Sedang Membaca
Snouck Hurgronje, Bapak Kajian Islam di Indonesia?
Bandung Mawardi
Penulis Kolom

Esais. Pegiat literasi di Kuncen Bilik Literasi, Karanganyar, Jawa Tengah

Snouck Hurgronje, Bapak Kajian Islam di Indonesia?

Dulu, Snouck Hurgronje (1857-1936) berpredikat Penasihat Urusan Pribumi di Hindia Belanda. Jabatan mentereng setelah ia berlaku sebagai sarjana moncer dengan keseriusan studi Islam. Tugas terbesar adalah memberikan nasihat-nasihat demi hubungan “harmonis-pematuhan” antara umat Islam di Hindia Belanda dan penjajah.

Ketekunan mempelajari Islam di Mekah dan Aceh memastikan Snouck Hurgronje memiliki keampuhan dalam pemikiran dan pembuatan siasat memenangkan penjajah dalam urusan politik-agama.

Kevin W Fogg malah memberi simpulan bahwa kedudukan sebagai Penasihat Urusan Pribumi tak sejalan kepentingan akademik Snouck Hurgronje melalui penerbitan buku berjudul The Feast of Mecca dan The Acehnese. Nalar akademik memungkingkan dua buku memberi pengaruh besar di kalangan sarjana di Eropa dan Amerika.

Pengaruh menguat saat Snouck Hurgronje memberi kuliah untuk American Lectures on the History of Religions, 1914-1915.

Semula, publik mengenali peran menentukan selaku Pejabat Urusan Pribumi di Hindia Belanda. Peran itu tak tampak dalam kuliah. Fogg mencatat Snouck Hurgronje memihak ke penjelasan Islam di Semenanjung Arabia ketimbang Hindia Belanda.

Sarjana dan penasihat itu cuma mampu membuat singgungan ke Hindia Belanda tiga kali. Sebutan justru mengarah ke kedudukan orang-orang Handramaut di Hindia Belanda. Bukti-bukti itu terasa menentukan pilihan judul tulisan Kevin W Fogg dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia: Mencari Arab, Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hurgronje tentang Hindia Belanda (2017).

Di tanah jajahan, pemahaman Islam memang sering diperoleh dari sumber-sumber di kalangan Handramaut ketimbang bumiputra. Tokoh penting dan erat dalam kerja politik-akademik Snouck Hurgronje adalah Sayid Usman (1822-1914).

Dua orang saling berhubungan dalam kajian Islam tapi terpaut perbedaan umur. Semula, mereka berkorespondensi jarak jauh Hindia Belanda-Belanda. Komunikasi dan kemiripan pemikiran menjadikan dua orang bersekutu dalam penentuan kebijakan politik-agama di tanah jajahan. Hubungan akademik dan politik saling menguntungkan. Sayid Usman bekerja pada pemerintah Belanda dan memberi informasi-informasi besar ke Penasihat Urusan Pribumi.

Baca juga:  Novel dan Universitas Al-Azhar

Snouck Hurgronje menilai Sayid Usman adalah orang tepat dan mengusulkan agar pemerintah Belanda memberikan gaji 100 per bulan (Nico JG Kaptein, Islam, Kolonialisme, dan Zaman Modern di Hindia Belanda, 2017).

Selama puluhan tahun, orang-orang menganggap Snouck Hurgronje peneliti atau pakar Islam di Hindia Belanda (Indonesia). Anggapan itu perlahan runtuh dengan kritik-kritik Fogg. Sekian pubilkasi buku dan kuliah membuktikan Snouck Hurgronje menggunakan kacamata Arab untuk studi Islam di Hindia Belanda.

Hidup di tanah jajahan dalam waktu lama tak sanggup menghilangan kecenderungan kiblat menilai Islam melulu dari Arab. Cara itu mengakibatkan konklusi: Islam di tanah jajahan itu “rendahan” atau “ternoda” jika ditilik dari terapan ajaran-ajaran Islam di Arab.

Snouck Hurgronje sengaja abai atau “menghilangkan” harmoni Islam dan lokalitas di Hindia Belanda. Di mata Penasihat Urusan Pribumi, Islam harus berstandar Arab. Studi mengenai Islam di Hindia Belanda dan Asia Tenggara tetap saja berlensa atau bermodel Islam di Arab.

Fogg pun menganggap Snouck Hurgronje, sarjana dan pejabat kolonial, memiliki bias-bias dalam studi Islam. Bias-bias itu masih jarang digunakan untuk membantah julukan ke Snouck Hurgronje sebagai “bapak kajian Islam di Indonesia”.

Perdebatan tak rampung justru mengenai Snouck Hurgronje itu muallaf atau memeluk agama Islam saat berada di Mekah. Perdebatan dipengaruhi pilihan Snouck Hurgronje menjadi bernama Abdul Ghaffar. Nama berubah, cara berbusana pun berubah.

Baca juga:  Kapan Sumber Ortodoksi Islam Masuk di Jawa?

Di mata penduduk Mekkah, Snouck Hurgonje berpakaian Arab menandai kearaban-keislaman. Pengalaman selama di Mekah selalu mempengaruhi studi Islam meski berbeda kawasan. Keinginan menjadi pengamat dan kelihaian menampilkan identitas baru selama di Mekah memberi keuntungan dalam karier akademik. Periode itu diakui “peristiwa terbesar dalam kehidupan akademik.”

Fogg menjelaskan kesarjanaan dan posisi politik Snouck Hurgronje selama belasan tahun di tanah jajahan tetap sulit mengubah kiblat akademik tentang Islam ke Semenanjung Arabia.

Selama di Hindia Belanda, ia tampak gagal memahami atau memberi penjelasan berpengaruh dalam studi Islam di kawasan selain Arab. Pelbagai bias menghasilkan studi-studi pantas digugat. Snouck Hurgronje memang menganggap Islam di Hindia Belanda kuat tapi ternoda praktik-praktik adab lokal. Tuduhan telak bermuara dari pemikiran berkiblat Arab.

“Ia menggunakan kacamata Arab untuk penelitian di Hindia Belanda dan mempertahankan fokus Arab dalam tulisan-tulisan, sebelum dan setelah ia berada di Hindia Belanda,” tulis Fogg.

Kritik dan simpulan telah diajukan Fogg untuk para pembaca buku dalam edisi terjemahan Indonesia: tipis tapi mengejutkan. Begitu.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Dear penulis mau tanya. Apakah Snouck Hurgronje pernah meneliti islam (khususnya santri) /tinggal di jawa juga? Atau cuma di Aceh saja? Bagaimana hubungan nya dgn van der plass (gubernur jawa timur)
    Sya juga pernah dengar dari ceramah nya Gus Muwafiq klw Snouck ini gagal paham ttg islam (santri) yang ada di jawa dia kemudian mencirikan islam / santri yg ada di jawa dgn 3 hal -Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting).
    -Ke 2, mambu rokok (bau rokok).
    -Ke 3, tangane gudhigen (tangannya berpenyakit kulit).

Komentari

Scroll To Top