû’ (kembali). Semua istilah tersebut mewakili begitu banyak kepingan asimetris, yang jika dikumpulkan dan disusun secara koheren, memungkinkan kita membentuk kembali sebuah catatan logis mengenai rentetan fase dalam proses kembalinya Ibn ‘Arabi kepada Allah SWT.
Pada 590 H. (1193) ketika pikiran-pikirannya telah mengkristal, ia berkelana mengelilingi Andalusia. Pertama ia menuju kota Murur untuk menemui Syaikh Abû Muḥammad al-Mawrûrî. Selanjutnya ia meneruskan kelananya ke Kordova dan Granada. Setelah puas menikmati kelananya ke berbagai kota di Andalusia ia ingin menyebeRAngi laut dan menuju daratan lain.
Ia pun pergi ke Bejayah (Bugia) Aljazair untuk mengunjungi Syaikh Abû Madyân, seorang pendiri alIran tasawuf yang barangkali adalah syaikh paling terkemuka pada zamannya. Melalui Abû Madyânlah kecenderungan sufi yang khas di Maghrib benar-benar kentara. Berasal dari daerah Sevilla, Abû Madyân tinggal sementara di Fez. Di sana dia bertemu dengan Abû Abdullâh al-Daqqâq, seorang sufi aneh yang luar biasa, demikian menurut para penulis hagiografi yang tampaknya mewariskan khirqah untuknya.
Abû Madyân adalah seorang yang sangat berpengaruh pada diri Ibn ’Arabi. Hal ini terlihat dari kisah-kisah yang ditulisnya sendiri mengenai tokoh-tokoh spiritual pada zamannya. Keinginannya untuk bertemu dengan Abû Madyân secara fisik tidak pernah tercapai, bahkan ajaran Abû Madyân diperolehnya hanya dari murid-muridnya yang notabene adalah guru-gurunya, seperti al-Mawrûrî , al-Kûmî dan al-Sadrânî.
Akan tetapi Ibn ’Arabi meyakini bahwa Abû Madyân mengenalnya, bahkan telah menemuinya berkali-kali secara spiritual. Tokoh inilah yang kerap kali disebut-sebut sebagai salah satu mata rantai yang menghubungkan Ibn ’Arabi dengan alIran Neoplatonisme.
Dari Bugia Ibn ’Arabi meneruskan kelananya ke Tunisia. Di sana ia mengkaji karya seorang sufi politisi, Abû al-Qâsim Ibn Qushay, Khal’an Na’layn (melepas kedua sandal). Tokoh inilah yang terkenal pembelotannya terhadap dinasti al-Murâbitûn di Andalusia Barat. Selain mengkaji karya tersebut, pada tahun yang sama Ibn ’Arabi mengunjungi beberapa murid Abû Madyân, seperti ‘Abd al-Azîz al-Mahdâwî dan Abû Muḥammad ‘AbdAllah al-Kinânî. Kepada al-Mahdâwî ia mempelajari karya Ibn Barajân, yakni Kitab al-Hikmah.
Dituturkan bahwa selama berada di Tunisia, Ibn ’Arabi bertemu dengan Nabi Khidir As. Pertemuan kemudian terjadi lagi ketika pada akhir 1194 Ibn ’Arabi kembali ke Andalusia. Dengan demikian sebanyak tiga kali telah ditemui oleh Khiḍir As. dalam tingkatan yang berada secara fisik.
Pertemuan pertama berlangsung di daratan, di jalan kota pada siang hari, di mana ia menekankan kepasrahan lahiriah kepada guru duniawi. Pertemuan kedua terjadi di air, sebuah pertemuan pribadi di bawah cahaya bulan purnama. Dan ketiga, Khiḍir memperlihatkan diri di atas udara.
Tampaklah bahwa ada tahapan dari ajaran Khiḍir As. dalam “bahasa yang khusus” untuk menuntun Ibn ’Arabi ke dalam pengetahuan misteri Ilahi dan mendorongnya untuk merenungkan kualitas dari pendidikan tersebut. Sejak saat itu ia memulai aktifitas menulis, menuangkan ilham atau inspirasi yang diterimanya ke dalam tulisan agar bisa dibaca para sahabatnya.
Pada akhir tahun 1194, setelah kembali ke Andalusia, ia menulis salah satu karya besarnya, Maqâṣid al-Asrâr, untuk sahabat-sahabat dari Mahdawî. Pada sekitar tahun yang sama ia menyusun Tadbîrât al-Ilâhiyyah untuk al-Mawrûrî.
