Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Syaikh Yusuf al-Makassari dan Karyanya (2): Tajul Asrar fi Tahqiq Masyrabil Arifin

Whatsapp Image 2020 05 19 At 1.27.18 Am

François Valentijn (17 April 1666–1727), seorang misionaris dari Belanda, pada 1705 mencatat sebuah memoar. Dia pergi ke makam Syaikh Yusuf di Tanjung Harapan, Afrika Selatan, dan melihat makam itu begitu indah dihiasi dengan kaligrafi dan batu-batu. Makam itu terus dikunjungi hingga hari ini. Sejarah mencatat “kekalahan” sang sufi sebagai saksi akan kekeramatan dari masa ke masa.

“Syekh Yusuf al-Makassari utamanya dikenal sebagai sufi,” tulis Azra (2006) dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia: Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern ‘Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries. Namun, pada umumnya kata ini hanya berhenti di sana. Masyarakat kita tidak mengenal ajaran seperti apa yang ditebarkan sang sufi.

Hal ini mungkin bisa dipahami karena karya-karyanya, yang kesemuanya ditulis dalam bahasa Arab, belum ada yang diterbitkan. Fragmen-fragmen dari karya-karyanya diterjemahkan dalam Tudjimah (1987) Syekh Yusuf Makasar: Riwayat Hidup, Karya dan Ajarannya. Namun penerjemahan atas fragmen itu tidak ditulis dengan baik, bahasa penerjemahannya tidak luwes dan kekeliruan pemaknaan dapat kita temukan di sana-sini.

Sebagian lain dari tulisannya diterjemahkan oleh Mustapha Keraan dan Muhammed Haron (2008) dalam Selected Sufi texts of Shaykh Yusuf: Translations and Commentaries. Namun seperti dapat dibaca, tulisan itu dalam bahasa Inggris. Ditambah lagi, bahwa terjemahan ini hanya mencakup sebagian kecil dari karya Syekh Yusuf.

Seri tulisan ini masih jauh dari usaha untuk menerjemahkan semua karya Syekh Yusuf. Ini adalah usaha untuk melengkapi uraian pengenalan dari seorang tokoh yang memimpin ribuan orang, mengobarkan semangat mereka, untuk melawan kekuasaan “Kompeni” Belanda. Usaha mengulas sebagian kecil dari peninggalannya. Usaha mengenal bagaimana keyakinan seorang sufi yang hidup di abad ke-17.

Baca juga:  Sabilus Salikin (13): Kalbu Rasul sebagai Tempat Wasilah

***

Ketika C. Snouck Hurgronje meninggal pada 1936, ia mewariskan banyak koleksi manuskrip ke Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Di antaranya adalah sebuah manuskrip berkode Or. 7025. Snouck Hurgronje mengetahui betul betapa pentingnya manuskrip dalam bahasa Arab ini. Dia telah memberikan catatan-catatan tambahan dalam manuskrip ini.

Manuskrip ini berisi sepuluh naskah yang pada penulisannya dinisbahkan kepada Syekh Yusuf Abul Mahasin Tajul Khalwati al-Makassari al-Bantani asy-Syafi’i. Kemungkinan besar ini adalah salinan naskah dari para muridnya di Nusantara. Hamka dalam Perbendaharaan Lama mengisahkan bahwa Syekh Yusuf masih menjalin hubungan dengan para muridnya yang berada di Nusantara, utama di Makassar dan Banten. Beliau juga mengirimkan naskah-naskah ajaran tasawuf yang beliau tulis kepada mereka melalui para haji yang singgah ketika beliau berada di Ceylon (Sri Lanka).

Ada kemungkinan besar manuskrip ini adalah salinan milik murid Syekh Yusuf yang ada di Banten. Bahasa Jawa menempati posisi penting di Kesultanan Banten baik untuk bahasa poplitik kekuasaan maupun sosial kemasyarakatan. Pada halaman 53 r. terdapat sebuah doa yang disebutkan berasal dari Syekh Mulla Ibrahim (al-Kurani?) yang diberikan makna terjemah ala “jenggotan” pesantren.

Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa. Misalnya kata “ij’al” yang diberi makna “dadékaken” dan kata “lihajatina” dengan “ing sekéhé hajat kita”. Meskipun penelitian tentang perkembangan pemaknaan pegon di pesantren masih belum dilakukan, kita bisa berkata bahwa manuskrip ini tidak berasal dari awal abad ke-20. Dengan melihat gaya pemaknaan yang mana belum ada penggunaan rumus penanda gramatika Arab yang muncul pada awal abad itu. Voorhoeve memperkirakan naskah ini berasal dari awal abad ke-19. Hal ini mungkin, meskipun kita tidak tahu landasan yang digunakan Voorhoeve.

