Sedang Membaca
Meramal Akhir Covid-19 dengan (Memanipulasi) Hadis Nabi
Moch Nur Ichwan
Penulis Kolom

Bekerja di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendidikan S3 diselesaikan di Tilburg University, S2 di Leiden University, dan S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah belajar juga di Pondok Pesantren Darul Hikam Joresan, Ponorogo, Jawa Timur.

Meramal Akhir Covid-19 dengan (Memanipulasi) Hadis Nabi

1 A Kuda

Seseorang membagikan sebuah video di WAG yang saya ikuti di kampung. Dalan video itu tampak seseorang lelaki muda memakai jubah hitam, seperti jubah khas Saudi, dengan kopiah putih. Latar belakangnya perpustakaan yang penuh dengan kitab berjilid-jilid. Semua itu mendukung sekali ceramah singkatnya yang berjudul “Corona Berakhir Menurut Hadits”.

Di sebelah kiri bagian bawah, ada info IG dan FB dia, dan nama sebuah yayasan. Tapi semua itu tidak perlu disebutkan di sini. Saya tidak tahu seberapa banyak video itu di-share dan ditonton. Tetapi, sebagaimana video lain, hampir dapat dipastikan ada yang mempercayainya, lalu dalam sekejap menjadi bagian obrolan.

Saya tertarik menanggapi video ini, karena kontennya menurut saya menyesatkan, terutama secara historis dan ilmiah. Kesalahan historis dan ilmiah ini membuat pemahaman tentang hadis tersebut, dan pemahaman masyarakat tentang wabah yang sedang melanda jadi kacau. Dengan demikian pemahaman keagamaannya juga kacau dan mengacaukan, jika tidak sesat menyesatkan, dlaalun mudlillun.

Agar jelas, saya kutip langsung perkataannya secara agak detail.

“Banyak orang bertanya-tanya, kapan wabah ini, virus corona ini berakhir. Jawabannya disebutkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya ‘Musnad’, kumpulan kompilasi hadis-hadis Rasulullah saw. Rasulullah saw menjawab: ‘Idza thala’a al-najmu dza shabahin rufi’at al-‘ahadu’ (sic!, penceramah menyebut kata al-‘ahadu berkali-kali, bukan al-‘ahatu/al’ahah), apabila suatu saat nanti muncul bintang di satu pagi, pada pagi hari, maka akan diangkatlah segala macam wabah, virus, yang menular, yang memakan korban secara massal….”

Lalu dia menjelaskan dengan mengutip pendapat Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna’ al-Sa’ati dalam kitabnya “Al-Fath al-Rabbani Li Tartibi Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani,” bahwa yang dimaksudkan dengan al-najmu (bintang) ini adalah bintang Tsurayya. Dengan merujuk kepada Imam ibnu Mulaqqin, bintang ini akan muncul pada permulaan bulan “Ayyar” (harusnya “Iyar”), yakni bulan Mei. (Catatan: Iyar adalah penanggalan Ibrani, yang biasanya jatuh pada bulan April-Mei).

Lalu dia mulai menghitung, “Ini bulan April. Mudah-mudahan orang yang pada mau pulang kampung, orang yang pada punya urusan, semuanya akan kembali normal kembali” pada bulan berikutnya, yakni Mei. Dia juga menambahkan, bahwa menurut Syaikh Al-Sa’ati, ini “rufi’at niha’iyyan, … diangkat secara total… Wabah penyakit menular akan hilang dari alam dunia ini.”

Selanjutnya dia berdoa mudah-mudahan “prediksi Rasulullah saw… yang berdasarkan wahyu” benar-benar membawa kegirangan dalam diri kita. Kemudian dia menambahkan pendapat Syaikh al-Sa’ati, bahwa “bala’ itu maksimal menimpa suatu negeri tidak lebih dari lima puluh hari.” Dan menurut Imam Ibn Hajar al-‘Asqalani dan Imam Badruddin al-‘Aini, dalam Syarh Shahih Bukhari, “Wabah ini akan terangkat ‘inda-sytidadi al-harri fi awwali al-shaifi”, ketika masuk musim panas.” Semua bala akan Allah angkat. Ini yang dia sebut sebagai kabar gembira yang datang dari Rasulullah.

Baca juga:  Parfum Rasulullah

***

Penjelasan penceramah dalam video tampak meyakinkan, apalagi didukung dengan jubah dan latar belakang kitab yang berjilid-jilid. Tetapi sebenarnya pemahamannya bermasalah secara mendasar.