Perjalanan spiritual
Dalam periode sepuluh tahun sejak pengunduran dirinya dari pemerintahan al-Muwaḥḥidin dan memasuki jalan rohani, Ibn ’Arabi melakukan perjalanan yang menandai masa instruksi dalam kebijaksanaan kenabian. Ia memulai sebagai Isawi, kemudian menjadi Musawi. Setelah bertemu dengan Hud dan semua nabi, ia akhirnya sampai pada warisan Muḥammad SAW.
Terkadang proses ini berada di bawah bimbingan para guru spiritual, terkadang melalui campur tangan langsung dari para nabi itu sendiri. Ibn ’Arabi dengan jelas melihat seluruh proses perkembangan spiritual dan kewalian dari segi kebijaksanaan khusus dari para nabi dan Rasul. Baginya, kebijaksanaan-kebijaksanaan itu tidak lain adalah ekspresi integral dan menyatukan kebijaksanaan Muḥammad.
Warisan kenabian ini membentuk basis riil dari semua tulisannya. Ia mulai sebagai pengikut Îsâ, menekankan pada penarikan diri, dan kemudian di dalam jalan spiritual Mûsâ , saat cahaya wahyu diturunkan. Setelah melalui tempat-tempat wahyu diwakili oleh masing-masing nabi, ia akhirnya sampai pada warisan sempurna dari Muḥammad.
Ketika ayahnya meninggal dunia, lalu disusul ibunya beberapa bulan kemudian, Ibn ’Arabi menerima kenyataan bahwa ia harus merawat kedua saudarinya, yakni Umm Sa’d dan Umm ‘Alā’[xxv], sehingga ia harus meninggalkan kehidupan spiritualnya.
Desakan duniawi juga muncul, ketika terjadi ketegangan politik antara al-Muwaḥḥidīn di Sevilla dan Raja Alfonso VIII dari Castile. Ibn ‘Arabi mendapat tawaran pekerjaan dalam pasukan pengawal Sultan. Karena teringat ucapan Sâliḥ al-Adawî, Ibn ‘Arabi menolak tawaran itu.
Kemudian ia meninggalkan Sevilla membawa kedua saudarinya menuju Fez dan tinggal di sana untuk beberapa tahun. Setelah kedua adiknya mendapatkan suami, tanggung jawab duniawinya selesai dan ia kembali mencurahkan diri pada jalan spiritual.
Fez tampaknya menandai periode kebahagiaan yang luar biasa dalam kehidupannya, di mana ia bisa mengabdikan dirinya secara penuh kepada kegiatan spiritual dan bergaul dengan orang-orang yang sepaham dan memiliki aspirasi yang sama. Dia tidak hanya bertemu dengan para wali yang merupakan pewaris Muḥammad, dia sendiri juga semakin jauh masuk ke dalam warisan ini.
Di Masjid al-Azhar di Fez ia memasuki tingkatan baru dari visi di dalam bentuk cahaya, visi cahaya ini adalah sejenis rasa pendahuluan dari perjalanan cahaya yang besar. Pada tahun berikutnya, pada usia 33 tahun, Ibn ‘Arabi mengalami suatu perjalanan yang luar biasa dari semuanya, yaitu pendakian (mi’raj) yang mencerminkan perjalanan malam Nabi Muḥammad yang terkenal.
Perjalanan ini kemudian tertuang dalam Kitāb al-Isrâ’. Perjalanan ini merupakan perjalanan spiritual ke atas langit, perjalanan yang membawa peziarah melampaui sekat-sekat geografis menuju hadirat Ilahi, “yang berjarak dua busur atau lebih dekat”, (Al-Najm: 9). Bagi para wali, meneladani Nabi berpuncak dalam “perjalanan malam” ini.
Setelah dianugerahi visi yang paling terang tentang takdirnya, Ibn ‘Arabi kembali ke semenanjung Liberia untuk terakhir kalinya pada tahun 1198. Pada bulan Desember tahun itu ia berada di Kordova daat pemakaman Ibn Rusydi. Kemudian dari Kordova, bersama sahabat dekatnya al-Habsyi mereka menuju ke Granada dan kembali bertemu dengan ‘AbdAllah al-Mawrûrî.
Pada bulan Januari 1199 di Granada Ibn ‘Arabi mendapat visi yang memperkuat makna dari penutup para wali. Dari Granada mereka menuju Murcia. Setelah dua tahun berada di negeri kelahIrannya ini, mereka pergi ke Marakesy. Pada awal 1201 (597) dari kota ini mereka menuju Bugia lagi, setelah itu berkelana ke Tripoli, Tunisia, Mesir dan kemudian menuju Makkah.