Sedang Membaca
Narasi Perjalanan Haji, dari Ulama hingga Mualaf Bangsawan Skandinavia
Muhammad Iqbal
Penulis Kolom

Muhammad Iqbal. Sejarawan. Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam IAIN Palangka Raya. Editor Penerbit Marjin Kiri. Menulis dua buku: Tahun-tahun yang Menentukan Wajah Timur (Yogyakarta: EA Books, 2019), dan Menyulut Api di Padang Ilalang: Pidato Politik Sukarno di Amuntai, 27 Januari 1953 (Yogyakarta: Tanda Baca, 2021).

Narasi Perjalanan Haji, dari Ulama hingga Mualaf Bangsawan Skandinavia

Hajj Travelogues: Texts and Contexts from the 12th Century until 1950

Alkisah, saya pertama kali melihat foto itu di album keluarga, dalam bingkai plastik buram yang diletakkan di sudut lemari tua. Tahun 1994, Banjarbaru. Abah dan Mama berdiri bersebelahan di Bandara Syamsudin Noor, mengenakan pakaian seragam haji berwarna krem, wajah mereka tegang namun tampak lega, seolah telah menaruh seluruh beban dunia dalam satu koper besar. Saya masih anak-anak waktu itu, tidak mengerti benar mengapa banyak orang menangis saat melepas mereka, mengapa cium tangan terasa lebih berat dari biasanya.

Abah bukan orang yang mudah menangis. Ia lebih sering diam, bahkan di saat-saat genting. Tapi malam sebelum berangkat, saya melihat matanya sembab. Mungkin karena ini adalah perjalanan yang telah lama ditunggu, atau mungkin karena sadar bahwa tak semua orang bisa kembali dari tanah haram. Mama lebih tenang, tetapi dalam doanya, saya dengar namaku disebut berulang kali.

Perjalanan haji bagi kami, keluarga etnis Banjar dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, bukan semata ibadah tahunan. Ia adalah puncak dari sebuah harapan lintas generasi. Kakek saya pernah cukup lama tinggal di Arab Saudi untuk studi. Nenek menabung emas bertahun-tahun, dan akhir bisa berangkat naik haji sekira tahun 1970-an. Maka ketika Abah dan Mama akhirnya berangkat, seluruh warga kompleks seperti ikut serta. Mereka membawa serta doa tetangga, harapan saudara, dan kenangan orang-orang yang tak sempat.

Bertahun-tahun kemudian, saya membaca buku Hajj Travelogues: Texts and Contexts from the 12th Century until 1950 (Brill, 2024) karya Richard van Leeuwen. Buku itu membuka luka dan cahaya dalam satu tarikan napas. Ia mengumpulkan kisah-kisah perjalanan haji dari berbagai zaman, dari Andalusia hingga Nusantara, dari suara laki-laki terpelajar hingga bisikan perempuan bangsawan yang mencari makna. Ia memperlakukan teks-teks itu seperti fosil hidup. Pelbagai teks itu bukan hanya dibaca, tapi didengarkan.

Lintasan Tubuh Muslim

Ia selalu datang dari kejauhan. Langkah pertama, biasanya sunyi. Tak ada terompet, tak ada lonceng. Hanya sepasang sandal usang dan debu yang memeluk betis, lalu mengendap di sela doa. Dalam banyak kisah, ziarah ini dimulai dengan kebisuan yang mengendap. Di tahun-tahun yang jauh dari kamera dan visa digital, tubuh-tubuh Muslim melangkah ke arah Ka’bah bukan sebagai wisatawan, bukan pula sebagai simbol semata, tetapi sebagai seseorang yang membawa tubuhnya sendiri sebagai persembahan.

Richard van Leeuwen menyusun catatan perjalanan haji dari abad ke-12 hingga pertengahan abad ke-20 seperti merangkai rangka manusia dalam pasir gurun. Leeuwen tidak menulis sejarah besar tentang raja atau perang, melainkan kisah-kisah tubuh—yang lapar, yang menggigil, yang terus melangkah walau luka, yang berdoa meski kehausan. Dalam teks-teks dari Andalusia hingga Jeddah, tampak bahwa haji bukan sekadar praktik agama, tapi proses panjang penyerahan diri, baik secara rohani maupun jasmani.