Pertama, apakah benar penerjemahan kata al-‘anah dengan “wabah, virus, yang menular, yang memakan korban secara massal”? Hadis yang dia kutip disebut benar ada dalam Musnad Ahmad dalam Kitab Khalq al-Alam (Kitab Penciptaan Alam), Bab Ma Ja’a fi al-Syamsi wa l-qamari wa l-kawakib (bab tentang matahari, bulan dan bintang-bintang), dengan redaksi “Idza thala’a al-najmu dza shabahin rufi’at al-‘ahatu” (ketika bintang itu terbit maka dihilangkanlah al-‘ahah).

Penerjemahan al-‘ahah dengan wabah, virus, yang menular, yang memakan korban secara massal” adalah berlebihan dan tidak benar. Al-‘ahah dalam Mu’jam al-Wasith diartikan sebagai “bahaya atau penyakit yang menimpa tanaman dan ternak.” Tapi ada juga yang menambahkan manusia juga, dalam pengertian sakit pada bagian tubuh tertentu atau disabilitas fisik (ahadu a’dha’i al-insan) atau bahaya atau sakit yang tampak mata (Al-Mu’jam al-Ra’id, Al-Mu’jam al-Ghani).

Terkait ‘ahah yang mengenai ternak terdapat dalam hadis: “la yuridanna dzu ‘ahatin ‘ala mushihhin,” Janganlah sekali-kali mencampurkan unta yang menderita penyakit (dzu ‘ahah) dengan unta yang sehat.” (HR Muslim 2221 dan Abu Dawud 3411). Dalam hadis Bukhari (5775) dan Muslim (2221) disebutkan dengan redaksi sedikit berbeda, “La yuradu mumridhun ‘ala mushihhin,” janganlah mencampur unta yang sakit dengan unta yang sehat.

Di antara penyakit (‘ahah) unta yang eksplisit disebutkan adalah sakit kudis. ”Wahai Rasulullah, sekelompok unta berada di tengah padang pasir, kemudian masuk kedalamnya unta yang terkena kudis dan menular ke unta yang lain maka Rasulullah saw bersabda: ”lantas siapakah yang menularkan pertama kalinya? (HR. Bukhari dan Muslim).

Sebagian ulama menjelaskan bahwa pertanyaan retoris Rasulullah itu untuk membantah keyakinan mereka tentang penularan natural, bahwa yang menularkan pertama kali adalah Allah. Dengan tanpa mengurangi keyakinan Allahlah penyebab pertama penyakit, pertanyaan Rasulullah ini sangat ilmiah, bahwa perlu dilacak penyebar penyakit sebelumnya, dan jika mungkin yang pertama menyebarkan. Teknologi ilmiah belum memungkinkan saat itu.

Kata ‘ahah dalam konteks tanaman, terutama buah-buahan, ada dalam hadis yang juga tercantum syarah al-Sa’ati. Syaikh al-Sa’ati mengutip hadis yang sedikit berbeda yang diriwayatkan Abu Dawud dari jalur Atha dari Abu Hurairah secara marfu’:

“Idza thala’a al-najmu shabahan rufi’at al-‘ahatu, apabila terbit bintang itu pada waktu pagi maka al-‘ahah akan terhapus.”

Baca juga:  Muslim dan Dunia Sains (5): Sains di Dunia Islam Modern

Tetapi, hadis itu tidak dipergunakan al-Sa’ati untuk menjelaskan wabah penyakit menular, sebagaimana penceramah itu, tetapi penyakit buah-buahan. Hadis ini dipergunaksn al-Sa’ati untuk mensyarahi hadis yang dalam Musnad Ahmad masuk dalam Bab al-Nahy ‘an Bay’ al-Tsamrati qabla Yabdu Shalahuha (Larangan Menjual Buah Sebelum Tampak Kualitas Baiknya). Bab tentang hukum dan etika jual beli! Begini hadisnya:

Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw melarang penjualan buah-buahan, “hatta tabdu shalahuha, sampai tampak kualitas baiknya.” Ibnu Umar mengatakan, mereka (para Sahabat) bertanya, ‘Apa itu shalahuha (kualitas bagusnya)?’ Rasulullah menjawab, ‘Apabila hilang penyakitnya (‘ahatuha), dan jelas baik (thayyib)-nya.'”

Dalam hadis lain, Utsman bin Abdullah bin Suraqah bertanya kepada Ibnu Umar tentang penjualan buah yang berpenyakit, maka dia berkata: “Rasulullah melarang penjualan buah-buahan sehingga hilang penyakit (‘ahah)-nya. Saya bertanya, “Kapan itu?” Rasulullah berkata, “Sampai terbitnya bintang Tsurayya.” Mengapa Tsurayya?

Hadis yang terkait dengan bintang Tsurayya berkaitan dengan ‘ahah buah-buahan, sedangkan hadis yang terkait dengan ‘ahah hewan atau unta, tidak dikaitkan dengan terbitnya Tsurayya. Hanya disebutkan agar unta yang sakit tidak dicampur dengan unta yang sehat. Hadis tentang ‘ahah buah-buahan menjelaskan tentang fakta pada masa Rasulullah (abad ke-7 Masehi) di Hijaz, bahwa ada penyakit buah-buahan yang kadang menyerang perkebunan pada musim dingin, tetapi akan hilang pada awal musim panas.