Baca juga:  At-Tabyinul Ajla wal Ahla: Tafsir Alquran Sunda oleh KH. R. Ahmad Dimyati Sukamiskin (1931)

Naskah pertama dalam manuskrip ini adalah Tajul Asrar fi Tahqiq Masyrabil Arifin (Mahkota Rahasia dalam Penemuan Oase Para Arif). Dia terletak pada folio 1-9 pada manuskrip kita. Pada halaman pertama, lembaran naskah ini telah robek separuh. Pada bagian mana kita masih mengenali penulisnya yang disebut sebagai Abil Mahasin Syekh al-Hajj Yusuf at-Taj.

Kitab ini beliau tulis atas permintaan sebagian murid dan sahabat dekatnya. Mereka memohon beliau menjelaskan kitab al-Futuhat ar-Rabbaniyyah wal Asrar al-Ilahiyyah. Jawaban atas permintaan ini diikuti dengan rasa rendah hati. Beliau mengaku belum “maqam”nya menjelaskan ilmu ini. Beliau merasa bukan ahli penulisan kitab. Dan itu semua, lanjut Beliau, karena masih sedikit ilmu dan terbatas pemahaman.

Kitab dimulai dengan menjelaskan apa makna dari beberapa firman Allah Swt. terkait dan “ma’iyyah” (sifat kebersamaan) dan “ihathah” (sifat meliputi). Dalam penggalan surah al-Hadid ayat 4, Allah berfirman: وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ,“Dan Dia (Allah) selalu bersama kalian di mana saja kalian berada”. Maiyyah Allah ini seperti kebersamaan antara ruh dan tubuh. Bukan seperti kebersamaan antara satu barang dengan barang lainnya. Misalnya “saya bersama Anda” atau “buku Islam Yang Saya Kenal karya Prof. Dr  Quraish Shihab selalu bersama saya dalam perjalanan dua hari terakhir”.

Para ahli tafsir terbagi dalam tiga cabang mengenai pemaknaan “maiyyah” ini. Golongan pertama menyebutkan bahwa kebersamaan Allah melalui ilmu (misalnya, Tafsir Jalalain). Golongan kedua misalnya, menambahkan bahwa hal ini terjadi melalui ilmu dan qudrah. Dan yang terakhir adalah mereka yang menetapkan bahwa Allah “bersama” hambanya dengan “Zat”-Nya (seperti Ibnu Ajibah) atau “Wujud”. Dalam hal ini Syekh Yusuf masuk ke dalam golongan ketiga.

Baca juga:  Kisah Kecintaan Sultan Muhammad Salahuddin kepada NKRI

Selanjutnya mengenai “ihathah” seperti dalam penggalan surah an-Nisa’ ayat 126: وَكَانَ ٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ مُّحِيطًا. Dan Allah meliputi segala sesuatu. Syaikh Yusuf menjelaskan bahwa “peliputan” ini bersifat menyeluruh seperti keadaan peliputan yang disifati (maushuf) oleh sifat-sifatnya (aushaf). Bukan seperti peliputan (pelingkupan) satu hal dengan hal lain. Misalnya “salju tebal melingkupi Gunung Jayawijaya” artinya menutupinya.

Syekh Yusuf terus menjelaskan bahwa meskipun kebersamaan dan peliputan Ilahi bersifat sempurna dan terkadang hampir tidak dapat dibedakan, seorang hamba tetaplah hamba meskipun dia “naik” menuju Allah dan fana’ lalu abadi di dalam-Nya, serta disifati dengan sebagian sifat-sifat-Nya. Begitu pula Tuhan tetaplah Tuhan, meskipun Dia “menurun” dan menjadi “tampak” dalam hamba, serta disifati dengan sebagian sifat hamba-Nya. Syekh Yusuf memperingatkan bahwa seseorang hendaknya tidak melampaui dan berlebih-lebihan (ghalath) pada batasan ini, atau ia akan masuk ke dalam api neraka.

Perlu diingat bahwa maiyyah dan ihathah yang demikian ini mengikuti sifat Allah sebagai “Yang Awal-Yang Akhir, Yang Lahir-Yang Batin”. Dan keduanya hanya bisa ditetapkan dari sisi Allah kepada hamba-Nya, bukan sebaliknya.

Dan Syekh Yusuf mewanti-wanti, pemahaman ini tidak akan menghasilkan kebaikan kecuali pada mereka yang mengikuti zahir Syariah. Menurutnya, telah banyak orang terpeleset di sini. Di abad ke-17, petunjuk ini telah muncul. Hal ini penting karena kita akan melihat beberapa penafsir yang terpeleset sehingga meninggalkan ibadah.

Namun, di masa sekarang mereka yang beribadah cukup banyak yang meninggalkan pemahaman hakikat Allah. Suatu ujung lain yang juga diwanti-wanti oleh Syekh Yusuf. Mengutip pendapat mereka yang telah mengenal Allah (arif bilah) “Syariat tanpa Hakikat adalah sia-sia, dan Hakikat tanpa Syariat adalah kegagalan”. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
3
Ingin Tahu
5
Senang
3
Terhibur
2
Terinspirasi
3
Terkejut
3
Scroll To Top