Baca juga:  Dua Jalan Mencari Kebenaran

Ibnu Jubayr, seorang musafir dari Granada, menulis rihlahnya tahun 1183 sebagai sebuah kesaksian yang lembut dan peka. Ia berbicara tentang laut yang busuk karena bangkai ikan, tentang pasir gurun yang menusuk kaki, dan tentang zamzam yang terasa seperti anugerah tak terhingga ketika akhirnya menyentuh kulit tangan. Akan tetapi yang paling kuat bukanlah kata-katanya, melainkan irama yang samar: bahwa tiap halaman itu ditulis oleh seseorang yang tahu betul betapa rapuhnya hidup. Haji, bagi Ibnu Jubayr, adalah sebuah seni untuk tetap rendah hati, bahkan ketika kita berdiri di depan Baitullah atau rumah Tuhan.

Namun Van Leeuwen tidak berhenti pada kisah para sufi atau ulama. Ia memperlihatkan transformasi mendalam dalam teks-teks haji seiring dengan kedatangan kolonialisme. Tatkala Inggris, Belanda, dan Prancis mulai mencampuri jalur-jalur perdagangan dan keagamaan, catatan haji pun ikut berubah. Tidak lagi hanya tentang ziarah batin, tetapi juga tentang pengawasan, karantina, dan sertifikat. Haji menjadi “masalah administratif” dalam laporan-laporan kolonial. Tubuh Muslim, yang dahulu melangkah untuk berjumpa dengan Tuhan, kini diperiksa oleh petugas kesehatan, disensor oleh birokrasi, dan dijatah dalam kapal uap berpendingin besi.

Dalam bab-bab yang memetakan intervensi Eropa di abad ke-19 dan ke-20, Van Leeuwen menunjukkan betapa haji menjadi ladang tarik-menarik antara kekuasaan dan keyakinan. Laporan-laporan Inggris dari India menyebut haji sebagai ajang radikalisasi. Pemerintah Hindia Belanda mengawasi peziarah seperti mengawasi pemberontak. Bahkan doa pun menjadi sesuatu yang harus disaring. Tetapi di balik itu semua, tetap ada kesunyian pribadi yang tak tersentuh: seorang janda tua yang menangis diam-diam di bawah pohon di Mina, atau seorang pemuda dari Maroko yang menghafal doa dengan gemetar karena takut lupa di hadapan Ka’bah.

Dalam teks al-ʿAyyāshī dan para penulis sufi lainnya, haji tidak dimulai di Jeddah. Ia dimulai saat seseorang membuka dirinya pada kemungkinan kehilangan. Ketika tubuh mulai ringkih, ketika jalan yang ditempuh bukan sekadar perjalanan geografi, tetapi ruang untuk meluruhkan ego. Di tangan para sufi, kisah haji menjadi semacam eksegese batiniah: gurun sebagai ruang sunyi di mana Tuhan lebih mudah dijumpai. Tubuh bukan penghalang, tetapi jembatan. Lapar dan lelah menjadi bentuk pengingat bahwa kita hanyalah debu yang bermimpi bertemu Cahaya.

Baca juga:  Kitab Nazam al-Ajurumiyyah Berbahasa Sunda Karya KH. Ishaq Farid Cintawana (Tasikmalaya)

Perbandingan antara teks-teks sufi dan laporan kolonial dalam buku ini seperti menaruh dua cermin berhadapan. Yang satu menampilkan wajah yang didekati dari dalam, melalui meditasi dan makna. Yang liyan menatap dari luar, penuh instruksi dan katalog. Tapi keduanya bertemu dalam tubuh. Di balik semua narasi itu, ada tubuh nyata: yang tidur di pelabuhan Suez, yang muntah karena mabuk laut, yang demam di tenda Mina, yang pingsan di depan sumur zamzam.

Uniknya dalam buku Hajj Travelogues ini, suara perempuanlah yang paling jarang terdengar, namun justru paling menakjubkan. Dalam keseluruhan corpus perjalanan haji yang dibahas Van Leeuwen, suara perempuan begitu langka hingga terasa seperti gema dalam gua. Tetapi sesekali, gema itu menjadi teriakan sunyi. Evelyn Cobbold, perempuan Skotlandia yang memeluk Islam dan berhaji pada 1933, menulis tanpa nada merendah. Ia mencintai padang pasir, bersujud di hadapan Ka’bah tanpa merasa harus menyembunyikan dirinya. Dalam catatannya, haji bukan sekadar kewajiban agama, tetapi semacam “pulang” yang ditunda sekian dekade. Ia tidak menulis untuk mengesankan siapa pun, dan justru karena itu, tulisannya menyentuh.

Van Leeuwen tidak menyajikan haji sebagai kisah eksotik, dan di situlah keistimewaan buku ini. Ia mengizinkan pembaca menyaksikan kegagalan, keterlambatan, kematian di jalan, dan peziarah yang ditipu. Ia menunjukkan bagaimana kapal bisa tenggelam, bagaimana jemaah bisa terjebak di karantina selama berminggu-minggu. Tapi tak satu pun dari semua itu menghapus makna spiritual dari haji. Justru karena pengalaman itu konkret, keras, dan kadang menyakitkan, haji menjadi sesuatu yang layak disebut “ziarah”. Karena hanya dengan melintasi kesulitanlah, iman bisa diperiksa, bukan oleh orang lain, tapi oleh diri sendiri.

