Ada tumpukan kosakata Jawa klasik pada pengajian-pengajian kitab kuning, terutama di pesantren-pesantren salaf yang pengajaranya menggunakan makna gandul pegon Jawa.
Di antara yang masih digunakan sampai sekarang pada adalah kata rujukan, seperti utawi (Jawa/J) untuk merujuk pada Mubtada’ (Arab/A) dan iku (J) yang merujuk pada khobar (A). Jika keduanya digabungkan, maka menjadi utawi iki iku, pemaknaan ini tidak pernah berubah dari dulu sampai sekarang.
Begitu juga pada kalimah huruf yang pemaknaanya ajeg dari dulu sampai sekarang, misalnya kata Fi (A) yang dimaknai Ing ndalem (J), Kata ‘Ala (A) dimaknai Ing atase, sampai kata Idza (A) yang dimaknai ing dalem nalikane (J). Masih banyak kosa-kata yang tidak bisa bergeser, seperti kata blo gedoblo, ketungkul, suwiji wiji, dan lain sebagainya.
Tidak bergesernya pemaknaan Jawa klasik pada makna gandul menunjukkan beberapa hal penting. Pertama adalah tradisi menjaga mata rantai keilmuan. Seorang santri yang mengaji kepada gurunya akan mencatat secara persis makna yang diberikan oleh gurunya.
Jika kemudian santri menjadi guru, dia akan memberikan makna kepada santrinya sesuai apa yang dia dapat dari gurunya. Maka banyak sekali cerita tentang seorang santri yang datang menghadap gurunya (J: sowan), hanya untuk menanyakan makna yang terlewat sewaktu dia mengaji. Penjagaan silsilah keilmuan ini di dalam kajian ilmu hadis disebut sebagai sanad.
Kedua adalah kekayaan bahasa. Khasanah bahasa Jawa yang kaya, sopan, padat, dan detail tidak bisa sepenuhnya diganti dengan bahasa Indonesia yang awalnya adalah bahasa perdagangan. Misalnya, ketika menjelaskan istinja’ (A) yang dimaknai peper (J) dan varianya, tidak bisa sepenuhnya dicari padananya dalam bahasa Indonesia.
Selain itu, bahasa Jawa juga mewakili kultur hirearkis pesantren yang menekankan kesopanan kepada orang tua, guru dan masyayikh. Penekanan-penekanan ini tidak bisa digantikan oleh bahasa Indonesia yang bersifat lebih egaliter.
Dus, bahasa Arab kitab yang kaya akan istilah keseharian yang hirearkis, hanya bisa diimbangi dengan bahasa yang kaya akan Istilah keseharian yang hirearkis pula, di antaranya adalah bahasa Jawa. Hal inilah yang mengakibatkan keajekan penggunaan bahasa Jawa klasik pada makna gandul pesantren.
Keajekan bahasa Jawa kitab tentu punya tingkat kesulitan tersendiri. Ilham, seorang santri baru dari Kudus pada tingkat Ibtidiyyah bercerita pada saya tentang pengalamanya memahami makna Jawa dari guru ngajinya. Bahasa Jawa kitab menurutnya sangat njlimet, dan penuh lenggak–lenggok. Ada banyak yang bisa dia pahami, tapi juga banyak yang tidak dipahami.
Dari pengalamanya, dia mengajukan beberapa pertanyaan yang cukup menarik, seperti sejak kapan mubtada’ dimaknai dengan kata utawi dan lain sebagainya. Peristiwa diakronis dalam pemaknaan kitab gundul memang belum sepenuhnya dikaji sehingga tidak ada jawaban yang pasti tentang sejakan kapan mubtada’ menjadi utawi dan khobar menjadi iku.
Pengalaman kebahasaan Ilham adalah gambaran tentang alih generasi di pesantren yang tidak disertai dengan alih-bahasa. Bahasa Jawa yang digunakan dalam memaknai kitab memang sering membawa ke peristiwa kebahasaan masa lalu yang tidak sepenuhnya bisa dimengerti, terutama oleh santri millenial.
Di satu sisi, penggunaan bahasa Indoensia yang massif pada buku ajar pendidikan agama belum bisa menembus dinding pesantren salaf yang masih kental bahasa Jawa ala kitabnya. Akan tetapi, pengalaman ini juga menujukan satu sisi yang lain, yaitu berkurangnya secara drastis penggunanaan bahasa Jawa ala kitab di luar pesantren.
Jika bisa dihitung, penulisan literatur keislaman dengan bahasa Jawa sudah sangat terbatas. Sosok besar seperti K.H Bisri Mustofa dan K. Soleh Darat yang menuliskan karya tafsirnya dalam bahasa Jawa sudah sangat jarang. Pun juga pemaknaan kitab ala Jawa pada masyarakat umum, sudah sedikit bergeser. Wallahu ‘alam