Ini dikuatkan oleh informasi yang sebenarnya disebutkan dalam syarah al-Sa’ati juga, bahwa munculnya bintang Tsurayya pada awal shaif (musim panas) itu tanda saja bagi memuncaknya panas di tanah Hijaz (isytidati al-harr fi bilad al-Hijaz) dan permulaan matangnya buah (ibtida’ nadhj al-tsamar). Bukan karena Tsurayya maka panas bumi meningkat dan penyakit tumbuhan mati, apalagi ramalan. Bahkan Syaikh al-Sa’ati berpendapat bahwa saat itu buah-buahan ‘sudah matang’, bukan permulaan matang. Kalau dikembalikan kepada hadis tentang berjualan buah-buahan, maka ini sejalan dengan etika perdagangan, bahwa dilarang menjual barang yang mengandung ghurur (penipuan), misalnya mengandung penyakit atau masih belum matang.

Ada beberapa hadis tentang ‘ahah yang dikaitkan dengan manusia, seperti: “Sesungguhnya apabila Allah ta’ala menurunkan ‘ahah (penyakit) dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan masjid”. (HR. Ibnu Asakir dan Ibnu Adi). Atau: “Apabila Allah menghendaki ‘ahah (penyakit) pada suatu kaum, maka Allah melihat ahli masjid, lalu menjauhkan penyakit itu dari mereka.” (HR. Ibnu Adi, al-Dailami, dan al-Daraquthni) tetapi masuk dalam kategori hadis-hadis dhaif (lihat Mawsu’ah al-Ahadits wa al-Atsar al-Dha’ifah wa al-Mawdhu’ah). Di sini pun ‘ahah adalah penyakit umum, walau bisa menular.

Baca juga:  Apa yang Perlu Dibawa ke Ruang Isolasi Covid-19?

Kedua, apakah benar hadis ini adalah hadis prediksi (ramalan), sehingga dapat diterapkan untuk memprediksi kapan berakhirnya covid-19, yakni awal bulan Mei 2020?

Jawabnya tidak benar. Anggapan hadis ini sebagai ramalan telah gugur dengan fakta-fakta sejarah. Pendapat bahwa kalau bintang Turayya itu muncul “wabah, virus, yang menular, yang memakan korban secara massal” diangkat selamanya, dan bahkan dikatakan diangkat dari semua negeri secara total sekali bertentangan dengan fakta sejarah.

Sejarah telah menyaksikan wabah penyakit menular pada masa Umar bin Khattab wabah di Syam, yang korbannya puluhan ribu, termasuk di dalamnya beberapa sahabat senior. Bahkan wabah tha’un pada 357 H mencapai Mekkah. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibn Katsir dalam al-Bidayah wa al-Nihayah, terjadi wabah besar di Mekkah pada saat musim haji. Banyak jamaah yang meninggal sebelum sampai Mekkah, sehingga sedikit yang dapat berhaji, dan dari yang sedikit ini, banyak yang meninggal setelah haji. Setelah itu masih terjadi wabah-wabah lain dengan korban yang besar juga, baik di dunia Arab maupun di luarnya, yang tidak perlu saya sebutkan di sini, karena sudah banyak ditulis akhir-akhir ini.

Berdasar pada hadis-hadis yang menggunakan kata ‘ahah, menjadi jelaslah bahwa istilah ini terkait dengan penyakit buah-buahan dan ternak yang memang bisa menular, tetapi bukan dalam pengertian wabah penyakit yang mematikan. Dalam hadis tentang buah-buahan, ‘ahah itu semacam wereng (serangga dengan ukuran sebutir beras), dan terkait hewan, penyakit kudis pun disebut sebagai ‘ahah. Kalau ‘ahah dalam konteks manusia terkait dengan penyakit secara umum, walau bisa menular. Sementara itu, untuk wabah berbahaya yang meluas, Rasulullah menggunakan kata waba’ (asal kata wabah dalam bahasa Indonesia) dan tha’un.

Tentu kita berharap wabah Covid-19 ini segera berakhir, namun menganggap hadis tentang terbitnya bintang Tsurayya sebagai ramalan berakhirnya Covid-19 pada bulan Mei merupakan pemahaman yang mengada-ada, manipulatif serta pemerkosaan terhadap hadis Nabi. Wallahu a’lam bi sh-shawab.

 

Yogyakarta, 10/04/2020

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
8
Ingin Tahu
21
Senang
7
Terhibur
7
Terinspirasi
19
Terkejut
6
Lihat Komentar (6)

Komentari

Scroll To Top