Di ujung semua itu, Van Leeuwen menulis bahwa “haji bukan perihal sampai di Makkah, tapi tentang bagaimana engkau tidak menjadi orang yang sama saat kembali pulang.” Kalimat tersebut, barangkali, adalah inti dari semua catatan ziarah yang ia rangkum: bahwa lintasan tubuh Muslim, dari Andalusia ke Makkah-Arabia, adalah lintasan waktu dan makna. Tubuh bisa rapuh, bisa rebah. Namun dalam rebah itu ada sesuatu yang tak pernah jatuh: hasrat untuk mencari yang lebih tinggi.

Van Leeuwen tidak menghadirkan kisah-kisah ini sebagai roman spiritual semata. Ia membedahnya dengan kejujuran tajam. Dalam narasi al-ʿAbdarī abad ke-13, kita mendapati Makkah bukan hanya kiblat, tetapi pasar dunia: rempah, berita, doa, dan tipu muslihat berbaur dalam Masjidil Haram. Ka’bah menjadi semacam konstelasi di mana dunia Muslim bertemu, bukan selalu dengan hormat, tapi dengan keras kepala yang manusiawi.

Baca juga:  Membongkar Pelabelan Orientalis dan Islam Jawa

Saya terdiam lama membaca kisah Evelyn Cobbold, perempuan Skotlandia yang memeluk Islam dan berhaji pada 1933. Catatannya menyentuh dengan cara yang tak menggurui. Ia memeluk keramaian Makkah dengan ketulusan, tanpa romantisasi orientalis. Di tengah dunia laki-laki, ia bersujud dengan kepala tegak. Membaca kisahnya, saya seperti membaca kemungkinan Mama di antara jutaan jemaah, barangkali satu dari sedikit yang mencatat perjalanan dalam hatinya.

Yang membuat buku ini menggetarkan adalah bagaimana ia melukiskan haji sebagai arena perjumpaan dan konflik: antara kolonialisme dan pan-Islamisme, antara polisi dan peziarah, antara adat dan tafsir. Pemerintah kolonial mengawasi haji seolah itu pertemuan rahasia. Tapi jamaah menulis di sela larangan, menyelundupkan semangat di dalam kain ihram.

Dalam bagian liyan, kita menemukan haji sebagai jalan sufi. Teks-teks al-ʿAyyāshī dan para ulama tarekat mengisahkan gurun bukan sebagai ruang kosong, tetapi ruang batin. Di tengah panas dan penyakit, mereka menanggalkan ego. Saya membayangkan Abah, yang sering khusyuk dalam sunyi, mungkin merasakan ini dalam diamnya di Arafah.

Akan tetapi bukan hanya isi yang penting, melainkan bentuk. Van Leeuwen memperlihatkan bagaimana teks haji berubah dari puisi abad ke-12 menjadi laporan kolonial abad ke-20. Di sanalah tubuh Muslim bernegosiasi dengan zaman. Haji menjadi statistik, dokumen medis, dan laporan pengawasan. Tapi makna spiritualnya tidak larut. Justru mengeras seperti batu di tengah sungai.

Sayangnya, dunia Melayu dalam buku ini hanya sekilas. Padahal, dari Aceh ke Banjarmasin, sejarah kita penuh jejak haji: dari Syekh Nawawi hingga keluarga saya. Tetapi jejak itu seperti ditulis dalam pasir. Ia ada, namun sering disapu ombak sejarah Arab-sentris. Mungkin karena kita tidak cukup mencatat. Mungkin karena kita hanya menyimpannya dalam cerita lisan dan doa-doa diam.

Kiwari, saat saya menulis ini, foto tua itu kembali saya pandang. Wajah Abah dan Mama tetap sama: tegang namun damai. Mereka telah kembali sejak lama. Namun dalam setiap cerita, saya merasa mereka belum benar-benar pulang. Karena haji, sebagaimana ditulis van Leeuwen, bukan soal sampai di Makkah, tapi bagaimana kita tidak menjadi orang yang sama saat kembali.

Saya ingin suatu hari menulis kisah sendiri. Bukan sebagai anak yang ditinggal, tapi sebagai musafir. Dan bila saya tak sempat, saya berharap tulisan ini cukup menjadi puisi kecil untuk mereka—Abah dan Mama—yang telah menjadikan kerinduan sebagai jalan pulang. Sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top